Sorry, we couldn't find any article matching ''
Motherhood Monday; Aviani Primasari "Separuh Jiwa Saya Hilang..."
If you are brave anough to say goodbye, life will reward you with a new hello - Paolo Coelho
Tiba-tiba saja suami yang dicintainya pergi untuk selamanya. Kepergian ayah dari Siti Raniya Anjani (9 tahun), dan Siti Raisya Muthia (2,5 tahun) menyisakan sejuta cerita indah. Sekarang, Aviani Primasari pun harus menerima kenyataan bahwa kini hidupnya tidak akan sama lagi.
“Seminggu sepeninggal suami, saya shut down. Nggak bisa ngapa-ngapain. Rasanya itu kaya apa, ya? Separuh jiwa saya hilang. Dunia rasanya seperti kebalik. Waktu itu saya hanya mikir, apa ini hukuman Allah buat saya? Sampai saya nggak dikasih kesempatan untuk ketemu saat terakhir suami nggak ada. Paling nggak kalau suami sakit, saya punya kesempatan untuk merawat dan mendampingi lebih dulu, tapi ini tahu-tahu suami nggak ada. Dari sana saya lantas mikir, anak saya dua-duanya perempuan, nggak ada bapaknya, nanti bagaimana? Biar gimana rasanya kan pasti timpang. Apa iya saya bisa berperan jadi Papanya? Bisa tegas seperti Papanya?”.
Terus terang saja, ini adalah sesi wawancara paling emosional sepanjang sejarah saya bekerja di Mommies Daily. Bagaimana tidak, 30 menit pertama obrolan kami diisi dengan sesi curhat sesama ibu bekerja yang penuh tawa. Lalu 30 menit berikutnya, kami pun sama-sama menangis. Di sela-sela kalimatnya, Mbak Aviani sering kali terisak ketika kembali menceritakan suaminya.
Sebagai istri sekaligus ibu, saya tahu benar betapa beratnya peristiwa yang belum lama ia alami. Pada awalnya, saya agak sungkan untuk bertanya mengenai kepulangan sang suami,Moch. Farid Mulyadi. Namun setelah bertanya lebih dulu, ternyata perempuan yang kerap saya sapa Mbak Vivi ini tidak keberatan untuk bercerita. Biar bagaimana pun kisah kepergian suami bukanlah suatu hal yang mudah untuk diutarakan.
Selain bercerita mengenai perubahan yang dialami setelah kepergian sang suami, perempuan yang bekerja sebagai Marketing Communication Director Proximity Indonesia pun bercerita mengenai suka duka sebagai working mom.
Bisa diceritakan, apa yang pertama kali Mbak lakukan setelah mendengar kabar mengenai kondisi suami?
Umh... suami saya itu kan ‘nggak adanya’ sangat mendadak. Nggak ada sakitnya dan saat kejadian nggak di depan saya. Waktu itu suami sedang ada acara, which is acara ini pun bukan sesuatu yang baru karena suami memang senang bersepeda. Jadi kalau orang tanya, apakah saya ada firasat, sama sekali nggak ada. Ketika mendapat kabar, saya seperti orang bego. Waktu itu, saya mendapat kabar kalau suami dalam keadaan kritis, saya langsung cari Rumah Sakit untuk menangani suami. Karena kejadiannya di Cisarua, saya langsung ke sana ditemani Bapak.
Di tengah jalan, saya dikabari lagi oleh salah satu teman suami. “Bu... bapak sudah nggak ada.” Jelas, waktu itu saya bingung. Lho, gimana, sih, tadi dibilangnya masih kritis? Kok tahu-tahu sudah nggak ada? saya kan sama sekali nggak tau bagaimana prosesnya karena memang nggak di sana. Lalu saya ditanya, mau bagaimana? Jenazah mau langsung di bawa ke Jakarta atau bagaimana. saya pun memutuskan untuk tetap ke Cisarua. Banyak sekali pertanyaan yang timbul waktu itu. Karena waktu itu memang pas akhir pekan, macetnya bener-bener nggak ketolong. Berangkat selepas Magrib, baru sampai sana jam 9 malam. Saat sampai saya langsung minta penjelasan. Waktu itu juga sempat ditawarkan untuk otopsi, tapi buat apa? Toh, suami saya sudah nggak ada. Kematiannya juga wajar, kok.
Jelas semuanya kaget, shock. Lalu saya jadi bertanya... saya bagaimana, ya? Anak-anak bagaimana? Bagaimana saya harus ngomong ke anak-anak? Kami pun masih punya anak yang masih kecil. Si kakak itu kan juga sangat dekat dengan Papanya. Sehari setelah kejadian, si kakak mau ujian aikido. Bapaknya sudah janji mau menemani. Kakak itu aikido juga karena support dari Papanya yang selalu bilang, “Kamu itu harus jadi perempuan yang kuat, nggak boleh kalah dari laki-laki.” Dari sini saya langsung mikir, bagaimana dengan anak-anak? Waktu itu saya nggak bisa mikir apa-apa. Semua blank. Hingga akhirnya bapak ngajak pulang.
Bagaimana cara Mbak menyampaikan kabar duka ini ke anak-anak?
Keluarga memang nggak ada yang berani ngomong. Waktu itu saya kan baru pulang malam, baru pagi ketemu si kakak. Waktu itu pas bangun tidur, si kakak bingung kenapa di rumah sudah ramai sekali dan banyak orang ngaji dan menangis. Saat menemui saya di kamar, saya langsung bilang, “Kak, Papa sudah nggak ada, ya..sekarang Raniya cuma punya Mama, adik, nenek, kakek, dan saudara-saudara.” Waktu itu dia cuma jawab, “Terus, sekarang kita ngapain, Ma?” Waktu dengar, anak saya sama sekali nggak nangis, baru setelah sepupunya datang dan pada nangis, dia baru ikutan nangis. Waktu itu dia lebih banyak diam, ternyata dia itu bingung.
Butuh waktu berapa lama buat Mbak menata hati, keluar dari masa kesedihan?
Seminggu saya nggak bisa ketemu orang, bahkan kalau mendengar suara yang keras itu nggak bisa. Rasanya bener-benar kaya jatuh. Semasa hidup, kayanya baru kali ini ngerasain ‘pukulan’ yang sangat hebat. Tiap kali lihat anak-anak, saya nangis. Lihat barang-barang suami, nangis. Ketemu dengan orang lain juga nangis. Saya juga sempat merasa marah. Bertanya-tanya, “Kok, kamu tega pergi dengan cara seperti ini? Kenapa nggak kasih kesempatan buat saya kalau kamu merasa sakit?,” Saya jadi ngomong sendiri. Mungkin kalau saya nggak punya keluarga yang kuat, saya nggak tahu bagaimana kondisi saya saat ini. Orangtua saya terus dampingin. Sampai sekarang, saya juga masih belum sanggup untuk tinggal di rumah dan lihat semua barang-barang suami. Rasanya aneh, kemarin masih baik-baik saja, tahu-tahu suami sudah nggak ada.
Setelah shut down, hal pertama yang Mbak lakukan?
Waktu itu sempat mikir, apa yang perlu saya beresin, ya? Banyak yang bilang, untuk membereskan barang-barang suami, tapi saya belum sanggup. Selain ibadah, jadi, saya ikutin maunya anak-anak dulu. Sempat tanya kakak, apa mau libur sekolah dulu karena memang diizinkan oleh pihak sekolah, tapi kakak nggak mau. Akhirnya saya anterin sekolah, anterin kakak les, kalau di rumah, ya, main sama adiknya.
Biar gimana yang terluka dan kehilangan itu kan nggak cuma saya aja, anak-anak merasakan hal yang sama. Suatu hari kakak perah bilang, “Ma, jam segini biasanya Papa kan pulang kantor”. Terus dia tanya, “Ma, orang meninggal itu kan biasanya sakit dulu atau karena kecelakaan. Papa kan nggak begitu, Ma. Jadi Papa kenapa meninggal, Ma?”. Saya nggak bisa jawab.... akhirnya saya bilang, kadang orang sakit itu suka nggak dirasa, makanya kalau kakak ngerasa sakit atau nggak enak badan, harus bilang ke Mama.
Kepergian almarhum diduga karena penyakit jantung. Jadi sebelumnya memang sama sekali nggak ada keluhan, ya, Mbak?
Kami berdua itu rutin check up, dan nggak ada hasil yang mengatakan kalau suami sakit jantung. Memang suami ada keturunan diabetes dari ibunya, tapi karena dia tahu akhirnya suami sangat hati-hati. Dua tahun terakhir saja kalau minum teh sudah nggak pernah pakai gula, sudah ngontrol makananan. Dia rutin olahraga rutin seperti bersepeda. Itu kan supaya bisa membuang energinya. Cuma, suami saya ini memang masih merokok, dan ini yang paling susah untuk dihilangkan.
Setahun yang lalu, bapak saya sempat bilang ke suami, “Kamu berhenti, dong, merokoknya. Sekarang ini banyak sekali, lho, yang usianya muda meninggal karena rokok.” Ya Allah.. ternyata benar kejadian. Sekarang ini saya merasa setengah hidup saya hilang, mau mengembalikan juga nggak mungkin bisa. Untuk melakukan rutinitas keluarga seperti biasanya saja saya masih belum bisa. Mau main sepeda atau renang bareng, lari sama-sama, masih belum sanggup. Saya lalu mikir, aduh... anak-anak sekarang cuma punya saya. Kalau ada apa-apa sama saya bagaimana? Sekarang saya jadi agak takut untuk makan sembarangan, serba mikir. Karena hidup saya kan sekarang cuma buat anak-anak. Sekarang mikirnya, saya harus sehat demi anak-anak.
Setelah kepergian Papanya, apa kakak sempat mengalami perubahan?
Waktu itu si kakak pernah bilang ke saya kalau dia capek sering ditanya sama teman-temannya, Papanya kenapa? Meninggal karena apa? Sampai dia tanya ke saya, “Boleh nggak, sih, Ma, kalau aku bilang aku nggak suka kalau mereka tanyain Papa terus”. Lalu saya jawab, “Ya, nggak apa, kok, Kak... bilang saja kalau kamu nggak nyaman ditanya terus seperti itu.” Sampai akhirnya gurunya manggil saya ke sekolah, jadi katanya kakak memang suka bengong di sekolah, terlihat jadi lebih pendiam. Padahal biasanya kakak ini tipe anak yang senang ngobrol.
Jadi memang kelihatan ada perubahan dari dirinya. Kata gurunya, si kakak seperti nggak di situ. Tapi sekarang yang terpenting adalah saya selalu berusaha ada untuk anak-anak. Saya takutnya efek psikologisnya, saya nggak mau sampai anak saya bingung, merasa kosong sendirian sampai nggak tahu harus bagaimana. Selama sebulan pertama ini saya coba benahi yang besar seperti ini lebih dulu, karena kakak ini sangat dekat dengan Papanya. Sekarang tidur pun masih bertiga.
Apa, sih, yang membuat Mbak tetap kuat?
Kalau dibilang kuat, sebenarnya masih jauh dari kata kuat. Tapi yang benar- benar bikin saya kuat, cuma anak-anak. Nggak ada yang lain. Mungkin ini juga sudah jalan terbaik dari Allah buat saya dan keluarga, karena saya juga nggak tahu bagaimana kalau kondisinya beda. Misalnya suami masih ada tapi kondisinya sudah nggak seperti dulu. Ya, kan kita nggak tahu efeknya seperti apa? Apakah lumpuh atau nggak bisa ngapa-ngapain. Mungkin memang sudah jalannya sudah begini.
Ketika saya kehilangan suami, banyak sekali sahabat yang datang. Dari peristiwa ini saya juga bisa belajar untuk tahu yang namanya teman sejati. Teman yang di luar kota pun banyak yang datang dan tinggal di rumah supaya saya nggak merasa terlalu kosong. Hebat banget, deh. Kalau nggak ada mereka, saya nggak tahu mau ngapain? Mau ngabisin waktu untuk apa? Soalnya sampai dua bulan saya sama sekali nggak bisa tidur. Tidur paling cuma dua jam. Selain keluarga, teman-teman saya yang banyak menemani, malah saya sendiri yang merasa nggak enak karena mereka kan juga punya keluarga, suami dan anak. Tapi teman-teman saya ini bilang, “Sudah nggak usah pikirin orang lain dulu... pikirin diri loe sendiri aja. Kita semua ada di sini buat elo”.
Perubahan terbesar apa yang Mbak rasakan setelah kehilangan suami?
Hal yang paling susah saya lupa ketika saya ingat segala ritual yang dilakukan sama suami. Ya, kalau malam kan kita sering ngobrol dulu. Ada hal yang sering saya lakukan bersama suami, hal yang seperti ini yang masih sulit saya lupakan.
Sebenarnya, pola hidup itu yang banyak berubah. Apalagi saya ini tipe orang yang sudah tahu jadwal mau ngapain saja hari ini... seharian harus melakukan apa saja bahkan sudah punya jadwal rencana seminggu depan. Sekarang akhirnya yang saya pikirkan cuma hari ini saja, nggak bisa mikir besok. Sekarang bisa melewati sehari dengan baik saja sudah bersyukur. Sekarang juga harus secure kebutuhan anak-anak, anak saya yang ke dua kan juga sudah mau sekolah. Ya, kalau soal finansial pasti memang akan berubah, dulu kan ngerasa ada dua pintu. Sekarang sudah nggak. Tapi saya masih bersyukur dengan kondisi ini, banyak sekali perempuan di luar sana yang jauh lebih susah dari saya. Tiba-tiba suaminya nggak ada, sementara mereka nggak kerja. Pasti akan lebih bingung lagi, mau ngapain, harus bagaimana.
Ketika kangen dengan suami, apa yang Mbak lakukan?
Sampai sekarang, setiap hari masih ke makam suami. Biasanya, sih, sebelum berangkat ke kantor mampir ke sana dulu. Sekadar datang untuk mendoakan, dan ngobrol. Mungkin kalau ada yang lihat, akan anggap saya ini lucu karena ngomong sendirian dengan batu nisan. Tapi dengan begini merasa lebih lega. Kalau kata Ibu, ini ibarat terapi. Nanti juga akan ada masanya nggak seperti ini lagi. Ternyata yang melakukan hal seperti ini nggak cuma saya aja, lho. Kalau ke sana sering bertemu dengan bapak-bapak yang usianya cukup sepuh, dia sering sekali ke makam istrinya untuk membersihkan dan memotong rumput makam istrinya. Padahal kata penjaga makamnya, istrinya sudah lama meninggal.
Ada hikmah yang bisa mbak petik?
Sehat itu penting, mahal banget harganya. Kalau sudah sakit nggak akan bisa apa-apa, uang sebanyak juga nggak bisa dinikmatin. Makanya sekarang saya suka bilang ke teman-teman satu tim yang usianya masih pada muda yang suka nggak tahu waktu dan doyan begadang, harus jaga kesehatan. Kalau nggak perlu lembur, lebih baik pulang untuk istirahat. Paling nggak makan yang sehat, deh. Jangan lupa olahraga. Meskipun kita merasa sehat, nggak ada apa-apa tapi penting untuk check up paling nggak 6 bulan sekali. Sekarang apa yang saya makan bener-bener saya pikirin. Padahal dulu suami saya yang selalu ingetin untuk olahraga dan makan yang benar. Kadang kalau sudah capek, saya memang males. Dia yang paling bawel. Suami pernah bilang, “Gue masih mau elo hidup lebih lama lagi, ayo olahraga dan makan yang bener. Nanti kalau loe nggak ada, gimana hidup gue nanti?”
Di laman selanjutnya Mbak Vivi merasa bersyukur karena keputusannya untuk tetap bekerja tidaklah salah. Ia mengaku dengan bekerja tidak hanya menopang kebutuhan finansial keluarganya, namun juga memberikan banyak kesempatan untuk belajar dan hidup mandiri.
Apa yang membuat Mbak merasa jatuh cinta dengan pekerjaan Mbak saat ini?
Ketemu orang-orang baru, dapat cerita dan pelajaran baru. Dari sini kan juga bisa jadi inspirasi buat saya. Kalau bertemu dengan orang yang sudah punya jabatannya tinggi, mereka pasti sudah melalui banyak pengalaman, termasuk belajar dari orang-orang dari negara lain.
Mungkin di sini saya punya banyak kesempatan ketemu banyak orang, dapat pengalaman yang sangat beragam. Di sini saya juga ditantang untuk melakukan sesuatu untuk mengembangkan semua produk, bagaimana kita bisa mengedukasi masyarakat, akhirnya saya bisa belajar menyampaikan sesuatu pada masyarakat yang sudah sangat kritis. Ternyata hal ini nggak mudah, loh, apalagi buat para Mommies yang kritisnya bukan main, hahaha.
Biasanya, nih, ketika baru punya anak suka ngalamin dilema antara balik kerja kantoran atau tetap di rumah. Merasakan hal seperti ini juga nggak, Mbak?
Hahaha... banget! Tapi sebenarnya waktu itu suami saya yang kasih pilihan, kalau saya memutuskan untuk nggak kerja, juga nggak apa. Tapi suami bilang, "Kamu itu kan sudah sekolah. Capek-capek belajar masa ilmunya nggak dipakai?" Lalu saya bilang, "Tapi kasihan kalau ninggalin anak-anak yang masih kecil." Soalnya waktu itu, saya ini nggak ada jeda, baru nikah langsung hamil. Dari situ sempat kepikiran, "Duh, masa gue harus ninggalin anak gue yang masih bayi begini, sih?"
Tapi suami malah dukung, bilang ya nggak apa-apa kalau saya tetep mau kerja, toh, sebelum saya menikah dan punya anak memang sudah kerja. Syaratnya, pekerjaan yang saya lakukan ini benar-benar yang saya suka. Jangan sampai kerja asal, dan malah saat pulang ke rumah jadi ngomel. Sesibuk apapun prioritas juga tetap keluarga. Akhirnya saya pun memutuskan untuk bekerja. Apalagi dapat tawaran untuk pegang PR, ya saya pun senang karena bisa belajar lagi. Tapi tetap saja, sih, awalnya banyak drama, pakai acara nangis-nangis ninggalin anak di rumah, hahahaa
Selain dapat support dari suami, apa yang bikin Mbak PD untuk kerja lagi?
Waktu itu saya juga memastikan kalau anak akan aman di rumah. Jadi waktu itu cari pengasuh yang bisa dipercaya, Kebetulan orangtua saya juga tinggalnya nggak jauh, jadi masih bisa ikut mengawasi. Paling nggak saya bisa tenang. Pertimbangan saya mau balik lagi kerja juga itu, memastikan anak sudah secure di rumah. Tapi tetap saja saya suka parnoan, sampai ibu bilang, "sudahlah kamu tenang aja kerja nggak usah pusing". Dulu kalau telat pulang, saya bisa senewen banget! Kangen nyusuin anak, padahal ASIP pun sudah saya kirim pakai ojek langganan. Tapi awal memang berat banget, sih... padahal pas sampai rumah, anaknya sih baik-baik aja.
Beratnya jadi working mom itu apa saja, Mbak?
Soal manajemen waktu. Sebisa mungkin, sih, pagi saya membereskan semua kebutuhan di rumah, bahkan saya juga masih masak. Apalagi saya sebenarnya susah percaya sama ART. Urusan makanan anak-anak, harus saya yang pegang. Nyusahin, sih, ya... tapi nggak apa-apalah, hahaha. Tapi kalau sekarang sudah bisa lepas, tapi kasih tahu masakannya pakai ini itu, jangan pakai ini. Malam saat sampai rumah, baru ngecek anak-anak. Kalau sempat ngobrol, ya, ngobrol dulu karena saya merasa ini kesempatan untuk quality time bersama mereka.
Menurut Mbak, hal apa saja yang bisa dipelajari anak dari ibu yang bekerja?
Anak itu jadi lebih mandiri. Kelihatan banget, lho... tapi dari dulu saya juga sudah mengajarkan kalau habis main, bereskan sendiri, nggak perlu minta tolong Mbak di rumah. Nggak perlu rapih, kok, yang penting jangan berantakan dan dikembalikan ke tempatnya, dan dia bisa... kalau makan, anak saya juga maunya ambil dan makan sendiri. Suka takjub juga, sih, melihat anak usia balita sudah mampu disiplin.
Buat Mbak, pelajaran apa, sih, yang paling penting dan wajib diajarkan pada anak-anak? Istilahnya, pondasi dalam pendidikan...
Kalau saya, sih, memang agama, ya, karena dari sini anak-anak bisa banyak belajar segala hal. Mulai dari disiplin, jujur, dan masih banyak lagi. Waktu anak saya usianya 3 tahun, saya juga sudah panggil guru ngaji ke rumah tapi lebih untuk bercerita, Jadi belum ngajarin anak baca Iqro dulu. Lebih ke story telling, cerita soal sejarah Nabi lebih dulu sehingga membuat anak-anak tertarik lebih dulu. Beberapa kali saya juga suka ajak anak-anak ke panti asuhan, supaya mereka bisa melihat bahwa banyak anak-anak di luar sana yang kurang beruntung. Buat, saya ngajarin anak empati itu juga penting.
Ketakutan terbesar Mbak sebagai orangtua?
Sebenarnya internet, sih. Sekarang kan semakin gampang untuk diakses. Buat aku, initernet ini influence yang agak berbahaya, yah. Anak-anak sudah gampang banget mengakses internet, bisa nonton youtube sendiri. Sementara kita nggak bisa mengawasi sepenuhnya, apa yang mereka tonton. Untungnya, sampai sekarang anak saya asama sekali nggak minta ponsel, lho. Sebagai orangtua kita memang perlu jagain, sih. Concern saya yang lainnya masalah bullying. Saya membekali ke anak, apa-apa harus cerita saja ke Mama. Kalau anaknya cuma diam, malah bisa jadi luka di dalam. Dan itu akan lebih susah untuk nyembuhinnya.
Pembatasan seperti apa, sih, yang Mbak terapkan di rumah sampai Raniya terlihat nggak tertarik main dan minta HP?
Di lock semua, wifi dan handphone. Aku juga memang sangat membatasi penggunaaan HP di rumah. Kalau sudah di rumah waktunya bersama keluarga. Jadi, maaf-maaf ya, kalau sudah di rumah saya suka nggak langsung angkat kalau ada yang telepon. Saat membuka sosial media pun nggak di depan anak-anak, dengan begitu mereka pun tidak terbiasa. Saya nggak mau anak aku berpikir, kok, Mama sudah sampai di rumah masih saja temenan dengan HP terus, ya? Sebisa mungkin aku, sih, kalau di rumah off HP.
------
Perbincangan dengan Mbak Aviani jelas memberikan banyak insight menarik yang bisa saya pelajari. Mudah-mudahan Mommies yang lain juga bisa merasakan hal yang sama, ya....
PAGES:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS