Berbeda dari mompreneur kebanyakan, tujuan utama Anastasia M. Cecilia mendirikan sebuah sekolah bukanlah karena dirinya melihat potensi bisnis yang bisa dikembangkan. Namun karena dia ingin memberikan pendidikan dengan konsep yang lebih fun untuk anak usia dini.
"Saya ini suka sekali dengan anak-anak. Buat saya children itu challenge buat diri saya sendiri. Semakin anak tersebut ‘bermasalah’, samakin besar tantangan untuk saya dan semakin indah hidup saya," ungkap perempuan yang akrab dipanggil Tasia.
Apa yang dikatakan perempuan kelahiran Jakarta, 11 September 1981 ini memang benar adanya. Hal ini ia buktikan sendiri dengan menlanjutkan pendidikan di University of Arkansas, Child Development Major. Setelah lulus, ia pun memutuskan untuk mendirikan sebuah Taman Kanak-Kanak, Rumah Kepik.
Bagi Mommies yang berdomisili di wilayah Bekasi mungkin sudah familiar dengan sekolah yang satu ini. Di usia yang relatif muda, dirinya berhasil mewujudkan salah satu mimpinya dengan mendirikan Sekolah Rumah Kepik. Tempat anak-anak usia dini mendapatkan pendidikan untuk mengembangkan diri dan potensi sesuai dengan 'warnanya' masing-masing.
Mau tahu cerita di balik berdirinya Rumah Kepik? Mengapa ia begitu tergerak untuk mendirikan sebuah sekolah dengan konsep yang sedikit berbeda dengan sekolah lainnya? Berikut kutipan obrolan saya dengan Ibu dari Alvaro M. Gabriel (3 tahun) .
Bisa tolong cerita bagaimana awal berdirinya sekolah Rumah Kepik ini?
Rumah Kepik berdiri tahun 2008. Awalnya, sih, tanah ini punya keluarga. Ketika saya pulang dari Amerika Serikat dengan latar belakang pendidikan anak usia dini, dengan idealisme saya yang cukup besar, saya lalu berpikir apa yang bisa saya lakukan dan bermanfaat di Indonesia ini.
Jadi, setelah lulus kuliah memutuskan untuk tidak bekerja lebih dulu?
Saya sempat bekerja di beberapa sekolah yang sudah cukup punya nama di Jakarta. Saya mau lihat, bagaimana pendidikan anak usia dini di Indonesia? Saya kan sudah cukup lama nggak pulang, lagi pula masing-masing negara kan punya kiblat pendidikan berbeda. Jadi supaya nggak kaget, saya ingin belajar dulu.
Tapi lama kelamaan, saya pikir kok belum ada yang pas, ya? Ibaratnya seperti memasak, ada saja bumbu yang kurang. Jadi saya pikir, kenapa saya nggak buka sendiri? Tidak ada partner dalam menjalankan, jadi benar-benar modal sendiri saja. Karena panci yang mau dipakai ada, bahan-bahannya sudah ada, jadi tinggal bagaimana saya mengolahnya dan saya tambahkan dengan bumbu yang sudah saya ketahui. Terciptalah sekolah ini.
Bicara tentang kiblat pendidikan, menurut pandangan Anda, apa perbedaan yang begitu signifikan antara pendidikan di sini dengan luar negeri?
Awalnya saya memang melihat kalau di sini lebih banyak yang menerapkan one way communication dari gurunya, yang menjadi center adalah gurunya. Selain itu saya juga melihat, banyak sekolah yang bikinnya itu ‘maksa’. Ada rumah dibikin sekolah, jadi bukan untuk child center. Bukan anak yang menjadi center kita dalam mengembangkan bisnis, tapi orientsasinya lebih ke bisnis saja. Karena hanya keinginan pemiliknya saja membuat sekolah, tapi sebenarnya sarananya kurang memadai.
Selain itu dulu masih banyak yang menjalankan sistem satu arah, guru yang mengajarkan, murid hanya mengikuti saja. Tapi makin kesini semakin bagus, karena didukung juga dengan program dari pemerintah. Guru-guru juga banyak mengikuti penataran.
Bagaimana dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Rumah Kepik sendiri?
