Sorry, we couldn't find any article matching ''
Ketika si Kecil Lahir, Ayah Juga Bisa Mengalami Postpartum Depression
Bukan hanya ibu yang melahirkan, bisa terkena postpartum depression (PPD). Ayah juga berpotensi mengalami hal ini. Sayangnya, laki-laki sering menyangkal jika mereka terkena PPD. Apa yang bisa kita lakukan sebagai support system untuk menolong ayah?
Momen kelahiran si kecil untuk pertama, kedua dan seterusnya pasti membawa cerita tersendiri. Kalau saya pribadi, pas tiga tahun lalu melahirkan anak pertama sempat terkena baby blues syndrome. Situasi yang membuat saya, nggak tahu harus berbuat apa sama si bayi ini. Kok rasanya, kenyamanan hidup saya terenggut sama dia.
Image: www.goodhousekeeping.com
Penanganan saya waktu itu, cukup mencurahkan semua yang saya rasakan dan inginkan ke pak suami dan orang rumah. Beruntung, semua itu bisa saya lalui. Soalnya kalau baby blues syndrome tidak tertangani dengan baik, bisa menjadi postpartum depression. Dan, ternyata baik baby blues syndrome dan PPD nggak didominasi oleh para ibu yang melahirkan. Ayah juga bisa ”kebagian” mengalami PPD.
Penyebab ayah mengalami PPD
Menurut Nadya Pramesrani, M. Psi. ,Psikolog Keluarga, sekaligus Co-Founder Rumah Dandelion, ayah sama saja dengan ibu, ia akan mengalami serangkaian perubahan. “Karena begitu lahiran, terlepas itu anak pertama atau kedua, dan seterusnya. Setiap kelahiran anak, anak membawa perubahan tersendiri. Perubahan itu akan membuat orang dituntut beradaptasi. Perubahan paling signifikan ada di pola tidur dan istirahat. Nah, bapak-bapak ini juga akan berpengaruh kualitas tidurnya, belum lagi harus tetap bekerja. Kalau si ibu masih mending dapat cuti hamil. Nah, bapak-bapak juga kadang dipicu ketakutan-ketakutan lain. Misalnya tanggung jawab finansial itu meningkat. PPD pada ayah itu, biasanya muncul, kalau si ibu juga PPD.”
Sayangnya kata Nadya, PPD pada laki-laki sering dianggap sepele, karena merasa tidak melahirkan, mana mungkin bisa kena PPD. Bahkan, tak jarang mereka denial dan enggan konsultasi ke psikolog. Nadya pernah menangani kasus seperti ini, dan akhirnya, ia mengobati lewat si istri.
Namun, tidak serta merta juga seseorang dikatakan depresi atau gangguan emosi. Nadya mengatakan, harus memenuhi empat karakter ini:
1. Kehilangan minat terhadap hal-hal yang ia sukai, misalnya dulu senang jalan-jalan, sekarang jadi nggak sama sekali
2. Perubahan pola makan dan tidur, jadi antara makan banyak banget, atau nggak makan sama sekali. Atau terlalu banyak tidur, atau nggak tidur sama sekali.
3. Pikiran-pikiran depresif, yaitu punya pikiran mau mau diri, hidupnya sudah tidak berharga lagi, merasa sendirian.
4. Kondisi mesti muncul berturut, selama dua minggu. Jadi selama dua minggu itu, semua ciri-ciri tadi selalu ada, SETIAP HARI. Bukannya timbul dan tenggelam. Itu nggak masuk hitungan depresi. Kalau misalnya ada hari-hari tertentu aja, mungkin lagi nggak dalam suasana hati yang nggak baik saja. Sedang banyak masalah. Tapi melulu mengalami ganggauan depresi.
Apa yang bisa dilakukan support system?
Sebelum masuk ke penanganan, saya ingin memberi tahu satu poin penting dulu. Kata Nadya, menjadi support system untuk orang yang mengalami PPD, SANGAT MELELAHKAN. Sebaiknya keluarga yang terlibat, tidak satu atau dua orang, bahkan Nadya memberikan istilah, It takes a whole village untuk bantu seseorang yang mengalami PPD.
Ada tiga dukungan nyata yang bisa mommies berikan sebagai keluarga, kepada si ayah yang mengalami PPD:
Selain itu, jadi support system nggak boleh baper!. Maksudnya begini mommies, salah satu ciri orang mengalami PPD, dia akan mengurung diri. Itu paling jadi ciri khas. Bantuan dari support system yang bisa dilakukan kata Nadya adalah membantu mereka keluar rumah. Diajak untuk beraktivitas. “Tapi support system juga jangan baper, pasti kita akan mengalami penolakan. Karena yang mengalami PPD seperti tidak punya tenaga. Menjadi support sistem bagi yang mengalami PPD memang melelahkan, karena vibe negatif itu bisa menular dan akan sangat melelahkan.”
Bisa dicegah kah?
Jawabannya bisa, mommies. Nadya menyebutkan, intinya segala bentuk persiapan itu penting untuk dilakukan. Misalnya, rajin mengikuti kelas-kelas sebelum melahirkan. Jangan gentar dengan, si ayah yang suka menggampangkan, dengan mengatakan “Lihat saja nanti!”. “Itu bahaya sebetulnya. Iya kalau pas lahir dapat anak yang anteng, tenang. Bisa belajar sambil jalan. Tapi kalau dapat anak yang mudah cranky, ya bisa kerepotan. Kemarin-kemarin disuruh belajar kemana saja?” tutup Nadya.
Share Article
COMMENTS