Merasa terlalu perfeksionis? Hati-hati Mommies, hal ini bisa picu gangguan kecemasan yang berlebihan sehingga menimbulkan masalah kehidupan pribadi dan sosial.
Ngomongin soal perfeksionis, saya jadi ingat salah satu teman dekat saya semasa SMA dulu. Teman saya ini sudah dikenal sebagai sosok perempuan yang perfeksionis. Apa pun yang ia kerjakan, selalu mau hasil yang selalu sempurna. Sebenarnya nggak ada yang salah juga, sih, apabila punya kepribadian perfeksionis, karena tandanya kita menginginkan hasil yang terbaik. Begitu bukan?
Masalahnya, nih, sifat yang ingin serba sempurna ini justru memengaruhi hubungannya dengan suami. Pun dengan anaknya. Ketika sang suami ataupun anaknya tidak melakukan tugas seperti yang diharapkan, tak jarang akhirnya membuat teman saya ingin ngomel berkepanjangan. Kalau menurut saya, teman saya ini seperti kurang realistis. Kalau dibiarkan berlarut-larut, tentu saja bisa mengganggu kehidupan pribadi dan sosial.
Tanpa disadari karakter perfeksionis ini bisa menimbulkan gangguan kecemasan, lho. Hal ini dipaparkan oleh dr. Danardi Sosrosumihardjo, SpKj (K). Presiden ASEAN Federation for Psychiatry and Mental Health mengatakan kalau gangguan cemas biasa ditemui pada orang-orang yang perfeksionis. Orang-orang seperti itu cenderung ingin selalu persisten, konsisten, mudah kesal saat menemui orang lain berbuat salah sehingga mereka sering cemas. Dengan begitu, kebanyakan dari mereka akan kesulitan beradaptasi.
Kebetulan, belum lama ini saya sempat diundang ke acara media edukasi yang digagas oleh Pfizer. Topik yang diangkat adalah ‘Mengendalikan Kecemasan untuk Hidup Lebih Berkualitas’. Banyak sekali fakta yang bikin saya terkejut, termasuk hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang menunjukkan kalau saat ini ada sekitar 16 juta orang atau 6 persen penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional.
Cemas VS Takut
Kondisi gangguan kecemasan (anxiety) ini merupakan gangguan mental emosional yang dirasakan karena munculnya perasaan takut yang berlebihan. Menurut dr. Danardi, Gangguan kecemasan ini biasanya muncul karena adanya kumpulan gejala atau perilaku di mana seseorang merasa tidak bahagia dan merasa menderita.
Sebenarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi munculnya gangguan mental ini. Mulai dari genetik, seperti kepribadian atau faktor lingkungan keluarga yang membentuk seseorang tersebut, lingkungan sosial yang dinamis, hingga gaya hidup pun dapat memengaruhi gangguan kecemasan.
Waktu itu, dr. Danardi juga mengingatkan bahwa penting bagi kita untuk bisa membedakan antara cemas dan takut. Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menjelaskan bahwa secara prinsip pun takut dan cemas berbeda. Takut dikategorikan sebagai fisiologi sementara cemas termasuk patologi.
Ia mengibaratkannya seperti ini, kalau belum terjadi bencana alam tapi kita sudah merasa khwatir sebenarnta kondisi masuk dalam anxiety (cemas). Sementara kalau fear (takut) adalah bencana atau bahaya sudah ada di depan mata. "Misalnya khawatir soal masa depan, nilai ujian akan jelek, atau seorang ibu yang menunggu anaknya belum pulang hingga larut malam, kondisi ini tergolong cemas karena apa yang dikhawatirkan belum tentu terjadi," terangnya lagi.
"Ketakutan terhadap sesuatu dan kecemasan adalah hal berbeda. Ketika seseorang cemas, pikiran terpaku pada objek yang belum jelas. Sedangkan perasaan takut adalah gejala yang ditimbulkan oleh objek sudah jelas. Seperti orang yang takut terhadap ular," tambah dr. Danardi.
Sebenarnya, wajar saya kalau dalam keseharian kita merasakan hal yang membuat tidak nyaman ini, baik takut ataupun cemas. Hal ini pun diamini oleh dr Danardi yang mengatakan bahwa perasaan cemas ataupun takut merupakan perasaan yang normal dialami manusia. Namun tentu akan berbeda jika perasaan tersebut sudah berlebihan hingga menggangu kehidupan pribadi ataupun sosial. Soalnya, apabila kecemasan tidak bisa dapat ditangani secara baik, kecemasan di luar kendali bisa menyebabkan depresi.
Lebih mengkhawatirkan lagi, gejala cemas pada depresi meningkatkan kemungkinanan bunuh diri, dan berkurangnya kemampuan fungsional di pekerjaan. Memang, sih, kalau ngomongin masalah keputusasaan seseorang untuk bunuh diri, sebenarnya memang sangat kompleks. Seperti yang diungkapkan dr. Danardi bahwa depresi sebagai penyebab bunuh diri tidak bisa berdiri sendiri. Namun, ia mengatakan bawah sebenarnya ada beberapa cici-ciri depresi yang perlu kita kenali lebih jauh.
“Misalnya, apabila kita sudah merasa sedih hingga lebih dari dua minggu, perasaan senang ataupun gembira sudah tidak bisa dirasakan lagi. Bisa juga diikuti dengan hlangnya nafsu makan, tibul rasa bersalah yang sangat besar, hingga merasa masa depan sangat suram,” ungkap dr. Danardi lagi.
Coping Mechanism
Terus terang, sepanjang mengikuti media edukasi ini saya cukup dek-dekan. Seperti yang kita ketahui, anak-anak pun bisa merasa depresi. Bahkan rasanya sudah ada puluhan berita yang menyatakan akibat merasa depresi mereka nekat bunuh diri. Waktu itu, dr. Danardi juga sempat menyinggung dalam hal ini pola asuh punya peran yang begitu besar. Untuk itulah, sebelum gangguan kecemasan berakibat fatal, penting bagi kita semua untuk melakukan pencegahan sehingga depresi bisa ditangani dengan baik.
Caranya, dengan membekali diri kita ataupun anak-anak dengan coping mechanism yang baik. Sebenarnya, para psikologi memiliki definisi yang berbeda beda dalam mengartikan coping mechanism. Namun pada intinya sama, yaitu strategi atau upaya seseorang baik secara mental maupun perilaku untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan.
Sebenarnya masing-masing orang sudah punya coping mechanism atau mekanisme dalam menyelesaikan masalah. Namum memang, kemampuan coping mechanism setiap individu akan berbeda-beda.
Di kesempatan yang sama, hadir juga dr. Andri, SpKj, FAPM, Psikiater dari Klinik Psikosomatik Rumah Sakit OMNI Alam Sutera ini menjelaskan bahwa setiap pribadi dapat belajar mengendalikan kecemasan dengan self healing dan meningkatkan coping mechanism. Self healing ini bisa dilatih dengan menerima kondisi dan situasi dengan lapang dada, dan berkonsultasi dengan psikiater untuk mendapatkan bantuan.Selain itu, kondisi lingkungan juga mempengaruhi kemampuan ini. Semakin baik lingkungannya, maka kemampuan orang untuk mengelola kecemasan semakin baik.
Biar bagaimana pun, kondisi depresi sebenarnya tidak tiba-tiba saja terjadi. Namun merupakan merupakan akumulasi dari kecemasan yang dialami. “Akumulasi tersebut menyebabkan gangguan keseimbangan sistem neurotransmitter di otak. Ketika coping mechanism manusia sudah tidak mampu menangani rasa cemasnya, maka akan ada kesalahan dalam otak yang membuat mengira ada bahaya meskipun tidak ada," ujar dr. Andri
Nggak mengherankan, ya, kalau kondisi ganguan kecemasan tidak ditangani dengan baik, bisa memengaruhi tingkat kualitas hidup.