"Kok anakmu minumnya susu cair, sih, selepas ASI? Memangnya susu cair itu bergizi?," "Boleh, ya, anak langsung minum susu UHT setelah lepas dari ASI?," "Ya ampun, jangan pelit-pelitlah sama anak, kok dikasih susu cair kotakan begitu?"
Pertanyaan-pertanyaan ini begitu familiar di telinga saya sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya setelah anak saya menyusu selama 1 tahun dan mulai minum susu pendamping. Daripada gemas sendiri karena kerap dicecar pertanyaan-pertanyaan itu, saya jadi mencari tahu lebih banyak tentang susu cair UHT. Setidaknya supaya bisa sedikit lebih 'pintar' dari mereka yang ingin tahu, hehehe.
First of all, kalau ada yang bertanya pada usia berapa anak bisa mengonsumsi susu UHT, seperti dibahas di artikel ini, jawabannya adalah susu UHT bisa dikonsumsi anak usia 1 tahun ke atas, ketika ginjal sudah dapat membuang sisa metabolisme yang berupa kelebihan protein dan natrium di dalam tubuh. Karena susu sapi whole milk, atau susu sapi yang tidak dimodifikasi komposisinya menyerupai ASI – di mana kadar natrium dan proteinnya lebih tinggi dibanding ASI dan sufor, dalam pengonsumsiannya diperlukan fungsi ginjal yang telah sempurna seperti pada orang dewasa.
*Gambar dari sini
Nah, kenapa saya memilih memberikan susu UHT bukannya susu bubuk?Seperti kita ketahui, ada dua jenis susu olahan yang umum dikonsumsi oleh masyarakat, yaitu susu bubuk dan susu cair. Perbedaan dari kedua jenis susu olahan ini terletak pada proses pengolahannya.
Susu bubuk berasal dari susu segar yang kemudian dikeringkan, umumnya menggunakan spray dryer atau freeze dryer. Kerusakan protein sebesar 30% dapat terjadi pada pengolahan susu segar menjadi susu bubuk. Kerusakan vitamin dan mineral juga lebih banyak terjadi pada pengolahan susu bubuk.
Sementara untuk produk susu cair, ada 3 jenis proses pengolahan antara lain dengan teknologi pasteurisasi, Ultra High Temperature (UHT) dan sterilisasi konvensional. Secara khusus mengenai susu UHT (Ultra High Temperature), susu ini merupakan susu yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi (135-140 °C) dalam waktu yang singkat, hanya 2-4 detik. Pemanasan dengan suhu tinggi ini bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme dan spora. (Sumber). Susu UHT kemudian dikemas dengan menggunakan teknologi aseptik sehingga dapat disimpan dalam suhu ruang selama berbulan-bulan, selama kemasan tidak rusak dan belum dibuka. Teknologi aseptik dalam proses dan pengemasan dapat melindungi nutrisi alami yang terkandung dalam susu, tanpa perlu menggunakan bahan pengawet atau pendinginan.
Di negara beriklim tropis seperti Indonesia yang memiliki suhu dan kelembapan udara yang tinggi, mikroba cepat sekali berkembang biak pada makanan dan minuman. Karena itulah proses pengolahan makanan yang tepat sangat diperlukan untuk menjamin keamanan pangan. Pada susu, mikroba yang berkembang biak di dalamnya akan membuat susu sangat mudah basi atau rusak. Untuk menjaga kondisi susu tetap baik, susu perlu diolah dan salah satunya dengan proses pemanasan. Tujuan utama proses pemanasan ini seperti disebutkan tadi, adalah membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dan/atau penyebab kerusakan bahan pangan, sehingga produk menjadi lebih awet dan aman.
Kesimpulannya, susu cair hasil pengolahan memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik dibandingkan susu bubuk yang kehilangan nutrisi selama pengolahan. Apalagi susu UHT juga mengandung nutrisi penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Jadi, Mommies tak perlu ragu lagi, dong, kalau ada yang bilang susu cair UHT itu kurang bergizi?
Bagi saya pribadi, susu cair UHT bukan hanya praktis, tapi juga ekonomis. Kandungan gizi susu UHT sesuai dengan kebutuhan anak balita karena terdiri dari kalsium, protein, vitamin A, seng, biotin, kolin dan vitamin/mineral lainnya yang dibutuhkan anak balita. Terlebih setelah tahu kalau kandungan gizi susu UHT lebih terjaga, saya semakin rajin merekomendasikannya; bukan cuma pada teman yang punya anak balita, tapi juga pada mereka yang mulai menyadari pentingnya gaya hidup sehat.
Namun sayangnya, konsumsi susu per kapita Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Konsumsi susu per kapita di Filipina adalah 22.1 liter, Thailand 33.7 liter, dan Malaysia 50.9 liter - sementara Indonesia hanya sebanyak 12.83 liter. Padahal, hampir seluruh penduduk di negara-negara maju sudah beralih ke susu cair siap minum.
Maka tak heran jika kasus malnutrisi di Indonesia pun masih tinggi. Sebanyak 9,5 juta anak Indonesia di bawah 5 tahun kekurangan gizi/malnutrisi. Malnutrisi menyebabkan kerugian bangsa lebih dari Rp 5 Milyar setiap tahun karena rendahnya tingkat produktivitas akibat tingkat pendidikan yang di bawah rata-rata dan rendahnya kemampuan fisik. Padahal, hal ini dapat dihindari jika lebih banyak masyarakat yang mengetahui kandungan gizi dalam susu UHT, yang dijual dengan harga yang ekonomis pula.
Tergerak dari fakta-fakta di atas, Tetra Pak mengadakan acara kunjungan ke pabrik Ultra Jaya bersama Mommies Daily. Untuk mengetahui bagaimana susu cair UHT diolah dan dikemas sehingga dapat meyakini masyarakat luas bahwa susu UHT mempunyai kandungan gizi tinggi dan juga disajikan dalam kemasan yang higienis.
Bila masih ada yang beranggapan bahwa susu dalam kemasan "kotakan" kurang terjaga kualitasnya, maka lewat kunjungan inilah akan dijelaskan secara detil mengenai bagaimana kemasan Tetra Pak dibuat sehingga mampu melindungi produk di dalamnya dari kemungkinan terkontaminasi kuman dari luar.
Juga meyakini bahwa makanan dan minuman dengan kemasan Tetra Pak tidak mengandung pengawet dan aman untuk dikonsumsi. Jadi, segera nantikan laporan kunjungan kami ke pabrik Ultra Jaya bersama Tetra Pak, ya, Mommies!