Kalau saya atau Anda susah mengingat kapan tepatnya kita sekeluarga kumpul dalam formasi lengkap, well it means... we need help for our family.
Saya ingat, saat masih kecil, setiap minggu saya pasti pergi ke Gramedia Matraman bersama kelarga saya. Itu semacam jadwal mingguan yang sudah pasti. Sampai sekarang momen itu masih melekat erat di memori. Ketika saya beranjak remaja, kuliah kemudian bekerja, perlahan momen mingguan itu menghilang berganti dengan obrolan ringan di malam hari kalau atau sekadar bertukar kabar via telepon. Sampai akhirnya saya dan kedua kakak saya menikah.
Saat menjadi orangtua, menciptakan waktu khusus untuk bersama ternyata nggak semudah dulu ya. Mommies merasakan itu? Kalau jawabannya tidak, selamat, Anda sungguh beruntung. Pertahankan. We all know that real life can get real busy but we have to manage the load and seize the moment. Lantas bagaimana kita bisa 'melawan' biang kerok dari semakin berkurangnya waktu bersama keluarga?
*Gambar dari sini
Teknologi
Kita memang nggak bisa menghindari teknologi, tapi kita bisa mengubahnya agar jangan sampai teknologi membuat hubungan kita dengan orang-orang terdekat malah menjadi jauh. Kalau merasa sulit, coba lakukan digital detoks.
Tentukan waktu, kapan kehadiran teknologi sangat kita ‘haramkan.’ Kalau di saya, baru di bulan ini, setiap Jumat – Minggu, mulai dari jam 8 malam no gadget at all. Gantinya dengan ngobrol atau membaca buku.
Di hari kerja, saat sudah di rumah saya hanya mengecek handphone setiap satu jam sekali selama 10 menit. Walaupun setelah anak tidur kadang saya harus membuka laptop dan menyelesaikan pekerjan *__*.
Tidak meletakkan televisi di kamar tidur anak dan hanya mengizinkan mereka menonton televisi selama 2 jam setiap harinya. Agak longgar kalau besoknya mereka libur sekolah.
Saya mengharuskan anak-anak setiap sore bermain sepeda di halaman rumah. Minimal mereka beraktivitas di luar ruang dan bergerak aktif. Saya nggak mau anak-anak saya identik dengan ciri generasi sekarang, yang katanya malas bergerak dan serba instan.
Berusaha face time dengan anak ketika saya tidak berada di rumah. Gadget shouldn’t replace face to face time, but it can let your kids know you’re thinking of them while you work.
24/7 Work Hours
Jam kerja di kantor idealnya 9 jam, ditambah macetnya jalanan pulang-pergi sekitar 2 jam kalau beruntung, kalau kurang beruntung 3 jam, kalau siaaaaal banget bisa 4-5 jam. Berarti kira-kira 11–14 jam berada di luar rumah. But this is not about feeling guilty, it’s about getting proactive.
Sampai di rumah, saya mencoba membuang semua kesal karena kerjaan atau macetnya jalanan dengan diam dulu di dalam mobil selama 10 menit sambil dengerin radio. Minimal saat ketemu anak, muka saya udah nggak berlipat sepuluh.
Sederhanakan aktivitas bersama keluarga. Sudah capek kerja, nggak usahlah ambisius memasak sendiri. Atau melakukan obrolan yang dalam bersama anak. Cukup obrolan ringan namun benar-benar fokus satu sama lain.
Hobi mengikutsertakan anak ke berbagai macam les? Atau OCD ngurusin rumah yang harus bersih sempurna? Wait, dua hal itu juga menjadi biang penyebab banyak keluarga kehilangan waktu berharga bersama.
Kid’s activities
Anda tidak bekerja, tapi hari-hari dipenuhi dengan mengantar jemput anak sekolah, nemenin les renang, nunggu les balet atau musik? Slow doooown mommies.
Jangan berlebihan. Tahu kan, segala sesuatu yang berlebihan itu nggak baik, termasuk jadwal les yang berlebihan, hahaha. Kalau kata Gwenn O’ Keeffe, MD, penulis dari buku Cybersafe: Protecting and Empowering Kids in the Digital World of Texting, Gaming and Social Media, dua kegiatan ekstrakurikuler dalam seminggu sudah cukup. Ini juga yang lagi saya sesuaikan.
Jangan biarkan jadwal latihan menghalangi waktu liburan Anda sekeluarga. Kalau memang sudah jadwalnya liburan keluarga, saya akan mengizinkan anak saya bolos les. Nggak papalah sesekali dia bolos :D.
Urusan bersih-bersih rumah
Saya mungkin emang nggak OCD tapi hanya nggak betah melihat rumah berantakan. Bawaannya pingin bersih-bersih, nggak peduli jam berapapun saya pulang. Tapi kalau udahlah bekerja, terus urusan rumah mau saya handle sendiri, yang ada kelar rumah bersih, anak-anak saya udah molor di kamarnya.
Libatkan seluruh anggota keluarga. Kalau nggak ada ART, saya tugaskan suami untuk buang sampah dan ngosek kamar mandi, anak-anak urusan angkat baju dari jemuran. Simple tapi benar-benar berasa ketolong.
Jangan ambisius. Pel rumah dua hari sekali, menyapu hanya setiap pagi, lap perabotan juga dua hari sekali. Kalau lagi fakir ART memang saya harus BELAJAR rela melihat rumah sedikit kotor.
Plan ahead. Sekolah anak-anak saya yang lama agak kocak, hobi banget ngasih surat undangan kegiatan mendadak. Jadilah saya sering SMS wali kelas untuk bertanya ada kegiatan apa untuk satu bulan kedepan.
Buat saya, more family time bukan berarti kami harus traveling ke luar kota atau negeri, atau dinner di restoran mewah. Tapi bagaimana saya bisa menciptakan kenangan yang indah untuk anak-anak saya. Bagaimana di saat mereka dewasa, ada hal-hal yang akan selalu mereka ingat dan membuat mereka tersenyum tak peduli mau seberapa besar perubahan zaman yang mereka alami.