Sorry, we couldn't find any article matching ''
Membongkar Mitos-mitos Seputar Montessori
Ada 7 mitos seputar Montessori yang ingin saya bahas di sini. Mungkin Mommies juga ingin mengetahuinya.
Di awal bulan Januari, ini yang saya tulis di laman sosmed pribadi: "New milestone unlocked: bayar uang pangkal SD."
Lega rasanya sudah menjatuhkan pilihan, karena memang pusing banget ketika harus memilih sekolah dasar untuk anak. Sekolah yang akhirnya kami pilih adalah sekolah yang menerapkan pendidikan Montessori otentik berlandaskan Islamic values. Sekolah ini memang bukan The perfect choice yang tanpa kekurangan sama sekali. But when the time came for us to choose, satu hal yang prioritasnya melampaui faktor-faktor lain, yaitu metode pendidikan yang kami inginkan untuk anak kami. Kenapa Montessori sebegitu memikat bagi saya pribadi? Jawabannya, karena pendidikan tersebut memenuhi kriteria pendidikan yang saya inginkan.
Dari yang sudah saya baca dan alami sendiri, pendidikan Montessori sangat sesuai dengan perkembangan (otak) anak, mendukung multiple intelligence dan active learning, melatih kemandirian anak (dalam berpikir dan berperilaku), dan juga membentuk fondasi bagi anak untuk menjadi lifelong learner. Agar lebih afdol, Mommies bisa menyimak seperti apa Montessori dan manfaatnya bagi perkembangan anak di artikel “Kenapa Montessori?” ini.
Namun ternyata banyak stigma yang beredar seputar Montessori, bahkan di kalangan orangtua yang sudah menyekolahkan anaknya di PG dan TK Montessori. Salah satu yang kerap saya dengar adalah pernyataan seperti ini, "Montessori rasanya terlalu santai/kurang akademis kalau buat SD."
Saya paham banget apa maksudnya. sekolah Montessori (anak saya setidaknya) memang tidak memberi nilai, rewards, hukuman, bahkan tidak juga pekerjaan rumah. Sementara di mata (banyak) orangtua - termasuk saya sendiri tadinya - masa bersekolah di SD dianggap waktunya untuk "menggempur" anak dengan materi akademis, serta melatih disiplin dan endurance dalam belajar.
*Image dari msitexas.com
Basis pemikiran Montessori sangatlah berbeda.
Dua karakteristik utama Montessori terletak pada pemahaman bahwa setiap anak memiliki absorbent mind dan sensitive period. Anak menganggap apa-apa yang diserapnya sebagai hal yang dibutuhkan bagi mereka untuk survive di dunia, dan mereka mengadaptasinya sebagai nilai-nilai. Oleh karena itu, dalam Montessori, lingkungan yang penuh welas asih, positif dan berlandaskan rasa hormat dipandang sangat penting.
Anak juga dipandang memiliki masa peka, yaitu masa untuk mempelajari suatu keterampilan dengan cepat dan hampir seperti tanpa usaha, di mana kondisi tersebut bersifat sementara. Dengan ada atau tidaknya stimulasi, setiap anak memiliki kapasitas untuk mengajar dirinya sendiri.
Setelah dua tahun bersekolah di Montessori, efek pendidikan ini di diri anak saya sangat terlihat. Contohnya saat anak saya mengikuti 'tes'/observasi di sekolah kandidat SD yang lain. sekolah ini reputasinya sangat oke, kurikulumnya didominasi nuansa akademik - yang salah satunya terlihat dari nilai UN lulusan SD-nya yang terbilang tinggi di DKI Jakarta.
Di sesi pemaparan hasil observasi, saya berkesempatan mendengar langsung tanggapan Kepsek sekolah tersebut, begini yang saya dengar: "Wah, anak Montessori nggak usah ditanya lagi deh, kemampuan calistungnya di atas rata-rata. (Mereka) juga mandiri dan dewasa banget dibandingkan yang lain."
