Sorry, we couldn't find any article matching ''
Oasis, Restoran Cita Rasa Tempo Dulu
Ingin menikmati hidangan Indonesia bersama pasangan atau sekadar menjamu relasi bisnis, mungkin restoran Oasis Heritage bisa menjadi pilihan.
Beberapa bulan lalu saya diundang untuk menghadiri peluncuran menu baru di restoran yang setia mengusung tema dan makanan tempo dulu, restoran Oasis Heritage. Kebetulan yang di-launching ini menu untuk makan siang, yang dibuat berbeda dengan menu andalan restoran ini, yaitu Rijsttafel. Rijsttafel terjemahan langsungnya adalah "meja nasi", merupakan cara penyajian makanan berurutan seperti fine dining, tapi dengan menu Indonesia. Karena bisa terdiri dari puluhan sajian, harga per porsi (satu porsi adalah satu rangkaian sajian per orang) bisa ratusan ribu rupiah.
Nah, menu makan siang yang diluncurkan tersebut dibuat per porsi seperti biasa, tapi tetap dengan kualitas seperti sajian Rijsttafel. Dengan harga menu per porsi berkisar antara 75-175 ribu rupiah, restoran ini bisa menjadi alternatif pilihan untuk fancy Indonesian Cuisine. Bila Anda hendak makan siang atau menjamu relasi, tempat ini bisa masuk hitungan. Dengan interior yang indah dan dibuat tematik, misalnya ruang Sumatra yang dihiasi tenun tapis Lampung dan hiburan penyanyi Batak, pasti akan menarik bagi tamu dari luar negeri.
Sayangnya Oasis memang tidak dibuat untuk family dine-in dan kurang child friendly. Interior bangunan dipertahankan sesuai aslinya sebagai rumah kuno jaman Belanda dengan undak-undakan dan tangga menuju lantai atas. Banyak furnitur kuno dan pajangan yang agak rawan tersenggol anak-anak yang aktif.
Saat saya kesana membawa anak saya yang berusia tiga tahun, mereka tidak punya baby chair. Balita tetap duduk di kursi dewasa, hanya saja disediakan semacam bantalan ekstra supaya posisi duduknya lebih tinggi. Cuma menurut saya, kok, malah jadi kurang aman, ya. Kursi yang tadinya aman karena di kiri-kanan ada sandaran lengan yang bisa jadi proteksi anak, diberi bantalan tinggi jadinya lengan kursi ikut 'turun'. Honestly, bantalan ini nggak begitu berguna juga. Anak tetap nggak bisa cukup dekat dengan meja untuk bisa mandiri makan sendiri karena kakinya jadi menabrak meja.
Saya juga sempat melihat ada halaman belakang di area restoran. Tapi waktu saya tanyakan ke pengelola apakah mungkin ada semacam playground atau minimal ayunan atau mainan sederhana, ternyata nggak ada juga. Jadi, seperti yang saya tuliskan di kalimat pembuka, memang sebaiknya menikmati hidangan di sini saat Anda bersama pasangan atau teman-teman kerja. Tidak disarankan kalau membawa anak, sih.
Dari segi makanan, entah kenapa saya nggak merasakan sesuatu yang istimewa. Beberapa menu memang unik karena ditampilkan berbeda dengan menu tradisional aslinya. Seperti poffertjes yang biasanya bulat dengan isian manis seperti coklat atau gurih dengan keju lalu ditaburi gula halus diatasnya, di-deconstruct menjadi berbentuk bantal tanpa isi, tetap dengan taburan gula halus, dan tambahan saus kental cream cheese untuk dipping.
Klappertart yang biasanya penuh kelapa muda dengan nuansa vanila-rhum dan taburan kismis plus sedikit almond bakar sebagai topping, di sini sepertinya kelapa mudanya dihaluskan jadi semacam mousse berisi beberapa kismis dengan permukaan penuh almond. Honestly, saya nggak dapat rasa kelapa mudanya. Yang terasa hanya almond dan taste seperti santan.
Terlepas dari warm welcome yang mengesankan saya saat menanyakan apakah saya boleh hadir membawa anak balita, sejujurnya saya lebih ingin mengajak keluarga mencoba restoran lain ketimbang kemari. Kecuali kalau saya perlu menjamu tamu dari luar negeri mungkin, ya, tanpa membawa anak-anak.
Mommies ada yang pernah ke restoran ini? Atau malah jadi langganan dan punya menu favorit? Boleh, lho, di-share pengalamannya makan bersama keluarga.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS