Setelah pertemuan dengan bapak psikolog yang baik hati, disimpulkanlah bahwa anak saya masuk kategori strong willed. Apa maksudnya anak strong willed?
Nara, 4 tahun, sekolah playgroup 3 kali seminggu. Dan setiap 3 hari itu datang, saya malas beradu pendapat atau membujuk. Anak saya, 85% dari seluruh kejadian, selalu mengawali hari masuk sekolahnya dengan, “Tidak. Aku nggak mau sekolah!”
Awalnya, saya pikir ini karena separation anxiety yang umum terjadi. Namun, setahun setelah masuk sekolah pertamanya, dia masih setia menyambut ajakan saya dengan, “Tidak. Hari ini bukan hari sekolaaaaah!”
Saya pikir dia punya persoalan dengan temannya karena setiap kali ditanya, jawabannya, “Aku takut temanku di sekolah.” Setelah kroscek dengan pihak sekolah dan melihat sendiri interaksinya, dia sepertinya baik-baik saja. Gurunya bahkan kaget ketika saya bercerita kalau dia selalu mogok sekolah di pagi hari karena setelah masuk kelas, dia bahagia aja. Lalu, alasan takut teman berkembang jadi “Aku ngantuk dan aku bosan.”
Saya pikir mungkin dia nggak cocok sama program di sekolahnya. Tapi setiap kali pulang sekolah, dia akan bilang bahwa sekolahnya hari ini menyenangkan. Lalu, kenapa tiap pagi selalu bilang nggak mau sekolah?
Dan tahun depan dia akan mulai TK yang masuk 5 kali seminggu. Berarti 260 kali dalam setahun saya harus adu urat. Membayangkannya saja sudah mules.
Saya dan suami akhirnya memutuskan untuk berkonsultasi dengan psikolog. Iya, dong. Nggak wajar ini setahun sekolah masih ribut tiap pagi. Kami perlu bantuan orang yang kompeten untuk melihat apa yang kurang pas di sini.
Ternyata, menolak pergi ke sekolah selama setahun lebih tanpa sebab yang jelas ini memang tidak wajar. Setelah berkonsultasi, psikolog tadi menyatakan Nara masuk kategori anak strong willed. Bahasa nggak cakepnya, keras kepala.
Kesimpulan ini muncul setelah kami ngobrol panjang dan mengambil beberapa langkah ke belakang untuk melihat seluruh keseharian anak saya. Dan ternyata memang sifatnya ini tampak di berbagai aspek kesehariannya.
Dia bisa bersepeda 4 jam tanpa lelah. Berhenti sebentar hanya untuk makan, sebelum akhirnya melesat pergi lagi.
Dia juga bisa menangis sepanjang 30 km perjalanan di dalam mobil demi mempertahankan keinginannya.
Dia paling jago ngeles kalau diminta melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kemauannya.
Dia juga paling ingin tahu kenapa dia harus melakukan sesuatu. Kenapa harus mandi? Kenapa harus sekarang? Kenapa harus ke sekolah?
Dia tidak akan melupakan keinginannya yang belum terpenuhi dan akan menagihnya sampai dia mendapatkannya, atau marah besar.
Saat saya menulis ini, dia sedang duduk di pangkuan saya, menolak beranjak dengan bujukan apa pun.
Menolak pergi ke sekolah ternyata cuma pucuk gunung esnya doang.
Saya dan suami langsung tarik napas panjang. Ini nggak mengagetkan, sih. Saya dan suami sebenarnya dua orang yang sama-sama keras kepala. Bedanya, kami berdua kalem, sedangkan Nara sangat ekspresif. Bisa jadi, karena Nara adalah anak berumur 4 tahun yang baru memahami bahwa dia bisa menyatakan ketidaksetujuannya dengan seluruh anggota tubuhnya.
Bapak psikolog baik hati yang kami temui itu memberikan serangkaian saran untuk mengasuh Nara dengan lebih optimal. Menyarankan kami untuk mempertahankan pembuatan kesepakatan dan memberikan konsekuensi. Dua hal tadi sangat membantu Nara untuk memahami batasan dan berdisiplin. Selain itu, kami diminta memberikan instruksi yang jelas. Rupanya instruksi yang jelas akan mengurangi potensi konflik dengan si anak strong willed.
Perlu beberapa kali pertemuan dengan bapak psikolog tadi atau pendapat kedua dengan psikolog lain sebelum kami mengamini sepenuhnya bahwa Nara memang strong willed. Namun, sejauh ini, trik yang diberikan saat konsultasi efektif digunakan untuk menata keributan-keributan kami.
Yang jelas, kami tahu betul bahwa semua anak tidak lahir ke dunia ini dengan agenda untuk membuat hidup kita, orangtuanya, sengsara.
Seperti halnya kita yang berusaha memahami mereka, anak juga sedang memahami diri mereka sendiri. Kita saja yang sudah berpengalaman sering menganggap memahami orang lain itu sulit, bagaimana dengan anak kecil yang sedang berusaha memahami dirinya sendiri. Saya rasa, tugas kita, sebagai orangtua adalah memadankan langkah kita dengan langkahnya, membantunya mengenali dan memahami dirinya sendiri, serta menerima mereka apa adanya.