Meskipun hidung saya kembang-kempis mendengarnya, tapi saya prefer menilai anak secara lebih luas. Scope penilaian setiap kemampuan anak yang diterapkan di pendidikan Montessori tidaklah sesempit yang saya kira. Anak bukan cuma dibentuk untuk lulus dari TK dengan kemampuan akademik yang kuat; tapi yang lebih penting, dengan ATTITUDE bahwa belajar itu menyenangkan, seru, dan tanpa batas.
Jika bicara faktor penguat secara scientific, ternyata ada studi yang diterbitkan di jurnal "Science" pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa murid-murid Montessori cenderung menunjukkan skill sosial dan kreativitas yang lebih advanced, serta bisa perform lebih baik dalam ujian baca dan Matematika dibandingkan anak-anak lain di program tradisional. Dengan begitu, asumsi kalo Montessori itu terlalu santai atau "nggak nampol" buat anak sejatinya bisa disebut mitos.. ya, ndak?
Bergerak dari situ, saya pun mulai lebih kepo pada asumsi-asumsi semacam ini. Kebetulan, suatu hari saya menemukan artikel berjudul "Montessori Myths Busted," yang sungguh sangat berguna untuk mematahkan banyak asumsi yang tidak akurat seputar pendidikan Montessori.
Apa saja mitos-mitosnya?
Mitos #1: Montessori hanya cocok untuk anak-anak yang "berbakat"
Apa iya anak harus berbakat untuk bisa memetik manfaat dari pendidikan Montessori? Montessori ditujukan bagi semua anak, tanpa memandang level kemampuannya. Tapi, asumsi ini muncul mungkin karena di mata orang awam, murid-murid Montessori kerap terlihat lebih advanced dibandingkan anak-anak lain seusianya,.
Padahal yang sesungguhnya terjadi, pendidikan Montessori memanfaatkan dorongan alami di diri setiap anak, yaitu dorongan kuat untuk belajar, dan memberi stimulasi sesuai kecerdasan majemuk anak. Ketertarikan anaklah yang menjadi pedoman bagi guru untuk mengatur pembelajaran yang bisa menstimulasi anak.
Mitos #2: Ruang kelas Montessori itu kacau alias chaotic
Kalau kita benar-benar memerhatikan seperti apa kegiatan dalam ruang kelas Montessori sehari-seharinya, let's say selama dua jam saja, maka apa yang akan diliat sesungguhnya akan jauh dari ribut dan kisruh.
Sistem pembelajaran dalam Montessori mengizikan anak melakukan banyak hal sendiri. Kemerdekaan pembelajaran sangat ditekankan, dan sebaliknya intervensi dari orang dewasa dalam lingkungan belajar sangat tidak dianjurkan. Anak-anak didorong untuk melatih self-discipline-nya sendiri, dan ini berlaku juga bahkan untuk anak-anak yang masih sangat kecil. Anak-anak bebas memilih aktivitas mana yang menarik bagi mereka. Mereka ditinggalkan sendiri untuk bereksperimen dan berlatih dengan material tertentu. Inilah yang sebenarnya membantu anak mengajarkan diri sendiri berkonsentrasi, membangun skill koordinasi, dan juga kemandirian dalam suatu keteraturan yang tidak membutuhkan pengawasan orang dewasa.
Mitos #3: Montessori tidak memfasilitasi perkembangan sosial
Keseluruhan etos Montessori adalah tentang rasa hormat. Ini ditunjukkan salah satunya oleh guru kepada setiap anak. Lewat interaksi antar anak dan juga dengan orang dewasa, secara bertahap anak menjadi lebih peduli dan sensitif terhadap sekelilingnya. Mereka belajar untuk saling menghargai. Rentang usia 2-3 tahun dalam kelas menyebabkan pembelajaran terjadi dari anak-anak yang lebih besar ke yang lebih kecil, dan ini terjadi secara alamiah.
Namun Montessori juga menghargai anak dan kebutuhannya akan privasi. Selain memenuhi kebutuhan anak untuk beraktivitas sendiri(an), area dan aktivitas dalam kelas juga memungkinkan anak-anak saling berinteraksi. Anak-anak yang lebih besar sering menjadi guru bagi yang lebih kecil, serta anak bisa bekerja sama ataupun sendiri-sendiri sesuai pilihan mereka.
