Sorry, we couldn't find any article matching ''
Mengatasi Perbedaan Pola Asuh dengan Mertua
Urusan konflik atau perbedaan pola asuh dengan mertua ibarat seperti problem klasik yang akan selalu ada ya. Nah, ada masukan menarik yang saya dapat saat acara MD Lunch kemarin.
Siapa yang sering beda pendapat saat menerapkan pengasuhan dengan suami? Kita bilang A, suami malah bilang C. Kalau suami sendiri, mungkin kita bisa lebih mudah mengajak argumen dan diskusi. Masalahnya, drama perbedaan pola asuh ini ternyata nggak cuma dengan suami, tapi nggak jarang dengan orang tua atau mertua sendiri (hayoooo ngaku! :D). Dan mengatasi perbedaan pola asuh dengan orang tua atau mertua nggak semudah berhadapan dengan suami :p.
Karena konflik soal pengasuhan ini selalu menarik untuk dibahas, maka acara #MDLunch Oktober lalu, kami bersama Keluarga Kita sepakat mengadakan Kelas Hubungan Reflektif : Mengatasi Perbedaan Pola Asuh antara Ayah, Ibu dan Mertua.
Di awal acara, Yulia Indriati, Content Manager Keluarga Kita bilang, ketika kita dihadapkan pada suatu konflik, jangan hanya fokus dengan mencari mencari solusinya saja. Hal ini justru hanya membuktikan kalau kita sebenarnya nggak mau membahas konflik secara menyeluruh dan terkesan menghindari konflik. Solusi baru bisa kita temukan kalau sudah paham bagaimana menjalankan teknik komunikasi yang baik, punya keterampilan memahami emosi, termasuk memahami keunikan temperamen lawan bicara.
Sebenarnya, materi yang didiskusikan dalam acara MDLunch cukup banyak, salah satu topik yang sangat menarik dan bisa dibilang ilmu dasar yang perlu kita tahu adalah mengenai salah kaprah seputar hubungan dalam keluarga. Salah kaprah yang bagaimana?
Eeeitsss…. tunggu dulu, yakin dengan pandangan ini? Buktinya banyak sekali kan adik kakak yang hubungannya seperti anjing dan kucing? Nggak akur. Jadi pada prinsipnya, kualitas hubungan itu perlu dijaga dengan cara berinteraksi dengan baik, seperti memerhatikan kuantitas pertemuan, saling mengapresiasi, mengkritik tanpa perlu meremehkan, dan tentunya berkonflik secara sehat. Bentuk hubungan seperti ini juga yang perlu kita ciptakan bersama mertua. Coba ingat-ingat lagi, seberapa besar usaha kita untuk dekat dengan mertua? Bahkan sebenarnya kita perlu memiliki waktu khusus untuk pergi makan bersama mertua, lho, setiap bulannya!
Sudahkah kita melakukan hal itu?
Waaah… kalau saya, sih, sama sekali nggak setuju dengan pandangan seperti ini. Kecualiiiii….. saya dan seluruh keluarga punya kelebihan untuk bisa membaca pikiran orang lain, tanpa dibicarakan. Macam, cenayang gitu, lho, hahaha. Dalam hubungan sosial, termasuk dalam keluarga, komunikasi efektif tentu saja diperlukan agar bisa saling tahu apa yang dirasakan. Kalau kita bisa melakukan komunikasi efektif dengan baik, otomatis anak juga bisa belajar secara langsung.
Kalau belum-belum sudah defensif dengan dengan keluarga besar, bisa kebayang konflik yang muncul seperti apa? Biar bagaimanapun, keluarga besar seperti mertua tentu punya keinginan mendapat peran mengasuh cucu. Idealnya, komunikasikan dengan baik dan memberikan peran sesuai porsinya. “Mereka sebenarnya 'jaring pengamanan' kita dalam berbagai hal, misalnya kalau ada sesuatu yang urgent pasti yang diandalkan untuk jaga adalah keluarga besar lebih dulu.
Saya jadi ingat seorang teman yang bercerita kalau dalam keluarganya, teman saya ini memang sengaja membentuk image kalau ia adalah ibu yang galak, sementara suaminya adalah ayah yang baik. Waktu mendengar saya, sih, cukup heran, ya. Karena pada prinsipnya saat berinteraksi dengan anak yang diperlukan adalah konsistensi yang bisa membuat pertumbuhan karakter anak jadi baik.
Poin penting lainnya adalah bagaimana membuat kesepakatan yang dilakukan dari beberapa arah, kita sebagai orangtua, anak dan termasuk mertua. Waktu itu Yulia bercerita kesepakatan ini ada baiknya ditulis sehingga bisa diingat dan diketahui seluruh anggota keluarga. Dengan begitu, mertua pun tahu dan mau nggak mau ikut dengan kesepakatan yang sudah dibuat.
Selain perlu memahami salah kaprah soal hubungan keluarga, kita juga perlu tahu kalau sebenarnya ada beberapa hal yang nggak bisa kita kontrol tapi memengaruhi hubungan keluarga. Seperti beberapa hal berikut ini:
Kita perlu tahu kalau orang tua kita, termasuk suami sudah punya paket lengkap dengan masa lalu bagaimana suami diasuh. Misalnya begini, kita punya suami yang tipenya senang dilayani, hal ini memang berkaitan bagaimana pola asuh di masa lalunya.
Rumah memang sekolah utama bagi anak, tapi dengan siapa kita bergaul pasti akan memengaruhi bagaimana hubungan di rumah. Contohnya, ketika anak sudah sekolah, saat kita sudah mati-matian menjaga anak dengan segala peraturan, tetap saja anak akan mendapat pengaruh yang besar dari lingkungan sosial. Hal-hal seperti ini memang nggak akan bisa dikontrol, artinya yang paling penting adalah bagaimana kita menguatkan hubungan di dalam keluarga lebih dulu. Soalnya, semakin berpengaruh kuat nilai dan perilaku kita dalam keluarga, semakin mudah untuk anak memilih dan mengambil keputusan yang baik.
Wah ini pasti kita sudah merasakan semua, ya. Contohnya zaman sekarang dan zaman kita dulu cara pacaran dan dekat dengan teman pria juga sudah beda, termasuk perbedaan teknologi. Nah, perubahan zaman ini nggak bisa kita hindari. Tapi perlu disikapi dengan tepat.
Satu lagi, nih, yaitu temperamen bawaan yang sudah ada sejak lahir. Tapi temperamen ini sebenarnya bukan sifat. lho ya. Lebih bagaimana seseorang bereaksi terhadap hal di luar dirinya. Misalnya, ada orang yang sangat woles, tapi ada juga yang sebaliknya. Nah, kita perlu kenal temperamen bawaan orang terdekat di sekitar kita sehingga bisa meresponnya secara tepat. Mengenali dan menerima temperamen tiap anggota keluarga serta saling bantu dalam mengelola temperamen bawaan ini adalah salah satu kunci keberhasilan hubungan dalam keluarga.
Bagaimana Mommies, materi yang diberikan Yulia mewakili Keluarga Kita di acara MDLunch sangat menarik kan? Buat saya, dengan belajar ilmu dasar seperti yang sudah saya tulis di atas, bisa membantu saat kita mengalami konflik dalam keluarga.
Share Article
COMMENTS