Ditulis oleh : Doni Wahyudi
Kata orang bijak, kesulitan dalam hidup bisa membuat kita menjadi sosok yang lebih baik. Tapi momen yang membuat saya mengalami perubahan hidup paling besar justru berupa sebuah perayaan. Itu terjadi tujuh tahun lalu, saat saya resmi menjadi bapak.
Saya masih ingat betul setiap detil yang terjadi di hari itu, 19 Mei 2010. Serangan rasa gugup yang hebat, perjalanan (yang terasa sangat) panjang menuju rumah sakit, perasaan janggal yang meletup-letup di dada, aroma rumah sakit yang entah mengapa lebih menusuk, tangisan pertama, dan sensasi menyentuh kulit keriput yang sangat rapuh tapi lembut itu.
Di Mommiesdaily ini saya pernah menulis kalau menjadi bapak adalah pengalaman yang mengubah kehidupan setiap laki-laki di dunia.
Saya tidak bisa bilang kalau menjadi orang tua akan membuat kita menjadi sosok yang lebih baik, atau lebih buruk. Yang pasti, menjadi orang tua membantu saya untuk menetapkan apa yang penting dalam kehidupan. Mengurutkannya dalam skala prioritas tertentu.
Menjadi bapak telah memaksa untuk meningkatkan kemampuan diri. Baik secara personal, maupun dalam lingkup pergaulan sosial. Lalu apakah saya kini jadi sosok yang lebih baik setelah memiliki anak? Saya harap, sih, begitu.
Sebenarnya sih kesabaran laki-laki sudah diuji saat dia memutuskan menikah, hahahahaha... Tapi, setelah kelahiran anak, level kesabaran kita akan dituntut naik beberapa tingkat.
Bayangkan, bagaimana mungkin kita harus melewatkan pertandingan olahraga di televisi demi film-film kartun yang non-stop di NickJr, Cartoon Network, Disney Channel dan saluran-saluran anak yang lainnya? Atau mendengar cerita tentang seseorang, entah siapa, yang memainkan game Minecraft di Youtube pada sepanjang akhir pekan.
Betapa meminta mereka mandi di hari libur terasa lebih sulit dibanding meminta konfirmasi ke nara sumber (oiya, saya seorang jurnalis) benar-benar memusingkan. Hal-hal yang saya pikir sepele ternyata adalah sebuah perjuangan yang melelahkan.
Tapi itu semua sepadan, kok. Saya menikmati setiap ujian-ujian kesabaran tersebut. Dan sepertinya saya lulus di tes yang satu ini.
Sesungguhnya bukan cuma perempuan yang (butuh) belanja. Kami kaum laki-laki juga punya hasrat untuk itu. Menambah aksesori mobil/motor, mengu-update gadget, menambah koleksi Blu Ray Playstation, dan sebagainya, dan yang lainnya.
Hal-hal semacam itu sekarang tak lagi jadi aktivitas rutin. Tentu saja karena ada prioritas lain yang harus dipikirkan. Buku-buku baru, sepatu dan tas sekolah, serta biaya SPP dan ekstrakulikuler menyeruak ke posisi teratas daftar pengeluaran bulanan.
Menjadi penuh perhitungan bukan hanya terkait persoanal finansial. Semua langkah, semua tindakan, dan segala perbuatan harus diperhitungkan dan direncanakan. Karena apapun efeknya, itu akan memengaruhi hidup orang lain (keluarga).
Saya bersyukur memiliki anak yang mungkin bisa dimasukkan dalam kategori ‘bawel’. Di awal usianya yang kelima beberapa tahun lalu, Bumi tak pernah berhenti bertanya. Semua hal dia tanyakan, dan berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan berantai sebagai kompensasi atas ketidakpuasannya.
Pertanyaan Bumi kini tak seintens waktu itu. Tapi dia masih talkative. Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan cerita-cerita yang dinarasikan, saya banyak belajar untuk memberi respons. Bukan sekadar bereaksi.
Intinya adalah berpikir sebelum berucap. Respons bukan sekadar menjawab pertanyaan, atau memerhatikan saat dia bercerita. Melainkan juga memberikan perhatian, membalas dengan ucapan dan gesture, menjadikannya sebagai lawan bicara.
Menjadi bapak adalah sebuah berkah yang harus dirayakan setiap hari. Dari hari-hari yang sudah dilalui sejak Bumi lahir, saya sih bisa merasakan luar biasa besarnya nikmat yang dititipkan pada keluarga kecil kami.
Rasa khawatir bagaimana memenuhi kebutuhan hidup tentu saja pernah datang. Sejauh ini semuanya berjalan lancar, meski tentu saja tak lepas dengan segala tantangannya. Tak sampai berlebih, tapi cukup. Karena cukup itu baik.
Dari kehidupan sehari-hari bersama Bumi saya bisa lebih menysukuri beragam hal. Alhamdu....lillah.
Untuk hal ini, sih, sebaiknya ditanyakan langsung ke istri saya.
Tapi saya percaya mendidik dan membesarkan anak butuh peran yang sama besar antara ibu dengan bapak. Dan karena itulah kerja tim harus dikedepankan. Menjadi orang tua seharusnya lebih menyatukan suami-istri, bukan sebaliknya.
Bagi suami-istri, menjadi orang tua adalah pekerjaan seumur hidup. Perjalanan masih sangat panjang, perdebatan dan adu argumen pasti muncul. Untungnya, saya sudah dibekali poin pertama dalam tulisan ini :)