Sorry, we couldn't find any article matching ''
Ketika Buah Hatiku Lahir Dengan Liver di Luar
Ditulis oleh: Dewi Warsito
Perjuangan Belinda Ilham dalam menata emosi dan tekad membesarkan putrinya, Salmaya Aisha Emil yang memiliki kelainan omphalocele.
Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benak Belinda, ketika hamil putri kecilnya, bahwa si kecil akan memiliki cacat bawaan. Omphalocele adalah cacat lahir yang mengakibatkan usus bayi atau organ perut lainnya berada di luar tubuh karena lubang di daerah pusar, dan hanya ditutupi oleh lapisan tipis jaringan sehingga dapat dengan mudah dilihat. Menurut dokter, ini terjadi di usia 10 minggu, ketika dinding perut janin tak menutup sempurna.
Apa yang pertama kali kamu lakukan, ketika dokter menyatakan Salmaya menderita omphalocele?
Blank. Karena saya nggak tahu apa itu omphalocele. Dalam bayangan saya semua baik-baik aja, karena obgyn yang biasa menangani saya nggak pernah bilang apa-apa. Yang melihat kelainan itu justru obgyn lain, di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat. Saat obgyn melakukan USG 2D itulah ia menyebutkan bahwa ada indikasi bayi saya mengalami omphalocele. Seketika itu juga USG di-switch ke 3D. Namun dokter tidak bisa memastikan, organ apa yang berada di luar dan menyarankan saya untuk berkonsultasi dengan ahli feto-maternal.
Sudah gitu, si obgyn sempat menjawab, “Ya, itu sialnya ibu bapak aja mungkin, pada saat pembuahan benih dari ibu bapak nggak klop, dan kasus ini di Indonesia hanya 1:10000 di setiap kelahiran,” ketika kami bertanya penyebabnya. Gimana nggak mau mati aja rasanya?
Lalu, langkah apa yang langsung diambil ketika sudah mengetahui hal tersebut?
Sesuai saran, saya dan suami berkonsultasi dengan ahli fetomaternal di Jakarta Pusat. Rasanya makin lemas ketika beliau mengindikasikan bahwa bayi saya masuk kategori Giant Omphalocele. Ditambah lagi beliau menyampaikan bahwa biasanya kelahiran bayi Omphalocele akan diiringi dengan kelainan lain, salah satunya down syndrome.
“Ibu, Omphalocele adalah kehamilan dengan risiko tinggi, perawatannya akan sangat berat dan membutuhkan biaya yang sangat besar, belum lagi biasanya akan ada cacat bawaan lain, silakan dipikirkan apakah ibu mau menghentikan, atau meneruskan kehamilan ini,”saran beliau. Nggak bisa saya jelaskan perasaan saya saat itu. Berjuta kenapa bermunculan di kepala.
Namun, pertanyaan saya terjawab ketika USG 4D dan melihat wajah anak saya untuk pertama kalinya. Di mata saya dia cantik sekali. Hati saya terasa hangat dan detik itu juga saya bertekad untuk tetap melahirkannya dan merawatnya dalam kondisi apa pun.
Setelah memutuskan untuk mempertahankan kehamilan, adakah tes-tes yang harus dilakukan?
Iya, saya melakukan tes DNA untuk mengetahui adakah kelainan bawaan lain. Saya melakukan Harmony Test, tes DNA melalui darah yang hasilnya dikirim ke AS dan dianalisa di sana, sebab pilihan lain adalah dengan mengambil sampel cairan ketuban, dan itu sangat berisiko. Baru 14 hari hasilnya akan diemail. 14 hari yang membuat saya seperti gila. 14 hari yang penuh harapan dan kecemasan. Alhamdulillah, hasil tes DNA menunjukkan tidak ada cacat bawaan lain. Namun begitu, yang namanya tes oleh manusia, tidak ada yang bisa menolak kuasanya Tuhan. Terlebih untuk pendeteksian gangguan organ tubuh lain seperti pencernaan, jantung, dan lain-lain, hanya bisa diketahui setelah bayi dilahirkan. Di titik itu, saya cuma bisa pasrah.
Apa yang kemudian kamu persiapkan dengan kehamilan risiko tinggi ini jelang kelahiran?
Di usia 7 bulan, barulah saya berani browsing gambar-gambar Omphalocele. Saya cari semua informasi sedetil-detilnya. Biar saya siap dengan segala kemungkinan. Yang penting buat saya adalah saya bisa merawat dan menjaga bayi saya seoptimal mungkin. Saya pun bergabung dengan grup Mothers Of Omphalocele (MOO) yang begitu banyak memberikan saya informasi, ketenangan, serta rasa percaya diri. Ini adalah sebuah grup di Facebook yang beranggotakan ibu-ibu dengan anak omphalocele dari seluruh dunia.
Karena dokter ahli feto-maternal yang sebelumnya penuh banget, akhirnya saya pindah ke ahli fetomaternal lain di Rumah Sakit Bunda Menteng, Dr dr Noroyono Wibowo, SpOG(K). Dokter inilah yang akhirnya betul-betul menenangkan saya. Dia juga yang meminta saya untuk terus positive thinking. Memang kita harus persiapkan yang terburuk, tapi juga jangan lupa, kemungkinan terbaik juga ada.
Saya pun juga memilih dr Amir Thayeb, SpB, SpBA sebagai dokter bedah anak, kalau-kalau pas dilahirkan nanti dibutuhkan operasi. Dan karena umumnya anak Omphalocele sulit menyerap nutrisi, saya memilih spesialis anak yang juga spesialis gizi, dr Klara Yuliarti, SpA.
Katanya Salmaya lahir sebelum tanggal yang ditentukan untuk operasi Caesar?
Iya, benar banget. Salmaya direncanakan lahir tanggal 19 Oktober 2015 melalui sectio, tapi tanggal 16 air ketuban saya sudah pecah. Saat saya lagi jalan di Plaza Senayan belanja kebutuhan Salma, dan berlanjut mau manicure pedicure =)) Mana lagi libur 1 Muharram pula. Semua dokter Salmaya lagi liburan, kecuali dokter bedah anaknya yang stand-by. Kehamilan ini bikin saya pasrah seada-adanya.
Apa yang kamu rasakan melihat Salmaya Aisha Emil pertama kali?
Semua takut, cemas, ragu hilang seketika. Alhamdulillah semua yang kami takutkan nggak terbukti. BAK dan BABnya lancar yang membuktikan bahwa sistem pencernaannya nggak kenapa-kenapa.
Kalau dalam beberapa kasus Omphalocele organ dalam yang keluar kebanyakan usus, dalam kasus Salma adalah livernya. Satu aja yang bikin saya nggak tega, kala ia harus berganti perban 2 kali dalam seminggu. Kalau yang normal organ tubuh bagian dalam dilindungi dengan 7 lapisan kulit plus daging, organ Salma hanya dilindungi 2 lapisan kulit. Karena kulitnya basah dan tipis, tentu saat pergantian perban tersebut sangat sakit ia rasakan.
Keputusan-keputusan penting apa yang kamu ambil terkait dengan kondisi Salmaya?
Satu, memakai hijab. Ini adalah bentuk rasa syukur saya yang amat besar terhadap Allah SWT.
Kedua, menjadi stay-at-home-mom. Saya memutuskan untuk berhenti bekerja di agensi periklanan yang memang jam kerjanya tahu sendiri, kan?
Ketiga adalah saat saya berkompromi dengan susu formula. Saat saya keukeuh memberikan hanya ASI kepada Salma, kenaikan berat badannya terasa sangat lambat. Sehingga saya putuskan memberikan susu formula sebagai tambahan.
Pada saat ini saya betul-betul didukung oleh keluarga. Sesibuk apa pun suami, dia tetap hadir menemani saya di rumah sakit untuk ganti perban Salmaya. Dia bahkan yang mengganti perban kalau di rumah, karena saya nggak tega. Ibu saya stay di rumah untuk bantu. Kakak dan adik saya nggak pernah putus kasih saya support. Kakak dan adik ipar merelakan sebagian ASIPnya untuk diberikan pada Salmaya.
Bagaimana perkembangan Salmaya sekarang di usia 1 tahun?
Salmaya tumbuh jadi anak yang normal. Kalau melihat dari growth chart, pertumbuhannya sesuai dengan usia, kecuali tengkurap. Dia baru bisa tengkurap sendiri di usia 6 bulan, mungkin karena perutnya nggak nyaman ya, ada yang mengganjal. Tapi kalau perkembangan lain, sih, seperti merangkak, melangkah, babbling, semua sesuai dengan usia.
Di usia 1,5 tahun nanti, Salmaya akan kontrol lagi dengan dokter. Kemungkinan akan ada tindakan lanjutan untuk perutnya. Bisa saja dilakukan penekanan terhadap organnya yang di luar. Mungkin juga akan ada penyusunan organ dalam, hingga operasi kosmetik untuk perutnya.
Ada pesan untuk mommies yang memiliki anak, atau bahkan sedang hamil dengan kondisi janin omphalocele?
Pesan saya, jangan cepat menyerah. Banyak doa. Ikuti kata hati karena cuma ibu yang mengerti, semua yang terbaik buat anaknya.
Saat ini saya bercita-cita untuk bikin komunitas Omphalocele di Indonesia. Sekarang ada WhatsApp Grup beranggotakan 6 orang. Ada yang dari Jakarta, Bogor, Surabaya, hingga Palembang. Grup kami sangat terbuka dengan ibu-ibu Omphalocele lainnya. Sekiranya ingin bergabung, boleh banget info ke email saya [email protected] untuk saya invite.
Satu kalimat dari suami saya, Sandru Emil, yang bikin saya tercenung, “Mungkin kamu memang ditakdirkan jadi ibu Omphalocele Bel, kan ulangtahun kamu pas dengan Hari Omphalocelle sedunia, 31 Januari.”
Share Article
COMMENTS