Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Depresi bisa menimpa anak remaja? Bisa banget. Kenali gejalanya sebelum terlambat.
Suatu kali, saya mengajak sahabat saya, Imel, untuk hiking bareng ke Gunung Papandayan. Sebagai family traveler, saya selalu inginnya piknik bareng suami dan anak saya Pi (10). Saya berharap, Imel bakalan mengajak Dika (15) anak remajanya.
“Pasti Dika senang, deh! Bertualang ke gunung. Belum pernah, kan?” bujuk saya pada Imel.
“Errr…belum pernah sih. Tapi, Dika pasti enggak bakal mau. Mana mau dia diajak outdoor. Naik gunung pula, yang jelas-jelas capek,” jawab Imel.
“Kenapa? Masa sih, dia enggak ingin lihat keindahan puncak gunung. Camping dan sunrise. Memangnya dia enggak suka lihat hutan, gunung, atau pantai gitu?” tanya saya, penasaran.
“Dika cuma butuh wifi dan gadget,” kata Imel, getir.
Imel memang pernah cerita kalau Dika, mengalami depresi. Sempat mogok sekolah dan punya tendensi bunuh diri. Makanya, saya pikir, dengan mengajaknya piknik di alam bisa sedikit mengatasi rasa depresi dan kecanduannya pada gadget. Tapi, ternyata tidak semudah itu ‘menyeretnya’ keluar dari rumah untuk lebih ‘menikmati hidup’.
Depresi pada remaja ternyata menjadi fenomena global. Menurut laporan terbaru Center for Disease Control (CDC), angka bunuh diri pada remaja di Amerika Serikat, tahun ini mencapai angka tertinggi selama 40 tahun terakhir. Angka bunuh diri pada gadis remaja, usia 15 hingga 19 tahun meningkat dua kali lipat. Sedangkan pada remaja lelaki, meningkat hingga 30 persen.
Fenomena yang sama juga terjadi di Asia. Menurut Citywide survey Hong Kong, lebih dari 51% siswa sekolah menengah menunjukkan gejala depresi. Di Singapura, setiap bulannya ada lebih dari 2 anak usia 10 - 19 tahun melakukan bunuh diri. Di tahun 2016 lalu, total ada 27 angka kejadian bunuh diri pada remaja.
Depresi di kalangan remaja tidak bisa dianggap enteng. Bunuh diri hanyalah salah satu puncak gunung es dari akibat depresi. Remaja yang depresi juga rentan menjadi pelaku kekerasan dan kenakalan remaja, serta penyalahgunaan obat terlarang. Belum lagi, mengancam kesehatan jiwa.
Remaja di setiap era punya tantangannya masing-masing. Dulu, zaman kita juga banyak kenakalan remaja dan kasus depresi remaja. Kehadiran smartphone yang tak bisa dipisahkan dari remaja sekarang, dipercaya telah mengubah secara radikal setiap aspek kehidupan remaja. Jauh berbeda dari apa yang pernah kita alami dulu. Gadget –oleh para psikolog- juga menjadi kambing hitam perusak kesehatan mental kalangan remaja. Semakin tinggi waktu yang mereka habiskan di ‘depan layar’ gadget, semakin rentan mereka terpapar depresi.
Sebelum terlambat, ada baiknya mengenali gejala depresi pada anak usia remaja. Apa sajakah itu? Menurut situs Helpguide.org, berikut ini beberapa gejalanya:
1. Suasana hati yang samar, sedih, kosong, perasaan hampa dan percaya bahwa hidup itu tidak ada artinya.
2. Mudah mengatakan bosan. Menunjukkan keengganan melakukan aktivitas rutin.
3. Kehilangan ketertarikan pada olahraga, hobi, atau kegiatan yang biasa mereka nikmati.
4. Cenderung menarik diri dari pergaulan dengan teman-temannya, dari keluarga, dan menunjukkan masalah dalam hubungan sosial.
5. Perubahan nafsu makan, kenaikan atau turunnya berat badan secara signifikan.
6. Senang begadang hingga larut malam. Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur. Susah bangun di pagi hari dan sering terlambat masuk sekolah.
7. Turunnya prestasi di sekolah. Nilai yang anjlok dan ogah-ogahan masuk sekolah.
8. Mengkritik diri sendiri dan terlalu sensitif terhadap penolakan.
9. Sering mengeluhkan sakit fisik, seperti sakit kepala, pusing, sakit perut, dan sebagainya.
10. Terobsesi pada kematian.
Yuk, kita cek 10 gejala ini pada anak kita. Semoga aja nggak ada sama sekali ya.