Masih saja khawatir menitipkan anak di daycare? Menurut saja, sih, nggak perlu, ya.
Saat hamil, saya tidak sempat pusing mengkhawatirkan pencarian baby sitter. Saya dan suami tidak punya siapa-siapa di Jakarta jadi opsi daycare adalah opsi satu-satunya. Kami terlalu khawatir menggunakan jasa baby sitter di rumah tanpa pengawasan siapa pun.
Survey pun sudah kami lakukan sejak usia kandungan saya baru 5 bulan. Di usia hamil 6 bulan, kami sudah mendapat daycare yang cocok. Baik dari segi prinsip membesarkan anak sampai biaya.
Hampir tiga tahun menitipkan anak di daycare, saya seringkali dapat pertanyaan: “memangnya nggak khawatir anak di daycare?”
Biasanya sang penanya justru tidak punya pengalaman dengan daycare sama sekali sehingga konsep daycare adalah sesuatu yang sangat asing. Membayangkan membawa anak ke “rumah” lain di siang hari dan dijemput sore hari jadi bertentangan dengan kebiasaan umum bahwa anak yang belum sekolah, tinggal di rumah bersama ibu atau pembantu rumah tangga.
Kekhawatirannya biasanya seputar hal-hal berikut ini:
Di daycare justru pengasuh bisa saling mengingatkan satu sama lain. Ada supervisor juga yang mengawasi para pengasuh sehingga tidak berbuat sewenang-wenang. Banyak daycare yang dilengkapi CCTV jadi dari segi keamanan sebetulnya bisa dibilang daycare lebih aman dibanding hanya dengan baby sitter berdua di rumah.
Tergantung daycarenya. Ada daycare yang mengharuskan anak membawa makan sendiri dari rumah. Tapi di daycare yang menyediakan makanan, menurut saya makanannya justru lebih bergizi dibanding di rumah. J Di daycare, setiap makanan pasti sudah diperhitungkan gizinya. Selalu ada sayur dan protein, serta cemilan buah.
Di daycare, sesusah-susahnya anak makan, tidak akan sesusah di rumah. Sepanjang pengalaman saya, anak disebut tidak mau makan di daycare padahal sudah habis setengah piring. Sementara kalau di rumah, namanya tidak mau makan biasanya tidak disentuh sama sekali kan? Mungkin ada faktor kompetisi juga, makan bersama-sama anak lain jadi lebih bersemangat.
Ini harus dibicarakan dengan owner dan supervisor daycare. Menurut saya harus satu suara dulu. Dari hal yang paling sederhana, apakah daycare pro ASI? Apakah daycare mau memberikan ASI dengan sendok? Bagaimana punishment untuk anak yang dianggap tidak menurut pada mbak? Dari pertanyaan sederhana seperti itu biasanya langsung terlihat. Ibu-ibu pro ASI dan pro ASI dengan sendok biasanya juga RUM (rational use of medicine) dan banyak lagi. Bisa didiskusikan sejak awal sebelum memutuskan anak masuk ke daycare.
Nangis biasanya dimasa adaptasi. Tapi itu pun ada yang nangis ada yang nggak sih, tergantung anaknya banget. Ada yang satu hari bengong dan nangis, hari kedua sudah bisa beradaptasi. Ada yang sampai 2 bulan masih nangis terus setiap hari. Kalau memang tidak ada pilihan lain ya harus dipaksakan. Buat daycare sebagai tempat yang menyenangkan, saya saja kalau habis long weekend masih selalu bercerita soal daycare supaya Xylo ingat bahwa besok ia akan di daycare lagi tanpa saya. Karena biasanya setelah long weekend itu drama, terlalu lama bersama ibu jadi tidak mau lagi ditinggal kerja.
Saya sih sejak awal memastikan daycare yang tidak bergantian tempat tidur. Jadi tempat tidur Xylo selalu di situ, dengan bantal dan selimut itu. Sebabnya ada juga daycare yang tempat tidur dipakai bergantian. Saya geli membayangkannya.
Kalau untuk urusan tidur siang, anak-anak di daycare Xylo semua bisa tidur siang sendiri! Biasanya setelah makan siang mereka diseka, digantikan baju, dibawa ke tempat tidur dan dalam sekian menit semua sudah tidur sendiri.
Nah jadi sebetulnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan soal daycare. Komunikasi tetap jadi kunci supaya anak tetap betah bermain dan kita tenang saat bekerja. Jadi jangan khawatir menitipkan anak di daycare!
*
Annisa Steviani, ibu bekerja dengan satu anak yang hobi menulis. Bertahun-tahun jadi reporter, editor, dan menulis buku, kini ia rutin menulis topik-topik seputar keluarga dan parenting di blog pribadinya annisast.com dan cerita pendek kesehariannya di Instagram @annisast.