Pagi ini, saat sarapan, sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul menjadi topik pembicaraan saya dan suami: Apakah anak-anak akan kami izinkan untuk kuliah jauh dari kami? Dan, saat itu pula, banyak pertanyaan muncul di benak saya: Apakah mereka sudah siap bertahan hidup di dunia orang dewasa?
Saya meragukan diri saya apakah sudah cukup mengajarkan semua basic life skills yang cukup ketika anak-anak beranjak keluar dari rumah. Apakah kami sudah menyiapkan anak-anak untuk mandiri? Apakah mereka sudah mengetahui cara menggunakan pel, sapu dan kompor? Apakah mereka tahu cara menggunakan ATM dan belanja di supermarket? Apakah mereka sudah tahu jika ada bahaya harus melapor polisi? Apakah anak-anak mengerti tata cara bersosialisasi dengan orang yang lebih tua, atasan dan teman? Dan seterusnya…
Dan yang utama, apakah mereka bisa bertahan hidup secara emosional?
*Gambar dari sini
Anda harus tahu bahwa anak saya yang sulung berumur 7 tahun dan si bungsu berumur 4 tahun. Mungkin Anda akan menganggap saya terlalu panik. Ya, saya panik!
Saya merasa anak-anak belum siap menghadapi dunia luar, dan saya belum cukup mengajarkan mereka keterampilan hidup yang cukup. Mungkin saya terlalu fokus pada pendidikan seperti memilih sekolah yang baik, atau fokus pada kesehatan mereka. Saya berharap anak-anak ini dapat kuliah di univesitas ivy-league, mempunyai badan yang sehat menghadapi perkembangan virus-virus penyakit di masa depan. Atau mungkin saya yang terlalu sibuk di kantor?
Anak saya yang sulung, meski berprestasi secara akademis, ikut kejuaraan drumband dan sudah pernah beberapa kali terpilih ikut pentas balet, tapi ketika terakhir kali saya mengambil rapor di sekolah, saya diberikan masukan oleh wali kelasnya:
“Maaf Bu, anak ibu kurang terampil menggunakan gunting. Mungkin perlu diajarin di rumah untuk menggunakan gunting”
Di usia 6 tahun anak saya tidak bisa menggunakan gunting secara baik. Apakah ini akibat saya melarangnya menggunakan gunting di rumah atau karena ada ART yang siap sedia membantu dia ketika berada di rumah?
Sejak saat itu, saya mulai membandingkan (untuk tujuan positif) antara anak saya dan saya ketika seumuran dirinya. Di usia yang sama saya “dipaksa” hidup mandiri ketika ikut ibu saya kuliah di luar negeri. Berangkat sendiri ke sekolah, belanja kebutuhan pokok, mengupas bawang, memotong daging ayam dan memasaknya sebagai makan siang saya saat libur atau bertanggung jawab mengunci apartemen (ibu saya berangkat kuliah lebih pagi). Semua perlahan-lahan diajari oleh ibu saya.
Ini mungkin yang terlupakan dalam program pendidikan anak kami, mengajarkan cara bertahan hidup, atau mungkin saya terlalu memanjakan mereka dengan kemudahan fasilitas dan ART yang siap sedia? Secara tidak sadar sifat protektif saya menuntun mereka untuk semakin tidak tahu apa-apa. Ditambah kemajuan teknologi yang di satu sisi mempermudah kehidupan, namun membuat kita bergantung kepadanya.
Karena itulah, tahun ini saya merancang beberapa program ke depan mempersiapkan anak-anak yang menurut saya penting diketahui saat mereka dewasa. Apa sajakah?
*Gambar dari sini
1. Mengajarkan keterampilan rumah tangga
Bukan karena anak-anak saya perempuan, tapi setiap anak-anak (baik itu perempuan atau laki-laki) harus menguasai keterampilan ini, misalnya berbelanja di supermarket atau pasar, di mana kita bisa mengajarkan anak-anak mengenal komposisi bahan makanan kemasan (di sini saya belajar mengenal produk yang halal maupun tidak halal atau yang membuat saya alergi), cara menghitung kebutuhan mingguan dan mengenal berbagai jenis sayuran.
Kita juga dapat membuat tugas mingguan kepada anak-anak sesuai dengan usia, seperti tugas menyapu dan mengepel rumah, atau tugas membantu mencuci pakaian, membereskan meja makan, mencuci piring. Selain mengajarkan keterampilan tersebut, ada pelajaran bertanggungjawab atas tugasnya di balik itu. Kita pun bisa mengajak memasak bersama-sama sehingga anak-anak tidak merasa asing untuk menggunakan kompor dan peralatan dapur lainnya.
Perlahan-lahan anak-anak bisa kita mintakan untuk membayar listrik dan air secara bulanan. Hal ini juga dapat mengajarkan anak bagaimana berinteraksi dengan orang lain, bagaimana cara mengantri serta mengenali lingkungan kantor pos.
2. Mengajarkan keterampilan pertukangan dan merawat kendaraan
Ini juga bukan kegiatan yang hanya dapat dimonopoli oleh laki-laki, tapi tetap semua orang bisa menguasai keterampilan dasar pertukangan. Anak-anak bisa diajarkan cara memegang palu dengan benar atau mengenal kegunaan obeng dan kunci Inggris. Zaman sekarang belanja di toko furnitur ternama harus dipasang sendiri lho.
Anak-anak juga dapat diajarkan untk merawat kendaraan, seperti merawat sepeda mereka, membantu orangtua mencuci mobil atau motor atau mengganti ban. Dari sini orangtua bisa menilai kelak anak-anak bisa diberi tanggungj jawab mengendarai kendaraan sendiri.
3. Mengajarkan pengelolaan uang
Kita dapat mengenalkan dengan kegiatan perbankan sejak dini, apalagi perbankan di Indonesia sudah banyak menyediakan produk tabungan untuk usia anak-anak. Ajaklah anak-anak ke bank, tempat mereka akan belajar mengenal lingkungan bank, mengenal ATM, EDC, beda kartu Kredit, ATM dan kartu Debet serta Uang Elektronik.
Bagi saya pribadi, memberikan uang jajan di usia sekolah dasar bukanlah hal yang tabu, karena di sini juga saya bisa mengajarkan pengelolaan uang kepada anak. Anak kami minta untuk memberikan laporan penggunaan uang jajan sehingga saya juga dapat memantau apa saja yang dia beli. Suami saya ketika kecil dibiasakan untuk memberikan catatan penggunaan uang jajan dan kebiasaan tersebut masih dia pertahankan. Anak-anak juga bisa diberi tugas-tugas yang ada upah, hal tersebut dapat mengajarkan bahwa pada dasarnya orang harus bekerja untuk mendapatkan uang.
4. Mengajarkan berinteraksi dengan orang lain
Bagi saya pribadi, belajar berinteraksi dengan orang lain adalah hal yang penting untuk diajarkan. Tidak hanya sebatas etika sopan santun, tapi tata krama berbicara, penggunaan bahasa yang baik dan benar, bagaimana cara mengungkapkan suatu pendapat sampai mengolah emosi ketika menjalin kegiatan dengan orang lain. Sedari dini bisa kita arahkan anak-anak bagaimana berbahasa yang santun kepada kita sebagai orang tua, lalu etika berbusana sesuai kegiatan dan acara. Lalu kita bisa mengajarkan bagaimana memberikan pendapat kepada orangtua.
Berinteraksi dengan orang lain tidak hanya sebatas yang di atas, juga bagaimana kita menjalin kerjasama dengan orang lain, dalam hal ini etika bekerja, bagaimana cara kita bekerja dan berbisnis. Mengajak anak-anak ke kantor atau ke toko apabila kita berbisnis secara mandiri adalah pelajaran awal menghadapi dunia kerja kelak.
5. Mengajarkan tentang tanggung jawab atas keamanan dan keselamatan serta pentingnya membaca instruksi
Anak-anak dapat diberikan tanggung jawab seperti mengecek gembok pagar sebelum tidur, atau memastikan bahwa sebelum keluar rumah kompor dan peralatan elektronik sudah dimatikan secara benar. Hal-hal kecil seperti menelpon polisi atau paramedis jika ada kecelakaan, atau tata cara menggunakan peralatan tajam seperti pisau dan gunting secara benar, tentunya akan sangat berguna. Selain itu kenapa saya masukkan membaca instruksi secara benar adalah melatih anak-anak agar tidak sembarang menggunakan peralatan yang mereka tidak ketahui tata caranya atau memakan makanan yang sudah kadarluarsa. Kita pun juga perlu membekali anak-anak tentang bagaimana menjaga keselamatan diri dari orang jahat atau orang yang tidak dikenal. Toh, kita nantinya tidak akan berada 24 jam bersama anak-anak terus kan?
Di atas semua itu, saya berusaha perlahan-lahan mengurangi peran kedua ART kami dalam kehidupan anak-anak. Biarkan mereka mandiri, belajar untuk menjaga diri mereka sendiri. Toh mereka belum tentu di dunia dewasa akan langsung menjadi bos besar kan?
Apakah saya akan merasa yakin bisa melepas anak-anak kelak? Di dalam hati kecil saya, inginnya ya anak-anak tetap berada dalam dekapan saya, dunia terlalu kejam bagi mereka.
Mungkin, saya pun harus siap melepaskan mereka.