Sorry, we couldn't find any article matching ''
Mari Belajar Gaya Pengasuhan Dari Para Ayah
Akan selalu ada hal menarik mengenai gaya pengasuhan yang bisa kita (para istri) ‘curi’ dari para suami tersayang (ceileeeeh). Mari belajar gaya pengasuhan dari para ayah.
Saya pernah menulis, bahwa suami juga orangtua dari anak-anak kita. Jadi, walaupun kadang gaya mengasuhnya tidak sesuai dengan ‘standar’ kita para ibu yang super cerewet dan detail, tetap saja para suami ini punya hak yang sama besar untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak. Di balik itu semua, akan selalu ada kok, ilmu yang bisa kita ambil dari para ayah.
1. Bermain sedikit ‘kasar’ itu nggak kenapa-kenapa
Mungkin sebagai ibu yang tinggi jiwa melindunginya (atau penakutnya?) saya memang cenderung melarang anak-anak untuk bermain yang sedikit ‘hardcore’. Apalagi dua anak saya cowok semua. Melihat mereka tendang-tendangan, pukul-pukulan, ngebut naik sepeda di halaman, sukses bikin saya teriak-teriak. Kebalikan dengan suami saya, dia cukup santai melihat anak-anak seperti itu. Biasanya dia akan bilang, kalo main tendang-tendangan atau pukul-pukulan, area mana yang jangan ditendang. Kalau mau ngebut, jangan lupa pakai helm dan nggak boleh nangis kalau terjatuh, karena itu risikonya. Alasan suami saya simple... ini bisa menyalurkan energi mereka dan mereka belajar batasan-batasan yang perlu dilakukan.
2. Berani mengambil risiko itu perlu
Dulu saat anak-anak masih kecil dan ingin bermain monkey bar yang lumayan tinggi, saya langsung melarangnya, padahal di bawahnya ada rerumputan tebal yang akan membuat mereka cukup aman saat terjatuh. Di lain kesempatan, anak-anak bercerita kalau ayahnya mengizinkan mereka untuk bermain monkey bar yang saya larang. Waktu saya ngomel, suami bilang “Sebelum anak-anak naik, aku udah kasih tahu kalau ini lumayan tinggi dan risikonya mereka bisa aja jatuh. Biar aja mereka belajar untuk berani mengambil risiko.”
3. Jangan feeling guilty saat harus izin dari pekerjaan untuk menemani anak
Banyak working mom yang kadang-kadang feeling guilty terhadap manajemen kantor saat harus izin menemani anak. Sedangkan para ayah kayaknya lebih ringan dan tanpa beban untuk melakukan hal yang sama. Sepanjang pekerjaan kantor bisa diselesaikan, kenapa harus merasa tidak enak? Hmmm.... oke good point, hahaha.
4. Boleh kok anak saling berkompetisi
Saat kedua anak saya meminta saya menentukan gambar siapa yang paling bagus, saya akan menjawab dengan kalimat “Dua-duanya sama bagus kok.” Tapi kalau suami saya yang ditanya, maka dia akan menjawab “Kakak gambarnya lebih bagus karena bla..bla...bla. Adek kurangnya di sini, coba ditambah ini.” Bagi suami saya, memberi penilaian jujur terhadap usaha anak-anaknya memang perlu. Kalau ini membuat mereka berkompetisi? Ya nggak kenapa-kenapa. Selama kompetisi dilakukan dengan jujur, kan sah-sah saja. Lagipula ini membuat anak-anak belajar untuk berusaha lebih keras dan menerima kekalahan. Hear...hear peacekeeper moms!
5. Jangan sok bermultitasking
Di mana-mana mahluk yang terkenal dengan kemampuannya bermultitasking adalah kita, para perempuan, kaum ibu. Membalas email klien, membuat report pekerjaan, mengajarkan anak ulangan sampai membuat laporan keuangan rumah tangga. Pernah melihat para ayah melakukan semua itu dalam satu waktu bersamaan? Saya sih tidak pernah. Tapi terbukti para ayah pekerja (nampaknya) lebih santai dan minim stress dibanding para ibu yang bekerja. Solusinya? Contoh saja kelakuan para ayah. Stop bermultitasking, delegasikan pekerjaan pada tim di kantor dan pada suami di rumah.
Ada 4 ilmu lagi yang bisa saya curi dari gaya pengasuhan para ayah.
6. Me Time is essential
Suami saya bisa tuh asik-asik pergi dengan kelompok VW-nya touring ke Jawa Barat atau ke Lampung. Atau main badminton dengan bapak-bapak di kompleks rumah. Saya? Well, butuh perencanaan yang matang untuk bisa bepergian (bukan keluar kota) selepas jam kerja. Boleh loh, di tahun 2016 ini kita belajar sedikit lebih ‘egois’ demi kewarasan kita, sebagai ibu, ya kan.
7. Jangan membahas satu masalah berulang-ulang
Kalau saya lagi kesal sama rekan kerja, klien, anak atau suami, biasanya butuh waktu cukup lama untuk kembali tenang. Saya akan mengingat penyebabnya dan ujung-ujungnya saya marah lagi atau kesal lagi. Para ayah biasanya cepat move on dari urusan beginian. Mereka mencari tahu penyebab masalah, mencari solusi dan kemudian DONE. Indah ya hidupnya :).
8. Kita tidak sedang berkompetisi dengan orangtua lain
Namanya ibu-ibu biasanya gudangnya kompetitif ya. Nggak mau kalah. Kalau bisa jadi ibu yang paling baik di jagad raya, pasti akan berjuang untuk mencapainya. Bagaimana dengan para ayah? Saya sih jarang melihat ayah-ayah berkompetisi dengan sesama ayah. Buat mereka, ayah- ayah lain adalah teman geng yang seru buat berbagi cerita. Karena setiap orangtua pasti memiliki standar pengasuhan sendiri, kan? Kenapa harus berkompetisi dengan orang lain.
9. Segala sesuatu tidak harus berjalan dengan SEMPURNA
Suami saya selalu bisa melihat hal positif di balik rumah yang berantakan, baju anak-anak yang kotor, hidung anak-anak yang dileleri ingus, rambut anak-anak yang awut-awutan karena sudah waktunya cukur sampai anak saya yang kekeuh mau pakai sandal saat pergi ke pernikahan saudara. Atau bahkan saat anak saya ingin keliling di Grand Indonesia dengan face painting hantu di wajahnya. Karena di mata para ayah, anak-anak memang identik dengan ketidak sempurnaan. Selama mereka happy dan aman, apa salahnya bersikap sedikit fleksibel? Ingat kata bunda Dorce, kesempurnaan itu hanya milik Tuhan :D.
Jadiiii, mari kita berhenti menganggap pasangan kita tidak sekompeten kita dalam mengurus anak-anak :). Karena faktanya, banyak ilmu yang dapat kita peroleh dari pasangan kita.
PAGES:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS