Mengajarkan Anak Menerima Kekalahan

Behavior & Development

Mommies Daily・18 Aug 2015

detail-thumb

Ditulis oleh: Kurnia Midiasih

Saat mengikuti sebuah perlombaan yang pastinya akan ada menang dan kalah, saya suka lupa mengajarkan anak menerima kekalahan. Hasilnya? Ia pun suka kecewa berkepanjangan ketika kalah. Duh.

Hai mommies, siapa yang anaknya kemarin sibuk mengikuti beragam lomba saat perayaan 17 Agustus-an? Saya, hehehe. Anak saya kemarin mengikuti nyaris seluruh perlombaan yang boleh diikuti oleh anak seusianya. Dari sekian banyak lomba yang diikuti, anak saya ‘kurang beruntung’ memenangi beberapa lomba. Saya sih biasa saja, buat saya yang penting ia sudah berpartisipasi dan bersenang-senang.

Tapi, ternyata sekian jam setelah perlombaan usai, anak saya masih mengeluh kenapa ia tidak menang di dalam perlombaan memecahkan balon, balap karung dan bakiak. Mulai dari merasa diri kurang cepat berlari sampai berpikir kalau panitia lomba pilih kasih. Ternyata yang buat saya itu semua sekadar senang-senang, buat si kecil benar-benar menjadi perlombaan ‘hidup dan mati’ dan dia sediiiiiiih banget dengan kekalahannya. Drama pun dimulai.

balap-karung-anak

*Gambar dari sini

Kemudian saya berpikir, apa kabarnya saat ia tumbuh semakin besar. Dengan lebih banyak ‘pertandingan hidup’ yang akan ia hadapi. Baiklah, ini menjadi PR untuk saya, bagaimana anak-anak saya bisa menerima kekalahan denga baik dan istilahnya berjiwa besar (ceileeeee).

Saya kemudian ingat dengan obrolan saya bersama Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi.  Menurut mbak Vera, sebagai orangtua, kita harus membiasakan anak pada pernyataan “do your best” bukan “be the best”. Buatlah si kecil untuk tidak memandang penting sebuah kemenangan. Katakan, “Yang penting bukan kamu menang atau kalah, tapi kamu sudah lakukan yang terbaik.” Vera mengatakan, “Anak akan belajar ‘legowo’ jika dia memandang wajar jika kalah setelah doing their best, karena memang ada yang lebih baik dari mereka.”

Anak Saya Tidak Suka Kalah

Beberapa anak memang sulit menerima dirinya kalah. Nah, menurut Vera, anak-anak ini sebenarnya penasaran kenapa dia kalah. Karena itu, saat anak saya meributkan kekalahannya dan dia berniat Agustus tahun depan untuk mencoba lagi, ya saya sih monggo aja. Karena ini bisa menjadi kesempatan lain untuk menguji kembali kemampuannya.  Saya juga menyiapkan telinga mendengar curhatan kekalahannya. Saat sesi curhat itu, sekalian saya tanya apa yang membuatnya kalah, apa yang kurang dari usahanya, dan sebagainya. “Dengan diberi kesempatan lagi, anak akan belajar dari kesalahan dan juga perlahan belajar bahwa memang ada orang-orang yang lebih baik darinya,” jelas Vera.

Untungnya, walaupun sedikit drama, anak saya bukan tipe yang kalah kemudian mengamuk. Kalau ini terjadi, maklumi saja, namanya juga lagi kecewa. Lah, kita aja yag sudah dewasa kalau merasa kecewa juga suka ngambek nggak jelas. Daripada jadi marah, saat anak ngambek karena kalah kasih saja ia waktu untuk mengekspresikan kekecewaannya.

Anak yang sering berkompetisi tidak takut kalah?

Saya punya seorang teman yang rajin sekali mengikutkan anaknya dalam berbagai lomba. Mulai dari lomba mewarnai, melukis, model, dan seterusnya. Saya tanya mengapa dia melakukan itu? Bagiamana kalau anaknya sering kalah? Lah, wong anak saya aja yang ‘hanya’ lomba 17 Agustus saat kalah bisa sedih tak terkira. Bagaimana dengan anaknya dia yang lombanya lebih serius. Tidak kasihan anaknya kalau sering mengalami kekalahan? Dengan enteng dia menjawab, “Biar dia banyak pengalaman dan mentalnya kuat.”

Saya pikir, benar juga. Sering mengikutkan anak dalam berbagai kompetisi akan membuat dia belajar arti menang-kalah sebagai sesuatu yang wajar dalam setiap perlombaan. Namun kayaknya saya nggak akan langsung memberi anak saya pengalaman dalam kompetisi atau lomba-lomba besar, deh. Takut kalau kalah, kemudian dia sedih lagi, jangan-jangan sayanya nanti juga akan lebih sedih, hehehe.  Jadi saya memilih untuk memberinya pengalaman menang-kalah melalui permainan-permainan kecil di rumah seperti ulartangga, catur, kartu Uno, dan sebagainya.

Namun, apakah anak yang sering menang dalam kompetisi atau sering menjadi juara, entah di kelas maupun di dalam lomba, akan membuatnya jadi lemah sehingga sulit menerima saat dirinya kalah? “Bisa jadi benar jika anak tidak pernah disiapkan untuk kemungkinan terburuk. Selalu siapkan anak untuk segala kemungkinan, bukan hanya disiapkan untuk menang semata,” jawab Vera.

Vera juga menambahkan, jangan pernah mengolok si kecil saat dia kalah, apalagi saat dia kalah dari anak yang lebih kecil. Sayangnya, banyak orangtua sering lupa itu. Meski maksudnya hanya bercanda, tapi itu bisa melukai anak.

Orangtua santai, anak pun santai

Menurut Vera, intinya, jika orangtua tidak memandang penting menang atau kalah, maka anak akan lebih santai menghadapinya. Orangtua perlu mencontohkan sikap bagaimana menghadapi menang atau kalah. Hindari juga istilah menang atau kalah jika antara ayah dan ibu sedang berdebat tentang sesuatu. “Buatlah anak bangga telah melakukan usaha maksimal atau terbaik dalam hal apapun, terlepas menang atau kalah. Buatlah mereka bangga karena sudah berusaha maksimal di atas kemampuannya sendiri, terlepas menang atau kalah,” tutup Vera.

Semoga saja ke depannya anak saya bisa lebih legowo menerima kekalahan ya mommies. Doakan saya, hehehe.