Sorry, we couldn't find any article matching ''
Pesan Di Balik Film Inside Out
Saat menonton film ini, saya tidak hanya menikmati film dengan alur cerita yang menarik. Namun saya juga belajar, pentingnya seorang anak belajar mengelola emosi.
Pernah, nggak, Mommies menerka-nerka perasaan si kecil? Apa, ya, yang sedang ia rasakan? Sedih, kecewa, takut, atau sedang merasa bahagia? Mungkin usia anak saya masih 5 tahun, belum banyak menghadapi masalah di lingkungan sekitarnya. Tapi coba bayangkan bagaimana situasi 5 atau 7 tahun mendatang, ketika dirinya sudah beranjak ABG? Sudah bisa dipastikan anak-anak yang masuk dalam dunia pra-remaja akan menghadapi banyak tantangan dalam hidupnya. Mulai dari nggak PD dengan penampilan, bullying hingga peer pressure. Gejolak emosi yang dirasakan pasti akan jauh berkembang. Oleh karenanya, kita sebagai orangtua tentu saja wajib menyiapkan diri.
Rupanya kondisi inilah yang melatarbelakangi pembuatan film Inside Out. Idenya muncul ketika Pete Dector, selaku sutradara dan penulis film Inside Out ini sempat kebingungan ketika melihat perubahan emosi puterinya yang berusia 11 tahun. Pengalaman ini akhirnya ia tuangkan dalam film ini. Dengan riset yang begitu panjang - hingga 5 tahun, film ini akhirnya bisa kita nikmati.
“Seperti anak saya yang semakin bertumbuh dewasa, hal paling sulit bagi saya adalah mendengar dari orang lain. Ketika kamu berumur 11 tahun, kamu tiba-tiba sadar akan penilaian orang lain dan bagaimana kamu harus menyesuaikan diri,” ujar sutradara yang pernah memenangkan Oscar lewat film Up di tahun 2009 silam.
Beberapa waktu lalu, saya menjadi salah satu media yang beruntung karena diberikan kesempatan untuk melihat film Inside Out secara perdana di Djakarta Theater. Asiknya lagi, saya pun sempat bertemu langsung dengan Pete Docter dan co-director film ini, Ronaldo del Carmen.
Saya sendiri sangat setuju dengan apa yang dikatakan Pete waktu itu, bahwa anak-anak yang masuk usia pra-remaja akan menghadapi gejolak perasaan setiap harinya.
Film Inside Out mengisahkan tentang kehidupan Riley, gadis berusia 11 tahun yang sedang mengalami kegelisahan. Setelah merasa nyaman dengan kondisi dan lingkungan kota kelahirannya, Riley harus menghadapi kegelisahan lantaran dirinya harus pindah ke San Francisco mengikuti sang ayah yang pindah kerja. Otomatis Riley harus menyesuaikan diri dengan suasana baru, baik rumah baru, sekolah baru, maupun teman-teman baru.
Situasi perubahan ini jelas tidak mudah diterima bagi anak seusianya. Alhasil, Riley pun harus merasakan beragam emosi dalam dirinya. Semua perasaan campur aduk jadi satu; bahagia (Joy - Amy Poehler), marah (Anger - Lewis Black), sedih (Sadness - Phylis Smith), takut (Fear - Bill Hader), hingga perasaan jijik (Disgust - Mindy Kaling). Kelima emosi yang dirasakan ini hidup di 'markas pusat' yang berpusat di pikiran Riley.
Semua emosi ini berusaha membantu Riley untuk membuatnya kembali bahagia. Sayangnya ketika perasaan bahagia berusaha mati-matian, perasaan sedih merasa tersisihkan dengan menganggap dirinya tidak berarti. Tapi apakah seperti itu? Bukankah wajar jika perasaan sedih yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dirasakan setiap orang, termasuk anak-anak? Tanpa disadari, pengalaman negatif atau buruk yang membuat kita sedih dan kecewa jutru membuat kita lebih baik bahkan bisa ‘melahirkan’ rasa bahagia.
Dari film ini saya belajar bahwa ternyata anak-anak pun harus belajar untuk mengidentifikasi perasaannya. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah membantu anak untuk mengenali emosi dirinya sendiri. Saya jadi ingat dengan apa yang dikatakan Mbak Nina Teguh, selaku Psikolog Anak dan Keluarga, ia mengatakan bahwa penting bagi kita untuk sering bertanya bagaimana perasaan anak. Misalnya, saat dia senang, sedih, atau ketika marah. Dengan mengetahui perasaannya sendiri dia akan belajar untuk mengelola emosi sehingga dirinya bisa menyesuaikan antara emosi yang disampaikan dengan situasi yang sedang berlangsung.
Cerita dari film ini juga membuat saya tambah yakin kalau kita perlu melatih anak untuk bisa mengidentifikasi perasaanya. Semakin sering melatih perasaan, maka anak-anak pun akan semakin mudah menghadapi berbagai situasi. Ibaratnya, keahlian dalam mengolah perasaan tidak berbeda jauh dengan keahlian yang harus dimiliki koki. Apapun bumbu dan bahan makanan yang akan digunakan, seorang koki tidak akan pernah mempermasalahkannya. Ia mampu mengolahnya menjadi sajian yang nikmat. Dengan begitu, jika kita mampu mengajarkan anak untuk bisa mengolah perasaannya, mereka pun bisa ‘berdamai’ dengan situasi apapun. Mereka akan mampu menciptakan perasaan baik dan nyaman dengan sendirinya.
Buat saya pribadi, film Inside Out ini nggak cuma bisa dipilih jadi hiburan di akhir pekan bersama keluarga, namun pesannya jauh lebih mendalam. Penasaran? Langsung tonton saja, Mommies.
Share Article
COMMENTS