Sorry, we couldn't find any article matching ''
Donor ASI: Membantu VS Bumerang Bagi Ibu Menyusui
Ditulis oleh: Mia Sutanto, Astri Pramarini dan Sari Kailaku - Konselor Menyusui dan Pengurus AIMI
Donor ASI kerap dijadikan jalan keluar untuk memberikan ASI kepada bayi, karena situasi tertentu yang mengakibatkan si ibu tidak bisa menyusui. Tapi apa cara ini 100% aman, dan jika terpaksa melakukannya, syarat apa saja yang mesti dipatuhi?
Gencarnya kampanye ASI eksklusif beberapa tahun belakangan ini mulai terlihat hasilnya, setidaknya secara “trend”, jika belum bisa dinyatakan dalam data statistik. Mulai dari obrolan sehari-hari di sosial media sampai ke forum-forum diskusi di dunia maya, semakin banyak ibu yang ingin dan berusaha menyusui anaknya, sesuai rekomendasi berbagai lembaga kesehatan dunia dan nasional, yaitu 6 bulan ASI eksklusif dan dilanjutkan menyusui hingga anak berusia 2 tahun atau lebih.
Namun sayangnya, tidak semua ibu bisa dengan mulus menjalankan rekomendasi tersebut. Ada saja tantangan yang dialami, baik internal, maupun dari lingkungannya. Aktivitas bekerja di luar rumah, jatuh sakit, kurang dukungan keluarga, kurang dukungan tempat kerja dan berbagai tantangan lainnya seringkali diutarakan para ibu dan ayah sebagai alasan beratnya perjuangan menyusui hingga 2 tahun atau lebih.
Sementara itu, dalam rekomendasinya, WHO (World Health Organization) juga telah menetapkan protokol pemberian asupan bagi bayi sesuai dengan urutannya sebagai berikut: (1) ASI langsung dari ibunya, (2) ASI perah dari ibunya, (3) ASI donor dari ibu lain, dan (4) formula bayi.
Maka tidak heran jika selain membahas tentang tips menyusui, diskusi-diskusi di dunia maya pun semakin sering menyebutkan donor ASI sebagai salah satu pilihan jika ibu menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan ASI bayinya. Permintaan donor ASI disampaikan secara berantai pada berbagai sosial media. Hingga akhirnya timbul pertanyaan: amankah dan disarankankah donor ASI? Mengapa ada yang berpendapat bahwa donor ASI justru membawa risiko kesehatan bagi bayi dan bahkan bisa jadi “bumerang” bagi ibu menyusui? Mari kita cermati, apa saja yang perlu diperhatikan terkait donor ASI.
Donor ASI Tanpa Risiko Kesehatan
Berbeda dengan di banyak negara maju dimana telah tersedia Bank ASI, di Indonesia praktik pemberian dan penerimaan ASI donor dilakukan sendiri oleh para ibu dan keluarga. Hal ini menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak mengenai risiko kesehatan yang mungkin timbul. Bagaimanapun, ASI perah mungkin saja membawa penyakit, baik akibat tidak higienisnya penyiapan dan penyimpanannya, maupun dari sisi kesehatan ibu yang memerah ASI. Beberapa penyakit yang paling dikhawatirkan ditularkan melalui ASI perah di antaranya adalah HIV/AIDS, Hepatitis B dan C, CMV (cytomegalovirus) dan HTLV (human T lymphotropic virus).
Beberapa metode pemanasan terhadap ASI donor dapat diterapkan untuk meminimalisir risiko penularan berbagai penyakit, yaitu:
Ketiga cara di atas tetap harus dilakukan, baik itu memberikan donor ASI di rumah maupun yang dilakukan atas indikasi medis di Rumah Sakit
Dan pastikan, pendonor ASI tidak mempunyai kebiasaan merokok, mengonsumsi narkoba, kebiasaan minum minuman beralkohol, dan riwayat konsumsi obat untuk penyakit tertentu.
Hal ini perlu dikomunikasikan oleh keluarga bayi yang akan menerima donor ASI. Cara ini ditempuh untuk meminimalkan, risiko kesehatan yang mungkin saja dialami bayi penerima donor ASI.
Donor ASI Bisa Jadi Bumerang?
Satu hal yang perlu kita ingat, bersama dengan rekomendasi pemberian ASI, WHO juga memberikan tips untuk memudahkan ibu (yang sehat dan melahirkan bayi yang sehat) untuk menyusui bayinya selama mungkin, yaitu:
Memerhatikan tips di atas, jelas bahwa pada dasarnya setiap ibu mampu memenuhi sendiri kebutuhan ASI bagi bayinya, selama diberi kesempatan dan dukungan penuh. Seringkali, donor ASI dianggap dapat menjadi solusi di saat ibu merasa produksi ASInya tidak cukup. Penting sekali bagi ibu dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda yang akurat mengenai kecukupan ASI, agar dapat mengambil keputusan yang tepat.
ASI (seperti) belum keluar di hari-hari pertama setelah persalinan, stok ASI perah tidak mencukupi kebutuhan bayi selama ditinggal ibu bekerja, bayi menyusu lebih sering dan lebih lama, merupakan alasan-alasan yang sangat sering dilontarkan ibu dan ayah saat memutuskan mencari donor ASI.
Walaupun alasan-alasan tersebut mungkin benar, namun sangat disarankan agar ibu dan keluarga menemui Konselor Menyusui sebelum memutuskan mencari donor ASI. Untuk membantu ibu menyusun strategi mengejar ketertinggalan stok ASI perah, selama ibu bekerja.
Yang dikhawatirkan dari pemberian ASI kepada bayi dari ibu lain, adalah dapat menjadi bumerang bagi ibu. khususnya ibu yang baru saja melahirkan. Bayi menjadi kenyang dan berkurang frekuensi menyusu langsung pada ibunya, sehingga justru berpengaruh pada produksi ASI.
Terkadang, durasi dan frekuensi menyusu bayi bertambah, sehingga ibu merasa bayi kurang puas atau tidak kenyang setelah menyusu. Hal ini sering mendorong ibu untuk mencari donor ASI atau bahkan memberi formula pada bayinya. Padahal, kemungkinan besar yang sedang terjadi pada bayi adalah tahap pertumbuhan cepat atau growth spurt. Tahapan ini akan sering terjadi, setiap beberapa minggu dan terjadi selama masa pertumbuhan. Bayi membutuhkan lebih banyak asupan untuk bertumbuh dengan cepat. Ibu tidak perlu khawatir karena produksi ASI akan meningkat mengikuti kebutuhan bayi selama ibu tetap menyusui bayi sesuai keinginan bayi.
---
Donor ASI adalah solusi sementara untuk masalah darurat dalam pemberian ASI bagi bayi. Jika ibu mengalami masalah dan memutuskan menerima donor ASI, sangat disarankan agar ibu tetap berkonsultasi dengan tenaga kesehatan yang kompeten atau dengan Konselor Menyusui, agar masalah yang ada dapat segera diselesaikan dan ibu kembali mampu memenuhi sendiri kebutuhan ASI bagi bayinya. Jangan lupa, dukungan keluarga adalah dukungan yang paling berarti dan utama.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS