Sorry, we couldn't find any article matching ''
Memutus Rantai Generasi Stunted
Setelah 70 tahun merdeka, malnutrisi atau gizi buruk masih saja menjadi momok bagi perkembangan anak-anak Indonesia.
Sedih ya mengetahui walaupun sudah digaungkan tentang Golden Age di mana periode 1000 hari pertama tersebut merupakan masa paling vital dalam perkembangan otak anak, ternyata masih belum banyak membantu menanamkan awareness untuk mewaspadai gejala gizi buruk.
Dalam scope mental dan kognitif, saat efeknya baru akan terlihat 14 tahun berikutnya, salah satu akibat gizi buruk adalah penurunan poin IQ dibandingkan dengan anak yang mendapat asupan nutrisi cukup. Selain itu dari segi fisik juga nampak perbedaan yang dinamakan stunting.
Stunting memiliki gejala jangka pendek (di masa anak-anak) dan gejala jangka panjang (di masa dewasa). Gejala stunting pada anak-anak yaitu gagal tumbuh yang ditandai dengan fisik yang pendek dibanding teman sebaya yang gizinya baik. Kadar konsumsi protein berpengaruh pada penambahan tinggi dan berat badan pada anak berusia di atas 6 bulan. Anak yang mendapat protein 15% dari total asupan kalori memiliki badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang hanya mendapat protein 7.5% dari total asupan kalori. Berdasarkan penelitian Bank Dunia di Vietnam, perbedaan tinggi badan ini berkisar antara 3-5 cm.
Gejala lanjutan stunting pada dewasa meliputi obesitas, penurunan toleransi glukosa, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan osteoporosis. Gejala ini tetap timbul walau anak telah menjalani terapi perbaikan nutrisi di masa anak-anaknya dan mencapai tinggi badan yang lebih baik daripada yang tidak mendapatkan terapi.
Sayangnya, terapi ini tidak bisa mengembalikan apa yang hilang, hanya memperbaiki. Jadi faktor-faktor seperti tinggi badan dan poin IQ anak yang tadinya malnutrisi, tidak akan bisa mengejar anak yang cukup nutrisi. Karena itulah stunting disebut sebagai kondisi yang irreversibel (tidak bisa dikembalikan seperti semula) akibat malnutrisi.
pada usia yang sama.
Salah satu penyebab stunting adalah masalah asupan gizi dan pemberian makan sedari masa ASI & MPASI. Ibu hamil yang kurang seimbang nutrisinya, serta pemberian MPASI yang rendah protein, zat besi, zinc dan kalsium. Anak usia di atas 6-12 bulan membutuhkan konsumsi protein harian sebanyak 1.2g/kg berat badan. Sementara anak usia 1-3 tahun membutuhkan konsumsi protein harian sebesar 1.05 g/kg berat badan.Sumber protein tidak harus daging merah, kok. Bagaimanapun juga, daging masih dianggap cukup mahal bagi sebagian besar masyarakat kita untuk dikonsumsi secara rutin. Jadi alternatifnya apa? Banyak, bisa ayam atau ikan, bahkan susu dan telur pun cukup kalau bisa rutin. Jangan lupa masih ada alternatif protein nabati juga seperti kacang-kacangan, umbi-umbian, biji-bijian, dan sayuran.
Lalu, bagaimana membedakan pendek karena kurang gizi atau memang genetis? Menurut dr. Damayanti Syarief, dokter spesialis anak, pakar nutrisi pediatrik dan penyakit metabolik RSCM, pendek karena stunting biasanya juga dibarengi oleh penurunan fungsi kekebalan, kognitif, dan gangguan sistem metabolisme. Sedangkan anak yang pendek karena genetis atau late bloomer alias lambat tumbuh (yang nantinya tetap akan mengejar teman-teman seumurnya pada usia tertentu) tidak ada indikasi demikian.
Bagaimana bila sebaliknya? Anak-anak yang pertumbuhan tingginya normal atau bahkan pesat, tapi berat badannya divonis kurang (sounds familiar?), apakah indikasi dari masalah gizi juga? Jawabnya bisa iya, bisa juga tidak. Pada dasarnya pertumbuhan berat badan anak memang melambat pada usia tertentu, sekitar 1-2 tahun, dan berganti pertumbuhan tinggi badan. Di periode inilah pertumbuhan torso (bagian badan tengah) paling pesat. Periode berikutnya, sekitar pubertas, pertumbuhan torso berhenti dan digantikan pertumbuhan tulang kaki dan lengan.
Nah, jadi sebetulnya tinggi badan yang naik pesat dan (sepertinya) tanpa diikuti dengan pertambahan berat badan itu normal pada anak-anak. Kecuali bila ada indikasi lain seperti anemia karena defisiensi besi (ADB) atau gejala penyakit seperti TB (tubercullosis).
Melihat foto perbandingan antara tinggi badan anak yang stunting dengan yang normal, saya jadi terpikir jangan-jangan perbedaan tinggi badan yang signifikan antara orang Asia atau khususnya Indonesia dengan orang bule juga sebagian karena ada unsur stunting akibat perbedaan asupan gizi ketika jaman perang dunia, yang lalu diturunkan jadi sifatnya genetis.
Kalau benar begitu, yuk, ah, kita putus rantai genetis ini dengan mencukupkan asupan protein pada anak-anak Indonesia supaya pertumbuhannya bisa maksimal baik secara fisik maupun mental dan kecerdasan.
Share Article
COMMENTS