banner-detik
SELF

“Nanti, Deh, Kalau Anak-anak Sudah Besar”

author

Yulia Indriati05 Aug 2015

“Nanti, Deh, Kalau Anak-anak Sudah Besar”

Kalimat di atas seringkali kita ucapkan biasanya untuk menunda sesuatu hal yang kita percaya bisa lebih puas kita lakukan saat anak sudah besar. Benarkah?

“Nanti, deh, kalau anak-anak udah besar baru bisa berkegiatan, bisa lebih bebaslah.” Rasanya saya masih ingat pernah ngomong begini saat anak pertama saya masih usia sekitar 2 tahunan. Sekarang Hanami sudah 7 tahun, baru naik ke kelas 2 SD.  Saatnya saya reality check, benarkah asumsi saya dulu? Hihihi.

Ada benarnya juga, terutama saat ia sudah masuk sekolah dengan jam sekolah yang sudah lebih lama, maka waktu “bebas” juga tambah panjang. Saat dia sekolah, saya bisa menyelesaikan lebih banyak pekerjaan, beresin urusan rumah tangga, olahraga dan banyak hal lain yang sebelumnya harus saya lakukan dengan terburu-buru karena khawatir ia ingin menyusu atau mencari saya. Nah, setelah besar, kalau ini yang dimaksud dengan “lebih bebas,” maka ada benarnya juga.

Tapi dari sisi kebutuhan emosional sepertinya tidak ada yang berubah, ya, dan bisa jadi bahkan lebih besar kebutuhannya dari waktu kecil dulu. Hanya saja pada saat dia masih kecil dulu kemampuan verbal atau bicaranya tentunya belum selengkap dan sejelas sekarang, meski kebutuhannya sama, tapi saya menangkapnya berbeda.

dating-with-kids

*Gambar dari sini

Sekarang saat ia besar dan bisa ngobrol seperti orang dewasa, dia suka sekali mengobrol. Sepertinya kebutuhan untuk bercerita dan didengarkan sangat tinggi. Nggak ada yang salah dengan itu, namun artinya kalau tadinya saat dia kecil, dia butuh saya secara fisik - menyusu, menggendong, digandeng dll - sekarang dia tetap butuh saya ada di dekatnya, untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Soal kebutuhan emosional ini saya perhatikan di Hanami mudah sekali mendeteksinya kalau tidak terpenuhi. Kalau saya lagi sibuk dengan pekerjaan, Hanami juga berubah sikapnya. Dia jadi lebih mudah kesal dan gampang kecewa hanya karena hal kecil. Tadinya saya pikir, dia lagi capek saja. Tapi kalau saya lihat lagi, ternyata karena saya yang lagi capek dan rada “cuek,” sering menjawab sekilas dan meminta dia terus menerus menunggu karena saya sedang sibuk.

Kalau Hanami sedang berada di situasi ini, saya perlu merapatkan barisan. Kebetulan pekerjaan saya memungkinkan untuk berada di kantor secara fleksibel, selama pekerjaan selesai sesuai target. Fleksibilitas ini saya manfaatkan untuk selain bekerja, juga mengantar dan menjemput ke sekolah setiap hari. Saya menggunakan waktu selama di perjalanan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan saling berinteraksi. Kami biasanya ngobrol macam-macam: mengomentari hal-hal yang kami lihat di sepanjang jalan, nyanyi bareng lagu favorit, kadang berdebat tentang suatu hal yang tidak penting—tapi menjadi penting karena kami mendebatkannya. Hahaha.

Karena Hanami punya adik yang masih berusia 2 tahun 8 bulan, tentunya waktu berdua di perjalanan menuju dan pulang sekolah ini juga menjadi waktu nge-date kami berdua. Karena saat kami bertiga, saya harus membagi perhatian untuk keduanya, walau tak kalah seru, tapi beda sekali kalau berdua saja.

Banyak yang berkomentar, “Wah, enak banget, ya, bisa dapet dua-duanya yaitu mengurus anak dan juga bekerja.” Benar sekali, sekaligus menantang sekali. Menantang karena harus mengatur waktu dengan sangat saksama, selain itu harus berpindah-pindah konsentrasi dengan cepat. Kadang saya berpikir, kayaknya enakan pilih salah satu aja ya, full bekerja atau full mengurus anak. Tapi itu tentunya perdebatan yang nggak pernah selesai. Ujungnya kembali ke persoalan kemampuan mengatur waktu dan menjaga ritme komunikasi dengan anak. Pembahasan soal “stay at home mom” atau “working mom" pernah dibahas di artikel  24hourparenting.com ini: http://24hourparenting.com/2015/03/poster-manajemen-waktu/

Jadi, kesimpulannya sementara ini (kali aja nanti anaknya tambah besar, kesimpulannya berubah lagi :D) adalah kebutuhan waktu anak untuk bersama kita itu tidak pernah berkurang, tapi selalu berubah dalam bentuk lain.

Lho, memangnya saya berharap menjadi “bebas” setelah anak lebih besar? Hahaha, nggak, kok. Ibu saya sudah pernah wanti-wanti waktu saya masih hamil anak pertama: Kita tidak akan pernah selesai menjadi orangtua.

Share Article

author

Yulia Indriati

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan