Baru-baru ini, saya menyadari bahwa suami saya memang tidak jago 'megang' anak kecil.
Dulunya sih, saya pikir ini karena dia bapak 'baru', jadi belum lihai saja sama anak kecil. Tapi di akhir tahun ketiga dia menjadi bapak, saat usahanya cukup maksimal sementara keterampilannya nggak maju-maju amat, saya mulai menerima kenyataan bahwa suami saya memang nggak terampil 'megang' anak.
Seringkali dia menghampiri saya dengan wajah sedih bercampur khawatir sembari menggendong anak kami. Niat mulia mau menenangkan anak yang lagi menangis, tangisan si anak malah semakin menjadi. Giliran memandikan, anak saya sering sewot karena dia merasa nggak leluasa di kamar mandi (suami saya tinggi dan besar, jadi tubuhnya memenuhi kamar mandi). Kalo ngajak main, karena tinggi dan besar tadi, anak saya ogah duluan karena sudah kalah ukuran (selain karena suami saya suka iseng nggak mau kalah sama anaknya). Pokoknya, nggak ada tuh acara anak saya mau ditinggal berduaan aja sama bapaknya kecuali dalam perjalanan di mobil. Itu juga yang satu duduk di depan, nyupir, sementara yang satunya di belakang, anteng di carseat.
No, they don’t hate each other. Ada kalanya si anak mau tidur senderan di bapaknya saja. Dan ada kalanya si bapak menatap anaknya yang lagi tidur senderan ini penuh rindu. They just simply doesn’t get along that well. Mungkin, memang auranya nggak cocok sama anak kecil atau apalah. Yang jelas, suami saya nggak bisa dipasrahin 'memegang' anak kami sendirian. Kalau ada yang suaminya mirip suami saya, mari kita tos dulu.
Tapi apakah karena dia tidak bisa memandikan anak menghentikan tangisan anak saya dia tida bisa menjadi bapaknya? Ya tidaklah. Buktinya, dia tetap khawatir kalau anak kami sakit. Dia juga ikutan browsing artikel mengenai pola makan anak ketika anak kami nggak mau makan apa pun. Dia juga yang sibuk meyakinkan semua orang kalau ASI saja sudah cukup buat anak kami. Dia jelas bapaknya. Hanya dia tidak bisa aja 'megang' anaknya sendiri.
Kami berdua sepakat kalau mengasuh anak itu tidak hanya urusan ibu-ibu, tapi juga urusan bapak-bapak. Untungnya, mengasuh anak bukan cuma persoalan mandi, nangis, makan, main, dan segala persoalan fisik duniawi lainnya. Mengasuh anak juga soal intrinsik seperti memberi disiplin positif, konsistensi, dan kesabaran luar binasa.
Dan si suami saya ini kebetulan (walaupun nggak jago) minimal bisa melakukannya. Saya juga bisa sih, tapi, kadang, dia lebih baik dari saya. Dia bisa dengan tenang menjelaskan situasi dan konsekuensi dari memasukkan mobil-mobilan ke dalam akuarium sampai membuat ikannya mati. Saya, karena sudah kebakaran jenggot duluan, sudah ‘panas’ duluan. Lain hari, dia bisa juga memastikan si anak 3 tahun ini menepati janjinya akan menyimpan mobil barunya kalau dia melemparnya. Anak kami kebetulan punya kegemaran bikin ‘stunt action’ dengan mainannya. Kami lagi berusaha mengurangi kegemarannya ini, tapi itu cerita untuk lain waktu.
Kami tidak main good cop-bad cop. Peraturan yang sama juga akan saya terapkan. Tapi kalau suami saya bisa membantu, kenapa tidak? Saya kan tidak membesarkan anak ini sendirian.
Saya sih tidak akan berhenti memberikan suami saya kesempatan mencoba. Saya tahu dia berusaha dan dalam semua usaha, alangkah senangnya jika ada orang yang mendukungnya. Saya juga tahu dia sayang sekali pada kami berdua, dan ini cara saya memberinya kesempatan untuk menunjukkan partisipasi dan rasa sayangnya.
Wicahyaning Putri, Editor di Keluarga Kita – yang semula bernama 24hourparenting.com – kini berubah menjadi keluargakita.com. Keluarga Kita adalah penyedia konten edukasi keluarga dan berharap bisa menjadi teman seperjalanan keluarga Indonesia. Ikuti updatenya di Twitter: @KeluargaKitaID, Instagram: @keluargakitaid dan Facebook: Keluargakitaid