Mitos #4: Montessori tidak ketat secara akademis
Banyak orangtua khawatir menyekolahkan anak di pendidikan Montessori karena berpikir metode ini tidak akan mempersiapkan anak-anak mereka untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sekali lagi, ini bisa dibilang sangat tidak benar.
Sistem Montessori tahu bahwa anak-anak yang masih sangat kecil dapat memahami konsep-konsep yang rumit jika mereka dikenalkan secara konkret. Sebagai contoh, jika mereka telah belajar tentang tabel perkalian menggunakan material '100's Board' maka mereka akan memiliki pemahaman yang jauh lebih besar tentang perkalian ketika pembelajaran berkembang menjadi simbol abstrak.
Menurut neuroscientis Dr. Steven Hughes, "Jika tujuan pendidikan seharusnya adalah membantu otak setiap anak mencapai potensi tertinggi perkembangan ... pendidikan Montessori menyajikan pendekatan pendidikan yang secara radikal berbeda - dan juga efektif - yang mungkin menjadi metode terbaik untuk memastikan perkembangan kognitif, sosial, dan emosional yang optimal dari setiap anak."
Mitos #5: Anak-anak yang lebih besar akan mengintimidasi yang lebih kecil.
Anak-anak Montessori disusun dalam kelas dengan rentang usia 2 sampai 3 tahun. Banyak orangtua khawatir anak-anak yang lebih tua akan mengintimidasi anak-anak yang lebih kecil.
Padahal kondisi mixed-age (campur-usia) ini memberikan kesempatan bagi siswa yang lebih berpengalaman untuk menjadi role model dan membantu anak lain. Dengan adanya rentang usia di kelas, kompetisi diminimalisir sebagai motivator. Para siswa dapat dengan nyaman berbagi pengetahuan dengan satu sama lain. Mereka belajar untuk bekerja sebagai tim dan menghargai kontribusi masing-masing anggota dalam situasi apapun. Kemampuan ini bisa menjadi "alat" bagi anak dalam memecahkan konflik, yang akan membangun toleransi dan mempersiapkan anak-anak menjadi orang dewasa yang penuh kasih.
Mitos #6: Program Montessori tidak akan bisa mengimbangi kurikulum di sekolah non-Montessori
Mitos ini sering diangkat dan pastinya tidak terjadi. Faktanya anak-anak Montessori seringkali maju jauh melampaui tingkat yang dicapai di sekolah umum. Ini telah dibuktikan oleh hasilnya. Sering ada komentar bahwa anak-anak Montessori sangat cemerlang dan lebih unggul secara akademis ketika dimasukkan ke sekolah umum. Ini juga terbukti saat mereka berada di jenjang SMA.
Mitos #7: Montessori tidak memberi peluang untuk bermain bebas atau pengembangan kreativitas
Ada banyak waktu untuk anak bermain bebas di waktu istirahat, juga banyak kegiatan tambahan yang ditawarkan seperti seni, musik, drama, bahasa tambahan dan pendidikan jasmani. Kelas-kelas ini dianggap sangat penting untuk pengembangan anak secara keseluruhan. Kreativitas juga dipelihara dan didorong dalam lingkungan kelas dengan mendukung rasa ingin tahu dan minat anak. Kita mungkin akan kaget kalau tahu berapa banyak inovator dalam teknologi tinggi dan seni yang punya landasan pendidikan di sekolah Montessori.
[caption id="" align="aligncenter" width="500"] Gambar dari sini[/caption]
Ternyata memang banyak mitos seputar pendidikan Montessori. Dari paparan ini dapat saya simpulkan, kalau mitos-mitos ini timbul jika kita hanya melihat Montessori secara selintas, padahal dalam kenyataannya, pendidikan ini sangat memperkaya perkembangan diri anak.
Jadi, apakah Mommies berminat menyekolahkan anak di Montessori sampai ke tingkat lanjut seperti saya? Atau ingin berbagi kesan-kesan yang didapatkan selama menyekolahkan anak di sekolah Montessori? Silakan membagi pendapat Anda di kolom komentar.
PAGES:
Share Article
COMMENTS