banner-detik
WORK & CAREER

6 Tanda Mommies Terjebak di Lingkungan Kerja yang Tak Lagi Kondusif

author

?author?03 Aug 2017

6 Tanda Mommies Terjebak di Lingkungan Kerja yang Tak Lagi Kondusif

Saya sih nggak berharap saya ataupun Anda berada di tengah kantor dengan enam tanda berikut ini. Namun, kalau sampai terjadi, mungkin saatnya mempertimbangkan mencari kantor yang atmosfernya lebih baik?

Tujuan utama bekerja, tentu bukan hanya perkara gaji yang besar. Banyaaak faktor yang menentukan kenyamanan seseorang untuk bertahan atau nggak di sebuah perusahaan. Saya jadi teringat seorang teman yang sedang mengerjakan thesis untuk gelar S2 Psikolog Industri. Dia melakukan penelitian di sebuah perusahaan, yang terbilang kecil, tapi tingkat masa kerja karyawan di sana rata-rata lama.

6 Tanda Mommies Terjebak di Lingkungan Kerja yang Tak Lagi KondusifImage: www.i.telegraph.co.uk

Ada satu fakta menarik, yang saya ingat. Untuk masa kurun waktu tertentu, misalnya si karyawan A melewati masa kerja dua tahun pertama, dia akan diberikan reward cincin. Dan begitu, setiap kelipatan dua tahun kerja. Kesimpulan teman saya itu, gaji yang ditawarkan perusahaan tersebut, sebetulnya nggak bisa dibilang bombastis, tapi karena para petinggi manajemennya sangat manusiawi, mereka jadi betah berlama-lama kerja. Selain itu konsep kekeluargaan yang diusung, jadi faktor penentu lainnya.

Sayangnya, nggak setiap orang beruntung bisa berada di perusahaan, yang tadi saya ceritakan. Dari segi gaji atau tunjangan lainnya, mungkin besar, tapi sayangnya situasi kerja tidak kondusif. Atau, di kasus yang pernah teman saya alami, awalnya semua baik-baik saja. Sampai datang masanya, sistem manajerial diambil alilh oleh pihak lain. Jadilah, timbul satu demi satu, situasi yang bikin suasana kerja tak senyaman dulu.

  • Hampir setiap orang punya attitude yang nggak baik
  • Gejala ini bisa terlihat jelas dari bahasa tubuh dan respond yang diberikan rekan kerja. Setiap berpapasan, nggak pernah tuh, kasih senyum apalagi eye contact. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah turnover pegawai terbilang tinggi. Karena mereka merasa tidak nyaman bekerja di sana. Dan saya pernah ada di situasi semacam ini. Dalam sebulan, ada aja pegawai yang resign. Dan sebelum itu, isu-isu negatif tentang pekerjaan, berseliweran di telinga saya. Hampir nggak pernah dengar kalimat, “Gue nyaman kerja di sini!.”

  • Sistem manajerial yang tidak manusiawi
  • Saat target-target perusahaan menumpuk, tidak dibarengi oleh sikap para manajer yang manusiawi. Fokusnya hanya pada keuntungan perusahaan semata. Kalaupun ada proyek yang menguntungkan, jangan bermimpi bisa mendapatkan bonus apalagi dipromosikan.

  • Oh yeah, there’s always office drama
  • Ada saja desas desus di tengah jam makan siang. Kalau berita menyenangkan, sih, nggak masalah. Tapi ini, nggak jauh-jauh dari drama yang melibatkan antar orang atau antar divisi. Ini mau kerja apa main film, sih? Kok senang banget main drama. Saya memilih netral jika ada di posisi ini. Lagipula nggak tahu duduk masalahnya, takut terbawa arus dan ujung-ujungnya kita ikutan terlibat masalah.

  • Bawaanya kepingin resign!
  • Karena sudah seringkali terpapar situasi-situasi yang nggak nyaman tadi, yang ada di otak, pingin resign aja! Hampir setiap hari, buka-buka lowongan pekerjaan, update CV atau cari tahu dari teman-teman, adakah lowongan di tempat mereka kerja. Beberapa kali saya pernah mendapatkan pertanyaan ini dari teman. Pas saya tanya, ternyata benar, jawaban mereka “Gue udah nggak nyaman lagi kerja di sini, Tha. Atmosfer kerja udah nggak mendukung.”

  • Komunikasi tak lagi terjalin baik
  • Seingat saya ketika kuliah dulu (CMIIW), ada tiga jenis komunikasi dalam perusahaan, horizontal, diagonal dan vertikal. Horizontal terjadi antara mereka yang punya kedudukan yang sama. Komunikasi diagonal terjalin antar posisi yang beda, dan keduanya tidak berada di divisi yang sama, misalnya kalau di Mommies Daily, tim editorial dan tim sales. Dalam situasi kerja saya, saluran komunikasi ini penting. Terutama dalam proses menyelesaikan proyek yang sedang berjalan.

    Sementara komunikasi  vertikal, adalah komunikasi antara atasan dan timnya. Intinya komunikasi yang dari divisi yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Dalam lingkungan kerja yang sudah tak lagi kondusif, beberapa jenis komunikasi di atas tak berjalan dengan baik. Mungkin masih terjadi, tapi nggak ada kesamaan maksud atau titik temu, seperti tujuan komunikasi yang seharusnya. Yang paling mudah terdeteksi, atasan sudah tidak lagi menjadi pendengar yang baik untuk timnya, dan sebaliknya.

  • Mempunyai bos yang kejam
  • Tipe atasan seperti ini, biasanya hanya bisa memberikan perintah. Tanpa mau mendengarkan, seputar kesulitan tim. Yang ia kedepankan, kekuatannya sebagai atasan. Seperti mau bilang, “Ya gue bosnya, terus kenapa?.” Tidak ada bentuk apreasiasi apapun, ketika mommies berhasil membuat prestasi. Paling menyedihkan,  menyalahkan tim jika ada pekerjaan yang tidak beres, padahal sebagai atasan tidak memberikan contoh standar baik sebuah hasil pekerjaan. Jangankan itu, secara teori dan praktik, atasan seperti ini sebetulnya nggak ngerti. So, dia akan bersembunyi di balik kuasanya sebagai bos.

    Jika sudah ada 6 tanda di atas, akankah mommies bertahan atau sudah waktunya mencari lingkungan kerja yang lebih sehat? Kalau saya, akan ambil pilihan yang kedua :)

    Share Article

    author

    -

    Panggil saya Thatha. I’m a mother of my son - Jordy. And the precious one for my spouse. Menjadi ibu dan isteri adalah komitmen terindah dan proses pembelajaran seumur hidup. Menjadi working mom adalah pilihan dan usaha atas asa yang membumbung tinggi. Menjadi jurnalis dan penulis adalah panggilan hati, saat deretan kata menjadi media doa.


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan