Sorry, we couldn't find any article matching ''
Kenapa Mommies Jaman Now Perlu Nonton Film Posesif
Ditulis oleh: Prameshwari Sugiri
Saya bingung menempatkan diri saya sebagai apa saat menonton film Posesif. Karena sejak awal sampai akhir film, saya diombang-ambing ke berbagai rasa & pikiran.
Kemarin akhirnya, saya nonton film Posesif. Pakai kata ‘akhirnya’ karena memang seminggu ini saya terus mendapat rekomendasi dari teman-teman yang sudah menontonnya. Mereka merekomendasikan dengan macam-macam pesan.
Yang pertama teman yang tahu bahwa saya menganggap Dek Dolken alias Adipati Dolken itu ganteng! Hehehe... iya, meski dia pantas memanggil saya Tante. Yang kedua, teman yang bilang, "Lo kan, punya anak perempuan, Mesh. Eh, tapi yg punya anak laki-laki juga perlu nonton, sih." Sementara yang lain bilang, "Gue kira ini film drama cinta biasa. Nggak tahunya, malah kayak film suspense!"
Selain rekomendasi teman, saya mendengar bisik-bisik burung bahwa rumah produksi Posesif –Palari Film, menyiapkankan diri selama dua tahun plus menggelar FGD ke pelajar SMA segala. Tambah penasaran lagi pas dengar meski Palari baru berdiri, mereka dapat 10 nominasi Piala Citra untuk film ini. Gimana nggak penasaran pengen nonton, coba?
Jadi, hokelah! Saya buktikan sendiri saja. Saya pilih bioskop di mal yang agak kepinggir, di hari kerja, di jam nanggung siang bolong. Siapa tahu sepi sehingga saya bisa lebih khusyuk meresapi rasa atau emosi selama menonton film yang dilabel untuk usia 13+ ini.
Tapi rupanya, bioskopnya nggak sepi, tuh! Cukup banyak orang di dalam studio, meski tidak sebanyak studio sebelah yang masih menayangkan film ‘si Ibu’ itu. Lalu soal rasa dan emosi tadi bagaimana? Nah, ini! Saya bingung menempatkan diri saya sebagai apa saat menonton film Posesif. Karena sejak awal sampai akhir film, saya diombang-ambing ke berbagai rasa dan pikiran.
Ada rasa getir ketika adegan demi adegan membawa saya ke masa lalu. Saya yang juga pernah muda dan beberapa kali jatuh cinta. Saya yang tiba-tiba mengerti kenapa dulu saya bisa ‘jungkir-balik’ dan nekad ‘melawan dunia’ karena seorang pria. Saya yang dulu pernah menangis di pelukan sahabat saya sambil bilang, "Dia tuh, bajingan!" –tapi ya tetap saja selalu ingin bersamanya.
Kemudian ada rasa empati. Pada tokoh Lala, Papanya, Yudhis... juga ibunya. Bukan karena mereka tertimpa musibah atau merengek-rengek seperti di sinetron atau film drama percintaan biasa –tenang, kita tidak akan menemukan adegan-adegan seperti itu di film ini. Tapi karena semua tokoh ditampilkan sebagai manusia dengan segala kekurangan, kelebihan dan naik-turun emosinya. Yang ceria dan pintar bisa juga menjadi murung dan serba bingung. Yang tegas dan tampak berkuasa bisa menjadi lunak bahkan tak berdaya. Yang penuh kehangatan atau kerap menawarkan perlindungan, bisa berubah menjadi menyeramkan, mengancam sekaligus menjadi korban perundungan.
Kerap pula rasa sedih muncul. Ingat almarhum Bapak alias kakek dari anak-anak saya yang dulu sering terkantuk-kantuk menunggu saya pulang pacaran atau clubbing sampai pagi. Ingat Ibu, yang paling sering menasehati bahwa tidak ada satu pun lelaki di dunia ini yang patut ditangisi sekaligus yang berulangkali saya bohongi.
Lantas menyusullah rasa khawatir, karena saya punya dua anak perempuan. Selama ini, saya tidak pernah merasa takut membayangkan suatu hari nanti mereka berpacaran. Tapi lihat Lala dan Yudhis. Apakah anak-anak saya nanti akan seperti dua tokoh ini? Apakah mereka mampu mengurai rumitnya emosi yang kadang tak sejalan dengan logika? Apakah keputusan-keputusan yang mereka ambil akan mempengaruhi masa depan mereka?
Lihat juga tokoh orangtua keduanya. Apakah saya dan suami selama ini telah menunjukkan dengan nyata dan jelas apa itu cinta? Apakah kelak kami mampu merespon dengan tepat saat anak datang dengan masalah? Apakah kami hendak menjadi orangtua yang memberikan solusi atau membiarkan anak mencarinya sendiri? Mana yang lebih baik? Bagaimana melakukannya? Otak dan hati ini terus bertanya-tanya.
Tak urung, film ini juga memberi saya rasa lega. Karena sedikit banyak saya menjadi lebih tahu seperti apa dunia remaja saat ini. Asiknya, kita diajak melihatnya dari kacamata yang 'manis', bukan yang 'sinis'. Tidak ada yang berlebihan, sepet dilihat atau sampai mengundang saya ingin berkomentar sok tua "Dasar kids jaman now!" seolah saya tidak pernah muda juga.
Terakhir saat film usai dan nama-nama pemain keluar, saya merasa gemas luar biasa. Gemas ingin berteriak kalau film ini seharusnya tuh, ditonton oleh kita semua. Iya, kita. Orangtua, guru, remaja, teman-teman psikolog, para penulis atau editor, pengamat, siapa saja. Karena saya yakin 'isu' yang diangkat di film ini adalah 'urusan' kita semua. Saya yakin, ada sesuatu yang bisa kita lebih pahami dan seharusnya benahi setelah menontonnya untuk menghapus atau paling tidak mengurangi kekerasan dalam hubungan pertemanan, pacaran, rumah tangga maupun dalam hubungan antara anak dan orangtua.
Anna Surti Ariani, psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Univ.ersitas Indonesia yang akhirnya jadi teman nonton saya kali ini, mengingatkan, "Yang kita tonton tadi contoh versi mudahnya saja, lho! Karena di lapangan banyak yang lebih rumit namun luput dari perhatian dan tidak dapat diselesaikan secepat itu," ujarnya.
“Makanya, kita semua punya peran. Kita semua harus mau tahu, peduli dan bahu-membahu. Tidak hanya para remaja dan mommies jaman now saja."
FOTO: DOK.PALARI FILMS
Share Article
COMMENTS