Sorry, we couldn't find any article matching ''
Atasan Bersahabat dengan Bawahan? Coba Pikir Ulang
Kalau ada atasan kelihatannya enggan berteman baik dengan bawahannya, jangan langsung menganggap dia belagu atau sok eksklusif. Karena berdasarkan pengalaman saya, memang lebih enak seperti itu sih. Profesional dan pertemanan dipisahkan.
Di kantor pertama saya, sebuah majalah fashion dan beauty franchise dari Singapura, bisa dibilang relasi antara seluruh tim editorial itu baiiiiik banget. Saking baiknya, nggak terasa hirarki antara anak magang, reporter baru, editor senior hingga Managing Editor (yang kala itu menduduki posisi tertinggi dalam divisi editorial). Kalau ditanya enak nggak seperti itu? Enak banget. Tapi apakah menganggu hubungan profesional? Pada akhirnya iya! Kenapa?
Karena, seringkali tim yang berada di bawah Managing Editor, saking merasa dekat dan akrabnya, jadi sulit membedakan antara hubungan personal dan profesional. Rasa respek terhadap atasan berganti menjadi rasa pertemanan. Akhirnya, tim di bawah ME jadi bisa seenaknya menolak pekerjaan, bisa seenaknya menggoda si atasan bahkan melawan atasan ketika penilaian terjadi. Saat atasan ingin mengembalikan ‘wibawa’-nya lagi, udah terlambat, karena semua tim terlanjur melihat dia sebagai seorang teman.
Pindah ke kantor berikutnya, di sebuah majalah remaja franchise dari Australia, saya akhirnya merasakan menjadi seorang Managing Editor. Kesalahan saya waktu itu adalah mencoba untuk menjadi teman para bawahan, namun jadinya kebablasan. Kenapa kebablasan? Karena saya akhirnya menjadi terlalu dekat dengan satu atau dua orang, dan harus diakui ini mempengaruhi penilaian saya terhadap mereka.
Kedekatan yang berlebihan membuat saya sulit untuk memberikan penilaian jelek tentang mereka, padahal memang ada point-point yang mereka kurang achieve saat itu. Saya pun jadi lebih menoleransi ketika mereka tidak mematuhi aturan perusahaan. Dan ini nggak fair untuk anggota tim yang lain. You have to be able and willing to provide honest feedback that sets your employee up for success, without concern of personal ties compromising that ability.
Dari dua kondisi ini, saya pun belajar untuk bisa memisahkan antara hubungan personal dengan profesional. Saya belajar untuk membedakan, peduli sebagai atasan dalam batasan yang normal dengan hubungan pertemanan yang terlalu dalam.
Saat ini, kalau ditanya, bagaimana saya memanage hubungan saya dengan anggota tim saya, bisa dibilang hubungan kami berada di titik yang tepat sih. Saya cukup peduli dengan kehidupan personal mereka, kabar suami dan anak mereka, sesekali makan siang bareng atau nonton film bareng, curhat tentang pekerjaan dan rumah tangga, namun kami tidak menjadi sahabat bagai kepompong :D.
Ada ‘ruang’ di antara kami di mana saya bisa memuji pekerjaan dan keberhasilan mereka, namun di sisi lain, saya juga masih bisa memberikan masukan-masukan atau menegur ketika mereka melakukan kesalahan. Toch dampaknya juga bagus juga untuk mereka. Ketika saya masih bisa memberikan kritik membangun, ini membuat kapasitas mereka sebagai seorang pekerja menjadi lebih baik. Dan sikap mereka ke saya pun juga sama. Masih bisa tertawa dan bercanda, namun mereka bisa menerima dengan baik ketika saya tegur.
Jadi, nggak salah menjadi atasan yang dekat, hangat dan terbuka dengan anggota tim, namun nggak perlu juga mengubah status di antara kalian menjadi sahabat. Dan, nggak usah juga menjadi atasan yang kaku, dingin dan sulit didekati, karena ini hanya membuat anggota tim kita malas untuk berinteraksi dan merasa nggak nyaman.
As a boss, you have to be your employees’ leader, first and foremost. You can care about them and want them to succeed and even take a sincere interest in their hobbies or their family life. But that’s called solid, comprehensive leadership—not friendship.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS