Sorry, we couldn't find any article matching ''
Keluarga, Kesetaraan dan Sedikit Tentang Pendidikan Seks
Ditulis oleh : Radinal Wiranto
Inilah sudut pandang saya, seorang kepala keluarga yang memiliki dua orang anak mengenai kesetaraan dalam keluarga dan betapa pentingnya pendidikan seks untuk anak-anak.
Sekali waktu, di suatu sore yang hampir habis, di saat saya sedang menyesap secangkir kopi di belakang pelataran tempat parkir kendaraan kantor, datang seorang teman dengan raut wajah cengengesan bertanya ke saya, “Apa yang membuatmu memutuskan untuk berumahtangga?”.
Sontak saya kaget, kopi yang sudah saya sesap tersebut muncrat, nyaris mengenai wajahnya. Tergagap-gagap saya dibuatnya. Diawali satu tarikan napas yang panjang, saya pun bercerita kepada salah seorang kawan saya tersebut
Sebelum saya bercerita lebih jauh, izinkan saya untuk mengingat, bahwa tahun 2017 ini adalah satu dekade pernikahan saya dengan seorang perempuan (yang dengannya saya berulang kali jatuh cinta) yang sudah saya kenal sejak masa kuliah tahun 1999 dan memutuskan untuk berkeluarga, menikah dengan saya pada tahun 2006 silam.
Sebuah rumah tangga, di mata saya sebagai salah satu penganut agama samawi yang kolot (maksudnya saya yang kolot, bukan agamanya yah dan juga tanpa mengurangi hormat saya kepada siapapun yang memutuskan untuk tidak menikah) mempunyai nilai agung, seperti mengemban misi yang luhur. Di dalam rumah tanggalah individu-individu dibina yang diharapkan mampu melanjutkan peradaban umat manusia. Pengertian rumah tangga yang saya maksud disini adalah keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
Dalam budaya masyarakat patriarkis seperti di Indonesia, sebuah rumah tangga biasanya ada peran-peran yang diletakkan kepada para anggotanya. Seperti seorang suami tampil sebagai kepala rumah tangga, sedangkan seorang istri berperan sebagai ibu rumah tangga. Seorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga karena ia mendapatkan bagian tugas yang lebih berat, yakni mencari nafkah untuk seluruh keluarga, ia juga diberi tanggung jawab untuk melindungi rumah tangganya. Barangkali karena itulah ia diberi kekuasaan yang lebih dibandingkan anggota keluarga lainnya. Dan saya tidak sepakat soal ini.
Kehidupan awal rumah tangga kami,ada sejumlah masalah yang seringkali terjadi; masalah ekonomi, egoisme, pendidikan anak-anak, sampai masalah-masalah yang saya anggap sepele semisal, lupa mematikan kran air kamar mandi atau di lain waktu saya dengan santainya menggantung celana dalam di gagang pintu ruang tamu. Kami selalu menghadapinya dengan cara kami sendiri, dan tentu saja saya bersyukur karena sampai sekarang kami masih bersama.
Apa yang saya pegang teguh dalam berumahtangga adalah prinsip kesetaraan, tidak boleh ada yang menguasai atau dikuasai, perihal siapa yang mencari nafkah dan siapa yang merawat anak-anak, buat kami berdua, itu hanya kesepakatan belaka. Bagi saya, laki-laki dan perempuan punya tugas kemanusiaan dan hak yang sama.
Pendidikan sepenuhnya menjadi tanggungjawab kami berdua. Konsisten dalam laku dan kata selalu coba kami terapkan dalam mendidik anak-anak, walaupun saya sering gagal dalam hal ini, tapi setidaknya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan anak kami yang sulung, yang seringkali istri saya gagap untuk menjawabnya, maka saya yang akan meladeninya.
Di lain hari rekan saya tersebut bertanya lagi, “Bagaimana kau mengajarkan kedua anakmu perihal pendidikan seks di tengah budaya patriarkis yang sudah kelewat brengsek ini?”. Agak bingung saya menjawabnya, tapi yang pasti dan berulang kali saya tegaskan kepada anak perempuan saya, bahwa tubuh perempuan itu unik, maksudnya, perempuan berdaulat penuh atas tubuhnya, perempuan bisa menentukan dengan siapa tubuhnya boleh disentuh.
“Kamu harus protes kalau perlu melawan jika kamu merasa tidak nyaman jika tubuhmu disentuh, sekalipun itu Ayahmu sendiri,” begitu selalu saya katakan ke putri saya yang sekarang sudah menginjak usia sembilan tahun.
Kepada anak saya yang laki-laki, selain pendidikan karakter untuk menahan diri, saya kira penting juga untuk mengenalkan kedaulatan, otoritas dan penghormatan atas tubuh perempuan. Seks adalah perilaku setara antara dua orang yang sudah sangat mengerti akan konsekuensi dari kegiatan tersebut. Laki-laki mesti diajarkan sikap hormat bahwa seks tidak bisa dibeli, dipaksakan, apalagi dilakukan dengan kekerasan dan dengan alasan apapun. Tapi itu akan saya ajarkan nanti setelah anak laki-laki saya agak besaran sedikit, sekarang main saja dulu sepuas-puasnya.
Share Article
COMMENTS