Sorry, we couldn't find any article matching ''
Karena Anak Tunggal Bukan Anak Emas
Anak tunggal akan tumbuh jadi anak yang egosentris? Nggak bisa berjuang dan selalu manja? Ah, siapa bilang? Kan, anak tunggal bukan anak emas.
Di lingkungan pertemanan saya, tidak sedikit yang akhirnya memutuskan untuk punya anak satu. Alasannya, tentu saja kompleks, tapi yang jelas banyak di antara teman saya mengaku kalau keputusan ini memang sudah dipikirkan secara matang lebih dulu.
“Karena gue tahu persis jadi orangtua itu nggak gampang, belum lagi kalau ingat pendidikan anak yang begitu mahal. Termasuk biaya kesehatan. Kok, rasanya egois banget ya, kalau gue dan suami memutuskan untuk punya anak banyak, tapi nggak mampu memberikan yang terbaik? Ah, kalau gue sih, sudah sangat bersyukur punya anak satu.”
Mendengar alasan salah satu teman saya ini lantas membuat saya berpikir, “Iya, memang ada benarnya juga, sih. Lagian sudah nggak zamannya lagi deh, punya pikiran nanti anak juga akan punya rezeki masing-masing. Percaya, deh, banyak anak belum tentu banyak rezeki!
Kalau saya gimana? Kalau saya, sih, sampai sekarang masih kepengen nambah anak, setidak-tidaknya masih usaha memberikan Bumi seorang adik. Kalau pun memang ternyata Tuhan nggak punya keputusan berbeda, saya dan suami memang harus bersiap mendidik dan membesarkan Bumi sebagai anak tunggal.
Ngomongin soal anak tunggal, stereotype di lingkungan masyarakat masih banyak yang menilai kalau anak tunggal itu cenderung manja, egosentris, dan antisosial. Hal ini memang dikarenakan si anak tunggal selalu dituruti segala keinginannya, yang ujung-ujungnya bikin anak manja karena nggak punya daya juang untuk memperoleh sesuatu.
Apa iya anak manja semua akan seperti ini? Tunggu dulu.
“Nggak juga, kok. Siapa bilang anak tunggal akan selalu seperti itu? Semua tentu akan berpulang ke cara pengasuhan orangtua lebih dulu. Anak-anak sedari awal perlu diajarkan cara berjuang, bagaimana bisa berbagai, tahu rasanya untuk menjadi kalah. Kalau memang nggak bisa berbagai dengan saudara kandung, hal itu kan tetap bisa dilakukan dengan siapapun. Misalnya, dengan temannya, pengasuhnya dan tentu saja dengan orangtua. Yang penting keterempilan sosial itu memang perlu dibangun sejak kecil,” papar Mbak Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si.
Intinya, sih, memang akan kembali lagi bagaimana cara kita mengasuh. Ya, kalau memang sedari awal sudah nggak tepat, mau anak satu atau selusin tetap saja bisa bikin anak manja dan tumbuh jadi anak yang nggak tangguh.
Oleh karena itu Mbak Nina kembali mengingatkan, sebagai orang kita jangan sampai salah kaprah menerapkan positive parenting. Jangan menjadikan anak sebagai raja, yang selalu dituruti kemauannya. Mendidik anak perlu seimbang antara cinta dan logika.
Selain itu, pola pengasuhan ini idealnya juga jangan sampai dirusak oleh perlakuan keluarga atau orang terdekat yang mengistimewakan si anak tunggal. Untuk itu, pola asuh dan segala kesepatakan harus diketahui oleh keluarga terdekat lainnya. Supaya nggak memperlakukan anak kita seperti anak emas. Mau punya anak satu atau selusin, toh, semua tergantung bagaimana dengan cara pola asuh yang kita terapkan ke anak. Kalau begitu, yuk sama-sama belajar untuk tidak salah kaprah jadi orangtua.
Yang setujuuuuu, mana suaranyaaaa?
Share Article
COMMENTS