Gimana rasanya memiliki pasangan yang libidonya tinggi? Kalau terus mengiyakan takutnya jadi lelah dan membuat aktivitas seks nggak fun lagi. Kalau sering ditolak, nanti pasangan 'jajan' di luar. Semacam dilema ya...
Jadi ceritanya, jauh sebelum saya punya anak dan ketika saya masih bekerja di majalah pria dewasa, ada seorang teman yang curhat kalau suaminya selalu minta 'jatah' setiap hari. Bahkan, dalam sehari bisa dua kali. Saya yang dengar ceritanya aja capek, gimana yang ngejalanin?
Karena menurut saya, urusan hubungan intim itu nggak sekadar bak bek bak bek terus puas dan lemas ya, tapi perlu energi, termasuk butuh membangun mood.
Iya, saya paham kalau dalam sebuah pernikahan, hubungan intim suami istri punya peran yang sangat besar. Bukan sekadar memuaskan hasrat saja, tapi juga sebagai salah satu cara membangun keintiman. Tapi kalau kalau salah satu pasangan memiliki hasrat seksual yang jauh lebih tinggi sehingga salah satu pihak tidak bisa mengimbangi, kan repot juga.
Dalam buku Intimacy & Desire, sang penulis Dr. David Schnarc menuliskan kalau setiap pasangan memang memiliki potensi mengalami apa yang disebut hasrat rendah pada pasangan (Low Desire Partner/LDP) dan juga hasrat tinggi pada pasangan (High Desire Partner/HDP). Kadar hasrat seksual atau libido pada seseorang ini sendiri sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mulai dari kadar hormon hingga faktor rasa lelah hingga stress.
Ketika kadar hasrat seksual suami istri terasa cukup jauh, tentu saja bisa menimbulkan berbagai masalah. Seperti yang diungkapkan Nadya Pramesrani, selaku psikolog klinis dan penggiat kesejahteraan keluarga, “Jangankan yang berbeda tingkat libido, pasangan suami istri yang punya kadar hasrat seksual yang sama, tetapi tidak bisa terpenuhi satu sama lain saja juga banyak risikonya, kok.”
Nadya mengaku, selama ini memang belum pernah menghadapi kasus pasangan suami istri yang memiliki hasrat seksual atau libido yang tidak tidak seimbang. “Ya, memang selama ini kan memang belum pernah ada tes yang mengukur apakah pasangan tersebut termasuk hypersex atau tidak. Tapi memang issue masalah seks ini sering kali muncul dan menimbulkan masalah dalam sebuah pernikahan,” ujarnya.
Biasanya, keluhan yang diutarakan suami berkaitan dengan rasa lelah. Di mana para suami merasa bahwa istrinya tidak memahami saat mereka menginginkan untuk melakukan hubungan intim, kondisi suami sedang lelah. “Atau banyak juga suami yang justru mengeluh kalau mereka jadi tidak mood karena melihat istrinya ngomel-ngomel terus.”
Sementara keluhan istri tentu saja berbeda. “Kalau para istri biasanya, sering mengeluh dan merasa kalau suaminya kurang paham, menganggap istri punya tombol on off yang bisa dinyalakan atau dimatikan kapan saja. Lebih-lebih jika memag suami tidak melakukan foreplay lebih dahulu.”
Perlu dipahami bahwa foreplay yang dimaksud bukan sekadar ‘pemanasan’ sesaat sebelum melakukan hubungan intim. Foreplay ini perlu dibangun dalam kurun waktu yang cukup panjang. “Misalnya, istri itu kan juga perlu pemanasan lebih, misalnya ngobrol yang ringan-ringan lebih dulu,” ungkap Nadya.
Lebih lanjut, Nadya mengingatkan bahwa masalah pernikahan, dalam hal ini berkaitan dengan hubungan seksual, perlu keterbukaan satu sama lain. “Sebenarnya untuk masalah frekuensi melakukan hubungan seksual tidak pernah ada patokan, baiknya berapa kali sehari. Tapi memang ada penelitian yang mengatakan hubungan seksual suami istri setidaknya bisa dilakukan satu minggu dua kali. Jika ada pasangan yang ingin melakukannya lebih dari itu, sebenarnya akan kembali lagi pada kesepakatan pasangan tersebut”.
Yang perlu digaris bawahi hubungan seksual suami istri ini tentu saja perlu dilakukan atas dasar keinginan dua belah pihak. Artinya dilakukan tanpa paksaan. Jangan sampai merasa terbebani dan menimbulkan pemikiran bahwa hubungan seksual hanya sekadar melayani pasangan. Bukankah unsur fun juga dibutuhkan ketika melakukan hubungan seksual?
“Memang ada istri yang tidak bisa menolak, karena memang value yang didapatkannya itu adalah istri harus bisa melayani suami kapan pun juga. Kalau memang tidak keberatan, ya, tentu saja tidak jadi masalah. Akan jadi masalah jika memang sudah timbul rasa paksaan dan membebani.”
Intinya, suami istri memang wajib membicarakan kebutuhan masing-masing kemudain bisa disepakati bersama. Faktanya, tidak semua pasangan suami istri bisa terbuka satu sama lain. Nadya memandang hal ini dikarenakan kita tumbuh di lingkungan yang sering kali menganggap bahwa membicarakan masalah seks adalah tabu.
“Untuk bilang alat kelamin saja seperti penis dan vagina masih diangap tabu, padahal ini kan organ tubuh. Sama seperti jantung atau paru-paru. Kenapa jadi tabu?. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan rasa enggan untuk membicarakan masalah hubungan seksual dari hati ke hati. Padahal keterbukaan antara suami istri ini sangat diperlukan,” tegasnya.
Co-founder dari Rumah Dandelion ini juga mengingatkan, sebagai orangtua kita pun wajib memberikan seks edukasi pada anak. Nah, kalau sama pasangan saja sudah sulit mengungkapkan apa yang dirasa, dan apa yang diinginkan, bagaimana kita mampu menjelaskan pendidikan seks pada anak?