Rumah Kepik ini slogannya Bermain, Belajar dan Berteman. Karena dari segi psikologisnya kalau anak-anak usia dini mereka sebenarnya belum paham untuk bisa berbagi, namun memang sudah senang bermain. Jadi marilah kita bermain bersama anak, dari bermain itu otomatis kita bisa belajar bagaimana cara berteman, belajar untuk berbagi. Bedanya, mungkin di sini lebih banyak diskusinya, banyak yang mengklaim kalau di Rumah Kepik ini active learning.
Bagaimana dengan Anda sendiri? Mendirikan Rumah Kepik hanya semata-mata kerena idealisme atau lebih ke arah bisnis?
Hahaha... apa ya? Kalau dibilang untuk bisnis, ya nggak juga, sih, karena saya ingin membuat sekolah saja. Iya, aneh, ya? Tapi terus terang saja, kalau saya ngobrol sama orang bisnis, saya sering diketawain, nih. Soalnya, memang kalau dinilai dari segi bisnisnya justru bisa dibilang nol. Ketika di tanya BEP-nya kapan? Saya jawabnya, ya kapan-kapan sajalah.
Soalnya selama ini memang saya berpikirnya, selama pendapatan itu bisa membayar uang operasional dan saya bisa memberikan gaji yang sesuai dan layak, buat saya itu sudah cukup. Itu saja, nggak muluk-muluk, kok. Tapi memang harusnya sebagai pebisnis hitungan BEP harus balik kapan sudah ada targetnya, begitu tahu saya malah bilang, “Oooh.. begitu ya... saya jadi mulai panik dan diskusi dengan orang finance.” Tapi memang selalu ada berkat saja dari Tuhan. Kalau banyak ibu-ibu atau perempuan lain yang bilang, “Wah, demi tas ini, saya rela nggak makan. Kalau, saya rela nggak makan demi berjalannya Rumah Kepik.”
Dan pandangan tersebut saat ini masih berlaku atau sudah berubah?
Iya, sebenarnya masih sama saja, dan saya happy. Kalaupun memang ada untung, akhirnya akan dipakai untuk kami-kami juga. Misalnya dalam bentuk subsidi silang atau bentuk yang lain. Kalaupun ada murid yang memang tidak mampu, dalam artian benar benar tidak mampu, ya, kami berikan free. Mungkin dukanya itu adalah bagiamana saya harus terus belajar supaya sekolah ini tetap running dan nggak ngap-ngapan. Tapi untungnya setelah melewati 3 tahun pertama, sudah mulai bisa ‘bernapas’.
Adakah yang berubah setelah Tasia memiliki anak?
Dan ketika sudah punya anak sendiri, tantangannya makin luar biasa, dong, ya?
Waaah.... iya pasti itu. Kalau dulu anak orang bisa kita pulangin, sekarang nggak bisa. Kerjanya 24 jam, Pak satpam juga kalah, ya, hahaha.
Dengan latar belakang pendidikan anak, ditambah punya sekolah, pernah terbersit rasa takut nggak kalau gagal dalam mendidik anak sendiri?
Banyak yang bilang ke saya, nggak kebayang gimana kalau saya sudah punya anak nanti, saya pun pernah membatin, “ Ya Tuhan, bagaimana ya kalau nanti punya anak sendiri.” Kalau sekarang saya memang sepertinya harus membuktikan kalau produk saya harus berhasil juga.
Ada hari-hari yang menjadi beban, ada hari-hari jadi pacuan buat saya sendiri. Masa di sekolah saya bisa mengajarkan anak-anak untuk bisa ini dan itu, sementara sama anak sendiri tidak bisa? Ya, seperti itu. Dan Tuhan itu juga ternyata maha baik, saya diberikan anak yang punya sedikit special needs. Dan Tuhan tahu mungkin ini memang ‘warna’ buat saya. Buat saya, sih, saya ini seperti sudah punya dua anak. Anak pertama Rumah Kepik, dan anak kedua, ya, Alvaro.
Buat Anda sendiri, 5 tahun ke depan, akan seperti apa Rumah Kepik?
Untuk sekarang ini, saya sedang memikirkan bagaimana nantinya Rumah Kepik ini bisa menjadi prototype sekolah yang ada di sekitar sini. Atau paling tidak menjadi training center-nya para guru-guru. Itu yang masih ada dalam ide saya. Karena memang kepotong menikah, hamil, dan punya anak, ide tersebut memang masih ‘dikerangkeng’ dan belum saya lepaskan. Tapi memang sudah brain strom. Ibaratnya Rumah Kepik seperti ‘laboratorium’ para guru. Saya ingin menciptakan kualitas guru yang sesungguhnya. Kalau guru sudah oke, tentu murid didiknya akan bisa jauh lebih oke, kan?
Amiin... mudah-mudahan bisa terwujud, ya. Bagaimana denga time management?
Enaknya punya sekolah untuk anak-anak ya, saya masih punya banyak waktu untuk keluarga. Ini semuanya tidak lepas dari time management. Ini juga yang saya tanamkan pada guru-guru di sini. Ketika pulang, ya urusannya langsung rumah. Setiap kerja, saya selalu mengajak anak. Karana saya tidak punya pengasuh. Di mana induk semangnya ada, di situ anaknya juga selalu ada.
Mungkin ini juga nggak terlepas dari idealisme saya. Ketika punya anak saya sudah memutuskan untuk mengurusnya sendiri. Anak jadi selalu saya bawa ke mana-mana. Sebenarnya ini hanya balik ke pilihan saja, sih. Kalau memang dipikir-pikir lebih enak ada yang bantu urus anak, tapi inikan pilihan saya. Begitu kita sudah memutuskan apa pilihan kita, ya jalankan dengan segala konsekuensinya. Ketika suami sudah pulang kerja, saya pun sudah selalu ada di rumah. Hal ini juga yang saya tekankan pada guru-guru di sini, kerja di sini mereka juga tetap bisa menjalankan ibadah sebagai ibu dan istri.
Bisa dibilang Anda ini kan menjalankan beberapa peran, ya. Salah satunya sebagai guru. Nah, Anda itu tipe guru seperti apa?
Mungkin saya seperti pemain sirkus, ya, hahaha. Entertainer banget, deh. Jadi murid-murid mau apa? Mau main bola, bisa. Mau main badut-badutan juga bisa. Anak itu kan senangnya dengan sesuatu yang ‘meriah’ dan menyenangkan, jadi saya harus mampu seperti pemain sirkus.
Kalau sebagai sosok ibu dan isteri?
Mungkin sama. Karena selama ini saya memandang anak didik saya bukan anak-anak yang dititipkan ke saya, tapi seperti anak saya juga. Jadi untuk menjadi seorang ibu, saya cukup menghibur dan tentunya disiplin. Tanpa mengurangi level sisi ‘fun’ ke anak. Kalau suami saya bilang saya ini tipe perempuan yang senang diajak diskusi. Sudah lama menjadi guru, takut juga, sih, ketika menjadi istri jadi banyak menggurui. Jadi, saya memang perlu banyak belajar lagi untuk bisa diskusi dan jadi support system buat suami. Lucunya, suami saya bilang saya ini seperti Indovision, banyak channel-nya, mau drama ada, mau komedi ada, mau channel memasak ataupun pendidikan juga ada, hahaha.
Satu pertanyaan terakhir, menurut pandangan Anda, sosok ibu yang ideal itu seperti apa?
Pertanyaan ini cukup bikin deg-degan, lho, karena pada dasarnya semua Ibu pasti ingin jadi ibu ideal untuk anak-anaknya. Soalnya ideal saya dengan Mbak Adis itu pasti berbeda, kan... tapi, menjadi ibu itukan pilihan. Tentunya kita harus bisa memberikan rasa aman, nyaman, dan cinta yang besar untuk anak. Kita bisa mentrasfer ilmu yang kita punya pada si anak. Jadi orangtua itu kan nggak ada buku manual dan sekolahnya. Tapi ibu yang ideal menurut saya adalah ibu yang bisa dekat dengan anak tanpa perlu melupakan norma. Biar bagaimanapun, 'jamu' setiap keluarga itu kan beda-beda.
Saya ingin menjadi orangtua yang bisa diandalkan oleh anak dan membantunya untuk tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jwab, tangguh, berempati terhadap sesama dan tumbuh menjadi anak yang penuh cinta.
Wah, sepertinya apa yang menjadi harapan Mbak Tasia juga menjadi mimpi saya dan Mommies lainnya, ya. Yang jelas, saya beruntung mempunyai kesempatan untuk berbicang dengan istri dari Astarra M. Gabriel ini. Pembawaannya yang hangat, membuat waktu pertemuan selama 3 jam seperti hanya 30 menit. Banyak sekali insight menarik yang bisa saya aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga, apa yang saya rasakan juga bisa Mommies rasakan, ya.