Ditulis oleh: Monik Wulandari
Sejak merencanakan pernikahan saya lima tahun yang lalu, saya tahu, saya ingin menjadi seorang ibu. Namun PCOS sedikit menghambat keinginan saya itu.
Tak semua perempuan yang saya kenal, ingin menjadi seorang ibu. Tapi seperti yang juga sering saya dengar, manusia boleh berencana, Tuhan yang akan menentukan, hehehe. Ada beberapa teman yang tak merencanakan untuk hamil atau segera hamil setelah menikah, justru dikaruniai buah hati. Sebaliknya dengan saya.
*Gambar dari sini
Setahun pertama pernikahan, beberapa kali saya diberi false alarm. Telat menstruasi satu hingga tiga minggu, benar-benar membuat hati saya diam-diam kegirangan. Berharap kali ini berbeda ketika saya membeli beberapa merk test pack kehamilan. Sayangnya, hingga melewati anniversary kami yang kelima, saya belum kunjung hamil.
Sudah pasti, saya dan suami segera memeriksakan diri setelah tahun pertama kami berlalu. Sayangnya memang ada sedikit kendala bagi kami berdua. Awalnya saya mengalami penyumbatan di salah satu tuba falopi, sehingga menghambat sel telur meluncur ke tempat yang seharusnya. Well, untungnya hanya satu sisi, dan setelah melewati beberapa kali fisioterapi, kedua saluran tersebut dinyatakan lancar kembali.
Tapi dengan kehamilan yang tak kunjung datang, akhirnya saya mencoba memeriksakan ke dokter kandungan yang berbeda. Kali ini, diketahui bahwa saya mengidap PCOS (Polycystic Ovary Syndrome), suatu kondisi ketidakseimbangan hormon, yang menyebabkan gangguan kesuburan dan sulitnya terjadi kehamilan. Penyebabnya? Kemungkinan besar adalah adanya keturunan diabetes dalam keluarga saya.
Saat saya cari tahu, gejala PCOS pada setiap perempuan berbeda. Namun beberapa gejalanya adalah adanya gangguan menstruasi, muncul bercak hitam di area kulit belakang leher, bawah lengan, bawah lutut dan beberapa area tertentu lainnya karena tingginya kadar insulin, hingga peningkatan kadar hormon androgen yang dapat terlihat dari pertumbuhan rambut berlebih pada tubuh dan wajah, timbul banyak jerawat, wajah lebih berminyak dan terjadi penipisan rambut pada kepala. Selain memproduksi hormon estrogen dan progesteron, perempuan sebenarnya juga memproduksi sedikiiit hormon testosteron. Peningkatan hormon inilah yang bisa menghambat proses pematangan sel telur.
Meski bobot dan lingkar pinggang saya termasuk ideal, dokter menganjurkan saya untuk menjalani diet untuk mengurangi lingkar perut yang kelebihan 2cm dari batas maksimal perempuan, yaitu 80cm. Tapi meski lingkar perut sudah susut, ketika melakukan USG, tak ada perubahan kualitas dan ukuran dari sel-sel telur tersebut.
Saya pun mencoba rekomendasi seorang teman untuk mengunjungi salah satu dokter yang memiliki antrian terpanjang di Jakarta. Dokter tersebut menyarankan saya untuk mencoba program inseminasi. Sel-sel telur saya dirangsang untuk berkembang dengan menyuntikkan obat hormon setiap malam, selama dua minggu berturut-turut.
Tapi dasar bebal, sel telur tersebut tidak merespon. Sang dokter pun menyarankan untuk mengikuti program (In Virto Fertilization) atau bayi tabung. Walaupun saya tahu ada program bayi tabung yang cukup bersahabat di kantong. Namun berhubung saya masih dalam keadaan masih kecewa, saya menolak pilihan tersebut. Apalagi saya tahu, kalau selain menyiapkan uang, dan fisik, tenang atau tidaknya pikiran juga berperan besar terhadap kesuksesan program bayi tabung ini. Entah saya merasa itu akan menjadi pilihan terakhir dan saya khawatir bila obat-obatan tetap tidak mempan terhadap tubuh. Saya pun ‘meliburkan’ diri berkunjung ke dokter.
Kali ini giliran teman suami merekomendasikan tempat pengobatan alternatif. Saya sudah wanti-wanti, kalau dipijat, disetrum (kalau ada) atau berbau mistis, saya tidak akan mau. Tapi karena yang merekomendasikan pun dapat dipercaya, akhirnya kami berkunjung ke sang ahli yang disebut Pak De.
Singkat cerita, saya hanya meminum air rebusan kacang hijau, lagi-lagi jus tomat, dan obat herbal racikannya. Rutinitas ini pun hanya bertahan tiga bulan. Saya dan suami lantas memutuskan untuk istirahat dulu dari perjuangan kami selama empat tahun terakhir. Saya pun sempat memutuskan kembali bekerja, setelah dua tahun lamanya resign dari pekerjaan lama sebagai Fashion Director.
Hingga akhirnya seorang teman semasa SMA justru memberitahukan sedang ada promo untuk program bayi tabung di rumah sakit tempat saya mencoba inseminasi. Bukan perempuan namanya, kalau tidak langsung tergoda promo. Sepulang konsultasi dengan dokter dengan nomor antrian panjang, tiba-tiba saja ibu mertua menelepon. Beberapa tahun lalu, beliau tidak terlalu menanggapi keinginan kami untuk melakukan bayi tabung dengan alasan masih ada cara lain yang mungkin belum ditempuh. Tapi telepon kali ini, tanpa disangka, beliau justru menyuruh kami untuk melakukan bayi tabung, bahkan mau membantu biaya yang akan dikeluarkan. Mungkin ini penggunaan yang tepat untuk istilah mendapat durian runtuh, ya?
Akhirnya, bulan Ramadhan kemarin yang kami percayai penuh keberkahan ini menjadi awal mula perjuangan kami selanjutnya. Tunggu cerita saya selanjutnya, ya.