Sorry, we couldn't find any article matching ''
Sudah Siapkah Anak Kita Berteman dengan Anak Berkebutuhan Khusus?
Saya percaya, anak berkebutuhan khusus hadir di tengah kita untuk melengkapi kehidupan ini. Pertanyaannya, sudahkah anak kita siap berteman dengan ABK? Teman yang terlihat berbeda dari dirinya?
Saya ingaaaat banget, saat Bumi berusia 3 tahun, ketika sedang asik memilih buku di toko buku, tiba-tiba Bumi terlihat kaget dan tertegun atau mungkin bingung, sambil melihat ke satu sudut. Reflek, saya pun mengikuti arah pandangannya Bumi. Rupanya Bumi sedang memerhatikan seorang anak berkebutuhan khusus.
Saat itu jantung saya deg-degan luar biasa karena saya takut kalau Bumi bersikap atau ngomong sesuatu yang nggak enak yang bisa melukai perasaan anak berkebutuhan khusus atau orangtuanya si anak. Thank's God, Bumi tidak bereaksi yang aneh-aneh.
Baca juga:
Jangan Mengatakan Ini Kepada Orangtua Dari Anak Berkebutuhan Khusus
Sering saya dengar, bagaimana orangtua dari ABK mendidik dan menempa anak-anak mereka untuk tangguh menghadapi dunia. Lantas, bagaimana dengan kita yang memiliki anak non ABK, apakah kita sudah menyiapkan anak kita bagaimana berinteraksi dengan ABK? Bagaimana berempati dengan para ABK ini? Ini yang sering kita lupa.
Kita suka berharap kalau empati itu bisa tumbuh dengan sendirinya di diri anak-anak kita. Berharap mereka sudah paham bagaimana berinteraksi dengan orang yang berbeda dengan mereka. Kita lupa bahwa empati merupakan sebuah rasa yang perlu diperlajari. Termasuk berempati terhadap teman-temannya anak-anak berkebutuhan khusus. Makanya saya nggak bosan-bosannya mengingatkan Bumi untuk belajar berempati.
Saya sempat ngobrol dengan mbak Najellaa Shihab, founder dari Sekolah Cikal dan keluargakita.com, mengenai apa yang perlu diajarkan oleh orangtua agar anak-anaknya tidak merasa asing dengan kehadiran ABK? Menurut mbak Ella, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh para orangtua.....
1. Ajarkan anak untuk mengenal emosinya sendiri dulu sebelum dia belajar memahami orang lain
2. Berikan pengalaman pada anak. “Bagaimana anak mau belajar untuk menerima perbedaan jika mereka tidak terpapar dengan pengalaman?” ungkap mbak Ella. Ia melanjutkan, jika memang anak kita terbiasa untuk hidup dan berada di lingkungan yang homogen maka tugas kitalah sebagai orangtua untuk mengenalkan anak pada lingkungan yang heterogen. Dengan begitu, anak pun bisa mulai belajar akan perbedaan hingga nantinya bisa menumbuhkan toleransi.
3. Kita juga bisa menjelaskan dengan memberikan contoh pada dasarnya semua orang itu tidak sama. Punya keunikan sendiri. Misalnya, ada yang memiliki rambut lurus, ada juga yang ikal dan keriting. Ada juga orang yang memang tubuhnya tinggi, ada juga yang pendek. Bisa dimulai dengan memberikan contoh dari yang terdekat, bahwa bapak dan ibunya berbeda.
"Anak-anak itu pada dasarnya itu sama, kok. Sebenarnya yang namanya prasangka atau ketidaknyamanan dalam perbedaan bukan bawaan lahirnya dia. Kalau sejak lahir, ia sudah dipaparkan dengan yang perbedaan, tentu ia akan menganggap perbedaan itu normal. Jadi, orang tualah yang punya tugas untuk memberikan pengalaman keberagaman itu," papar mbak Ela lagi.
4. Orangtua perlu membantu memberikan interpretasi yang tepat. Seperti yang dikatakan Mbak Najella, pada dasarnya anak adalah observer yang sangat baik tapi mereka bisa menajadi very bad interpreter. Di sinilah fungsi kita sebagai orangtua untuk membantu memberikan interpretasi yang tepat.
Sudahkah kita membekalinya dan memberikan interpretasi yang tepat? Jawaban ini tentu harus dikembalikan pada diri kita masing-masing untuk bisa 'mengukurnya'.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS