Sorry, we couldn't find any article matching ''
Motherhood Monday : Shinta Rosvita, Working Mom yang Aktif Ngeblog
Adalah Shinta Rosvita, ibu pekerja yang merasa menemukan dunianya di bidang tulis menulis. "Dengan menulis aku menemukan dunia aku yang sebenarnya"
Saya selalu salut dengan perempuan yang punya manajemen waktu yang baik. Bisa mengatur waktu untuk melakukan pekerjaan di kantor, mengerjaan pekerjaan domestik di rumah, tetap punya kehidupan sosial yang baik, termasuk punya waktu me time! Hal seperti inilah yang saya lihat dari sosok Shinta Rosvita. Ibu dari Ivander Harrison Michael (15) dan Dylan Filbert Thomas (11).
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai Content Editor di Mindshare, dirinya masih tetap aktif ngeblog. "Banyak hal yang bisa saya dapatkan dari menulis, termasuk saat ngeblog. Paling nggak, ngebog ini juga bisa saya jadikan sebagai me time yang membuat saya tetap merasa fresh."
Bisa dibilang, dunia Shinta Rosvita memang tidak jauh dari dunia tulis menulis. Kepiawaiannya pun sudah nggak perlu diragukan lagi. Sebelum menjadi Content Editor di Mindshare, istri dari fotografer Pinky Mirror ini sudah lama berkecimpung di dunia media. Ia sempat menjabat sebagai Editor In Chief Her World Indonesia Magazine selama lima tahun.
Belum lama ini saya dapat kesempatan untuk ngobrol banyak dengan perembuat berkulit putih ini. Banyak sekali insight menarik yang bisa dapatkan lewat obrolan kami waktu itu. Berikut kutipan obrolan kami....
Hallo Mbak... sekarang ini lagi sibuk apa saja, nih?
Sekarang masih sibuk nyiapin konten planning untuk Unilever khusus digital tahun 2016 nanti
Oh, ya... bisa dibilang karir yang Mbak jalankan selama ini nggak terlepas dari dunia tulis menulis.Ceritain, dong, awal ketertarikan dalam dunia menulis ini seperti apa?
Aku, tuh, dari kecil memamg sudah suka ngarang. Ngarang dalam arti sebenarnya, ngarang kebohongan ke orangtua, ngarang bagaimana bisa bisa cabut dari sekolah, ya, pokoknya dulu zaman sekolah itu bandel, deh. Nah, mungkin bermula dari senang ngarang kebohongan ini kali, yah. Dari situ akhirnya aku malah keterusan senang ngarang cerpen. Aku inget banget dulu aku nulis cerpen dan diterbitin buat Majalah Anita, saat itu aku masih kelas dua SMP. Waktu itu aku ngarang cerita cinta-cintaan. Dari sana baru, deh, kepikiran “Oh... mungkin aku memang bisa menulis kali, ya? This could be my living.” Tapi dari sini sebenarnya aku juga lupa buat nulis lagi.
Pas kuliah aku lihat iklan kalau ada lowongan di Hard Rock Radio, paling nggak aku bisa jadi reporter dan nulis di sana. Setelah ngelamar, ternyata aku diterima. Jadilah ini pekerjaan pertama aku. Tapi akhirnya berkembang aku malah disuruh untuk siaran. Waktu itu boss aku Mbak Meuthia Kasim, mungkin Mbak Meuthia nilai suara aku ini khas dan kenceng banget, kali ya? Kalau ngomong di depan, pasti semua orang sudah tahu kalau itu aku. Jadilah aku siaran. Tapi aku merasa kalau ini bukan passion aku. Mungkin gue bawel, tapi kalau untuk siaran kayaknya nggak cocok.
Waktu itu aku juga dapat informasi kalau Cosmopolitan buka lowongan, akhirnya aku nyoba untuk ngelamar. Setelah diterima, aku pindah. Nah, dari sana aku merasa kalau aku menemukan dunia aku yang sebenarnya. Bahwa aku memang senangnya menulis.
Setelah lama menulis untuk print saat ini Mbak beralih ke digital. Sebenarnya apa saja perbedaan dan hal yang perlu diperhatikan saat menulis untuk digital?
Kalau di majalah itu, aku terbiasa untuk nulis panjang lebar karena untuk memeunih sekian halaman. Tapi ini tentu saja kebalikan di dunia digital. Di digital kita harus menulis yang serba ringkes dan praktis. Kalau perlu dalam satu kalimat, semua pesan sudah bisa disampaikan. Contohnya saat kita menulis twitter, dengan keterbatasan 140 karakter kita harus bisa mengemas kalimat sesingkat mungkin. Tapi selain itu pesan yang mau disampaikan tentu saja harus bisa diterima anak-anak zaman sekarang, termasuk harus bisa dibaca dimana pun, termasuk di mobil.
Menurut Mbak Shinta, tulisan yang keren dan bagus seperti apa, sih?
Tulisan yang saat dibaca seperti sedang ngobrol. Jadi dulu, ketika akau jadi Editor in Chief, saat kasih training aku selalu bilang, coba baca tulisan setelah selesai menulis. Yang paling gampang dan perlu dilakukan oleh seorang penulis ini saja. Jadi nggak perlu, deh, pakai teori apapun. Put your self as pembaca, kira-kira sampai nggak pesan yang ingin disampaikan? Tulisannya muter-muter nggak? Meskipun nulis buat majalah, nggak harus muter-muter. Intinya, sih, pesan yang ingin disampaikan harus sampai.
Sebagai working mom, Mbak juga aktif ngeblog. Kuncinya apa, tuh, Mbak?
Hahahaha... iya... jadi dari Senin sampai Jumat aku kerja full time, dari jam 9 sampai jam 6. Sebagai ibu dan istri aku pun ngerjain tugas yang sama, bangunin anak, siapin sarapan, anak-anak ke sekolah aku baru bisa mandi. Nah, untuk blogging biasanya aku lakukan saat akhir pekan. Sabtu dan Minggu poll buat nge-blog. Idealnya, sih, tiap minggu blog harus di-update. Tapi karena memang lagi sibuk nyiapin konten untuk 2016 nanti, belakangan ini jjadi agak tertunda untuk nulis.
Hobi nulis ini nurun ke anak nggak, sih, Mbak?
Nggak juga, sih. Cuma kebetulan anak aku ini sekolah di sekolah yang bagus. Jadi, si kakak yang sudah kelas 1 SMA, dia sudah mampu membuat presentasi sendiri, dan harus dipresentasikan ke orangtuanya. Sebenarnya, sih, ngajarin secara langsung memang nggak. Tapi mungkin sudah naturally anak aku sering lihat ibunya menulis, mereka pun akhirnya bisa menulis dengan sendirinya.
Buat aku pribadi, menulis itu penting banget. Bahkan salah satu kriteria aku dalam memilih pre school untuk anak-anak adalah yang sudah mengajarkan anak menulis. Bukan cuma building block saja. Syukurnya aku nemuin sekolah yang aku inginkan. Jadi, saat berusia 4 tahun anak aku sudah mampu menulis, at least bisa menulis namanya sendiri.
Oh, ya, ada alasan tertentu nggak yang membuat Mbak memilih pre school yang mengajarkan anak-anak membaca. Sementara tidak sedikit orangtua yang menilai kalau belajar membaca dan menulis lebih baik dilakukan ketika masuk SD?
Wah, aku nggak bisa kalau begitu. Mungkin karena aku juga sudah terbiasa nulis, cari pekerjaan juga lewat menulis, aku pun ingin anak-anak aku mampu menulis. Karena menurut aku ini adalah core yang penting dalam kehidupan anak.
Konon, kalau terburu-buru mengajarkan anak membaca menulis sejak dini bisa menimbulkan dampak negatif pada anak-anak. Apa mbak melihat hal seperti ini juga?
Nggak, tuh! Malah aku lihat anak-anak aku ini justru lebih percaya diri kalau lagi ngumpul bersama saudara-saudaranya. Anak aku sudah bisa nulis, sementara sepupunya belum bisa menulis. Justru hal ini build up his confidence. Aku, sih, melihatnya seperti ini, ya, karena aku merasa anak-anak aku melihat kalau mereka itu one step a head.
Dalam dunia perenting sendiri, pola asuh apa, sih, yang Mbak terapkan ke anak-anak?
Kalau aku, sih, go with the flow aja, ya. Suami aku kebetulan juga seperti ini. Kita sama-sama nggak belajar secara teoritis soal parenting. Buat aku segala teori yang diajarkan baik teori dari psikolog seperti ini susah diterapkan secara general. Biar bagaimana pun tiap anak itu kan berbeda-beda, jadi semua anak nggak bisa dipukul rata. Aku, tuh, nggak pernah baca lho buku-buku parenting. Jadi aku sama suami sama-sama trial and error aja. Kalau memang lagi ngerasa sulit, ya akan nangis bareng sama suami. Kalau lagi senang, melihat perkembangan anak, ya, bahagia banget. Justru buat aku kalau terlalu banyak mengikuti teori malah bisa bikin pusing dan bikin parno sendiri. Kadang malah bikin diri kita ter-judge sendiri, merasa pola asuh yang kita pilih salah. Sementara yang bisa menilai kita itu ibu yang baik atau bukan adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Dan sebenarnya kita bisa melihat kok, dari anak-anak kita. Jadi jalanin saja apa adanya.
Kalau Mbak dan suami sendiri punya barometer nggak untuk menilai sukses tidaknya menjadi orangtua?
Oh, nggak ada. Balik lagi mungkin karena aku dan suami ini tipe easy going simple parents. Jadi terserah, deh, anak mau ngapain. Tapi tentu saja teta dijaga. Menurut aku beromenter sukses tidaknya menjadi orangtua adalah melihat anak bisa tumbuh sehat, tumbuh normal, pendidikan oke, pergaulannya juga baik. Nah, check list aku sudah beres. Tapi bukan berarti itu jadi patokan aku sudah berhasil jadi orangtua. Buat aku, orangtua yang berhasil ketika kita bisa melihat anak tumbuh menjadi seseorang sesuai dengan yang mereka inginkan. Anak aku yang pertama itu pengen jadi chef. Aku bilang ke anakku ini, ketika ia sudah bisa menjadi chef terkenal aku baru merasa berhasil jadi orangtua.
Bagaimana dengan keterlibatan suami dalam dunia parenting ataupun karier yang Mbak Shinta jalankan?
Puji Tuhan suami aku itu selalu mendukung apa yang aku pilih, aku mau kerja atau nggak. Semua terserah aku. Karena suami memang freelancer, kadang bisa ada di rumah kadang sebulan kerjanya di luar negeri. Tapi kalau untuk pola asuh, tugas kami bagi rata, sih. Kalau aku yang lagi pergi kerja, suami yang take care of the kids. Gantian saja. Semua yang ngurusin anak-anak itu semua perintilan aku dan suami yang kerjain sendiri.
Nggak afdol, nih, kalau kalau nggak ngomongin soal beauty. Mau tahu, dong produk favoritnya apa, sih? Produk yang nggak boleh ketinggalan setiap hari itu, apa?
Semua! Hahahaa.... kalau kamu lihat Instagram aku, kalau lagi travelling, aku akan lebih banyak bawa produk skincare dan makeup dibandingkan bajunya. Jadi nggak boleh ketinggalan satu produk pun. Buat aku dasar makeup yang baik itu perlu skincare yang bikin kulit itu jadi sehat. Jadi, semuanya dari pelembap, sabun, pembersih wajah nggak boleh ketinggalan. Jadi nggak bisa ketingglan satu pun. Jadi buat aku kalau jalan-jalan, bisa bawa cuma satu tapi kalau skincare dan makeup harus harus bawa semua. Termasuk brush, jadi P3K aku itu brush.
Share Article
COMMENTS