Boleh, Ya, Nggak Mengatakan 5 Hal Ini Ke Orangtua dari Anak Berkebutuhan Khusus!

Self

Mommies Daily・14 Nov 2016

detail-thumb

Ditulis oleh: Dewi Warsito

Sebagai ibu dari anak berkebutuhan khusus, saya ingin semua orang tahu, apa hal yang tidak ingin saya dengar dari mulut kalian :)

Buat sebagian besar ibu-ibu dengan anak berkebutuhan khusus, akan dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar kelainan, gangguan, atau hambatan, semata-mata karena kami ingin sharing. Ingin ibu-ibu lain juga aware, seandainya anaknya, atau anak kerabat dekatnya menunjukkan gejala yang sama, segera bisa ditangani sedari dini.

Tapi, kalau pertanyaan, atau komentar yang dilontarkan kemudian mulai melanggar area yang sensitif, juga privasi, tentu kami akan merasa nggak nyaman. Jangan salahkan kalau akhirnya jawaban yang keluar dari mulut kami terdengar judes. Harapannya, sih, komentar atau pertanyaan seperti di bawah ini, nggak perlu kami dengar. Biar kita sama-sama enak, gitu :D.

Boleh, Ya, Nggak Mengatakan 5 Hal Ini Ke Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus! - Mommies Daily

“Ah, anak kamu kelihatan normal-normal aja. Kamunya yang lebay kali.”

Hellaaaww, situ ketemu anak sini satu jam juga belum, tapi sudah bersikap layaknya psikolog anak berpengalaman. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk membawa anak saya ke psikolog dan kemudian menjalani beberapa terapi, tentunya tidak berdasarkan analisis main-main. Saya yang menyaksikan ia setiap hari tumbuh, saya yang tahu bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungannya, saya jugalah yang mengurusnya dari pagi sampai malam. Kalau boleh memilih, saya juga maunya anak saya normal, nggak speech delay, nggak harus terapi, dan tumbuh besar dengan optimal. Lebay? Situ kali yang lebay.

“Kenapa nggak konsultasi ke psikolog B saja? Psikolog A itu nggak bagus!”

“Kenapa harus ke klinik C, kenapa nggak klinik D saja? Di sana terapisnya lebih bagus.”

“Kenapa nggak begini, kenapa harus begitu?”

Haduh. Jadi begini, ya, mencari psikolog, klinik, atau terapis yang cocok buat anak itu nggak semudah membalik telapak tangan. Harus dipikir juga:

Apakah si psikolog bikin anak nyaman?

Kliniknya jauh atau dekat dari rumah?

Terapi itu melelahkan, lho. Sudah cocok sama terapisnya, tapi kliniknya terlalu jauh, atau mungkin buat sebagian orangtua, biayanya tak terjangkau. Jadi, ketika akhirnya kami memilih, tentunya sudah kami pertimbangkan masak-masak. Yang ideal menurut kamu, belum tentu ideal bagi kami.

“Pasti bisa sembuhlah, kalau kamu menanganinya dengan benar.”

Untuk mereka yang melontarkan komentar seperti ini, biasanya saya nggak akan anggap. Karena sudah jelas, pengetahuannya soal anak berkebutuhan khusus sangat minim. Tapi bolehlah, saya bantu jelaskan di sini. Gangguan autisme, ADHD, atau seperti yang dialami anak saya Sensory Processing Disorder bukanlah penyakit yang bisa disembuhkan dengan obat. Gangguan atau hambatan ini tidak bisa disembuhkan, tapi bisa ditangani agar kehidupan si anak kelak bisa optimal walaupun nggak akan senormal anak-anak tanpa gangguan tumbuh kembang, ya.

“Kasihan nggak boleh makan macam-macam.”

Nah, ini biasanya yang ngomong kerabat dari keluarga besar, pas lagi kumpul. Melihat si anak berkebutuhan khusus dilarang makan es krim, maka keluarlah kalimat tersebut. Untuk beberapa kasus, anak berkebutuhan khusus memang menjalani diet. Ada makanan yang harus dipantang. Hal itu semata-mata juga demi kebaikan dirinya. Sekali lagi, cobalah untuk lebih sadar diri, kalau ibu dan ayahnyalah yang paling tahu kondisi si anak. Ketika mereka sudah membatasi anaknya untuk makan es krim, jangan tampil jadi pahlawan kesiangan. Mungkin besok bisa coba bangun lebih pagi, ya ;)

“Sabar aja, deh.”

Demi Allah, kami sangat menghargai perhatian tersebut, tapi mendengar ini dari seribu orang rasanya kuping pengeng juga. Ketahuilah ada kalanya saat kesabaran diuji, kami gagal. Beneran. Percayalah, kami sudah berusaha sekuat mungkin untuk bersabar. Sering banget, kan, dulu dengar dari orangtua kalau kita harus jadi anak baik, belajar yang rajin, dan kalimat tersebut diulang-ulang ribuan kali? Gitu, deh, rasanya.