Sorry, we couldn't find any article matching ''
Seni Menjadi Orangtua: Jadilah Tukang Kebun, Bukan Tukang Kayu
Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Menjadi orangtua, tidak perlu terlalu banyak khawatir dan terlalu banyak mengatur anak. Anak-anak akan lebih berkembang ketika diberi kebebasan. Tip jadi orangtua yang baik? Jadilah seperti tukang kebun.
Belakangan ini saya sedang tertarik pada sebuah buku parenting terbaru yang ditulis oleh Alison Gopnik. Judulnya cukup catchy, tidak tampak seperti sebuah buku parenting, yakni The Gardener and The Carpenter. Sekilas lebih mirip buku untuk para pehobi. Judul ini rupanya mengambil metafora dua cara parenting. Yang satu, berperilaku mirip seorang tukang kayu, memahat sesuatu untuk menjadi karya yang diinginkan, dalam hal ini membuat anak bisa menjadi tipe orang tertentu.
Seorang tukang kayu percaya bahwa dia memiliki kemampuan untuk mengubah balok kayu menjadi sebuah kursi, almari, patung, atau apa pun. Sementara itu, seorang tukang kebun paham bahwa bukan dirinyalah yang menciptakan mawar, selada, atau tanaman cabai. Sebaliknya, ia harus bekerja keras untuk menciptakan kondisi di mana tanaman memiliki kesempatan terbaik untuk bisa berkembang. Tukang kebun paham bahwa ada banyak faktor eksternal yang bisa membuat tanamannya gagal tumbuh atau diserang hama atau penyakit. Orangtua yang berperilaku menyerupai tukang kebun adalah orangtua yang berusaha untuk menciptakan ruang yang kondusif, di mana anak-anak bisa tumbuh dan menjadi diri mereka sendiri, bukan karena ‘cetakan’ yang diberikan orangtua.
Selama satu dekade ini banyak bermunculan buku dan teori-teori how to parenting. Tuntutan yang tinggi ini membuat para orangtua mencemaskan banyak hal. Mengapa bayinya tidak bisa tidur malam? Mengapa balita tidak mau patuh? Mengapa anak susah disuruh belajar? Dan banyak lagi lainnya. Cinta dan perhatian pada anak cukup melimpah, tetapi diberati banyak beban dan tuntutan.
Alison Gopnik yang berprofesi sebagai psikolog perkembangan, telah lama melakukan penelitian tentang gaya pengasuhan modern. Ia tidak bermaksud mengkritik ‘helicopter parent’ ataupun ‘tiger mom’ yang ambisius. Akan tetapi, secara umum, mempertanyakan kembali tentang gaya parenting modern. Menurutnya, orangtua terlalu banyak campur tangan dan intervensi dalam membantu anak-anaknya melakukan serangkaian tugas dalam kehidupan sehari-hari. Dari membuatkan mainan balok, sampai mengerjakan PR sekolah mereka. Dalam proses ini, bukan tidak mungkin akhirnya justru membatasi potensi anak.
Dalam eksperimen yang pernah dilakukan Alison, anak menjadi lebih berkembang ketika mereka diberi kebebasan untuk bereksplorasi.
Orangtua mencemaskan, teknik parenting seperti apa yang paling tepat. Ada pola asuh yang baik, ada yang buruk. Teknik pola asuh yang baik tersebut, jika diterapkan akan berpengaruh besar pada masa depan anak. Dengan pemahaman seperti ini, menurut Alison, membesarkan anak jadi terasa seperti pekerjaan. Ada pressure tinggi karena ada standar yang harus dipenuhi. Sampai-sampai, gaya parenting yang membiarkan anak bermain bebas di luar saja, ada sebutannya (labelnya).
Bicara tentang label, sebagian orang menyebut, teori yang dikemukakan Alison dalam buku ini sebagai pendekatan organik dalam pengasuhan anak.
Ia mengkritik fenomena orangtua sekarang. Anak dikirim untuk mengikuti klub bola atau klub basket, belajar balet, gymnastic, mendorong mereka mengikuti kompetisi dan memenangkannya. Setiap malam memeriksa PR dan buku catatan sekolah anak. Mencemaskan apakah anak kurang tidur, bagaimana hubungannya dengan teman-temannya di sekolah, bagaimana hasil ujiannya, dan sebagainya. Ada kecenderungan untuk tanpa henti mempertanyakan pilihan gaya paranting kita sendiri.
Bagi Alison, pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu. Seharusnya kita lebih memperlakukan merawat anak-anak sebagai bentuk cinta, bukan bentuk pekerjaan.
Model pengasuhan semacam itu mengasumsikan bahwa orangtua harus selalu aktif dan anak-anak selalu pasif. Alison memandang, parenting itu perlu ada interaksi. Seperti halnya menari. Kita menari karena kita menginginkannya. Seperti juga, hubungan suami-istri. Peran sebagai istri, toh, tidak ada istilah wifing.
Buku ini juga memotret bukti-bukti dari hasil penelitian Alison, bahwa anak punya kecerdasan dengan caranya sendiri. Karena itu, ia berharap para orangtua dan pendidik tidak membuat anak-anak tumbuh dengan cetakan, seperti layaknya tukang kayu.
“Jadilah seperti tukang kebun, yang penting bagaimana menciptakan ekosistem pengasuhan bagi anak-anak untuk berkembang, dengan menerima keterbatasan kita untuk mengendalikan atau bahkan memprediksi hasilnya. Just simply be parents,” sarannya.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS