Ditulis oleh: Waristi Amila
“Jadi orang tua itu harus kuat, kalau kita terlihat lemah nanti anak tidak tahu harus bergantung ke siapa.” Saya –tentunya- menolak pendapat ini. Kenapa?
Sebagai orangtua, saat kita mengalami masalah, seringnya hal pertama yang terpikir oleh kita adalah “Jangan sampai anak-anak tahu.” Alasannya beragam, tapi yang paling banyak adalah karena kita tidak ingin ‘membebani’ anak-anak. Atau seperti yang tante saya bilang, “Orang tua tidak boleh terlihat lemah di depan anaknya karena nanti anak merasa tidak bisa berlindung pada kita.”
Faktanya, meskipun kita tidak menunjukkannya, anak bisa tahu kok kalau kita, ibunya atau ayahnya sedang sedih. Ingat, anak-anak memiliki kepekaan dan perasaan yang tidak bisa dibodohi. Sebagai orang tua tunggal, dulu saya berusaha sebisa mungkin terlihat kuat di depan Atar, anak tertua saya. Alasannya? Saya ingin dia melihat saya sebagai sosok Ayah sekaligus Ibu yang kuat.
Tapi ternyata ini malah membuat dia bingung. Dia bingung kenapa mommy tetap tersenyum saat sedih? kenapa mommy tidak menangis? Saya menyadari ini ketika Atar terlalu tenang saat dia mengalami masalah bahkan saat dia harus menjalani operasi penggantian lensa mata saat kecelakan di umur 8 tahun. Saya bertanya kenapa dia tidak menangis? Padahal saya lihat bagaimana dia sesak napas karena takut, sakit, dan sedih. Ternyata dia berpikir kalau dia tidak seharusnya menangis, karena saya tidak pernah menangis. Saat itu saya merasa bersalah. Hal yang lebih menyedihkan lagi ketika anak melihat orang tua mereka sedih tapi karena orang tua menutupi, mereka merasa kalau merekalah penyebab kesedihan.
Kita bukan robot dan sudah seharusnya sebagai orang tua, kita mengajarkan pada anak-anak bahwa hidup memang tidak selalu bahagia, dan perasaan sedih adalah sebuah perasaan yang wajar dan manusiawi, seperti yang pernah Fia tulis tentang hal-hal yang ingin diajarkan kepada anak laki-lakinya. Rasa sedih bukan untuuk dihindari atau ditakuti, namun untuk dihadapi kemudian diatasi.
Dengan bersikap jujur atas kesedihan yang kita alami ini juga akan membantu kita mengatasi rasa sedih itu, lho! Kalau kita sebagai orang tua, sibuk menutupi perasaan kita sendiri, yang ada kita malah lebih tertekan karena alih-alih memiliki energi positif untuk mengatasi perasaan sedih dan menyelesaikan permasalahan, kita malah sibuk berbohong kepada orang lain.
Jadi, apakah kita harus jujur dan terbuka pada anak akan kesedihan kita? Ya dan Tidak. Kalau kita merasa bisa mengatasi dan mengendalikan perasaan sedih kita, misalnya karena masalah di kantor, cobalah untuk mengelola perasaan kita saat perjalanan pulang, seperti saya yang selalu membiasakan diri untuk mandi sambil mendengarkan lagu favorit sebelum mengobrol dengan anak-anak di rumah. Namun kalau kita sulit mengendalikan rasa sedih itu, sampaikan dengan bahasa yang sederhana bahwa kita sedang sedih dan sampaikan alasannya. Yakinkan juga bahwa rasa sedih ini hanya berlangsung sementara. Setelah kita sudah bahagia, ya tunjukkan ke anak-anak. Sehingga anak belajar bahwa tidak apa-apa merasa sedih tapi kita juga harus berusaha kembali bahagia. Selama kita mau, banyak cara mudah kok menciptakan bahagia.
Memang penting untuk anak-anak merasa bahwa kita adalah sosok yang selalu bisa melindungi namun lebih penting bagi mereka untuk melihat kita sebagai sosok yang bisa dipercaya. Jadi biarkan mereka melihat bahwa sebagai Ibu, kita jujur akan perasaan kita sehingga mereka juga belajar untuk jujur akan perasaan mereka. Lagipula, kesedihan yang ditutupi hanya akan membuat rasa itu bertahan lebih lama, padahal kita ingin cepat kembali bahagia, kan? Karena, seperti yang selalu saya katakan, Happy Mom will definitely raise happy children!