banner-detik
MD POWERFUL PEOPLE

Motherhood Monday : Ria Sarwono, "Cotton Ink Bukan Jago Kandang"

author

adiesty04 May 2015

Motherhood Monday : Ria Sarwono, "Cotton Ink Bukan Jago Kandang"

“Saya berharap, 'perjalanan' saya tidak  hanya menginspirasi untuk saat ini saja tapi juga dapat memberi inspirasi  untuk generasi berikutnya. The most important is we can inspired our nation. Itulah mimpi terbesar saya. Kalau Swedia punya H&M, Jepang punya Uniqlo, Indonesia itu punya Cotton Ink,”  ujar Ria Sarwono, salah satu pendiri Cotton Ink.

Banyak cara untuk membuktikan kalau kita mencintai tanah air. Salah satunya, tenScreen Optionstu dengan memilih dan menggunakan produk dalam negeri. Sering kali saya juga mendengar kalau pemerintah menyerukan kampanye untuk selalu mencintai produk lokal. Tapi sayangnya, masih banyak masyarakat yang menganggap remeh produk dalam negeri. Miris, ya?

Saya sendiri termasuk pecinta produk lokal. Salah satunya adalah Cotton Ink - brand ready-to-wear Indonesia yang tidak bisa dianggap sebelah mata karena menawarkan beragam produk fashion berkualitas. Desain busananya yang sangat simpel namun versatille, menjadi salah satu alasan mengapa banyak orang jatuh cinta pada brand ini.

riasarwono

Setelah 7 tahun memasarkan produknya secara online, saat ini Cotton Ink telah memiliki toko offline di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Beruntung, saat pembukaan toko ini saya sempat hadir dan berbincang dengan Ria Sarwono, salah satu sosok di balik lahirnya brand Cotton Ink. Di obrolan santai ini, ia  banyak bercerita mengenai mimpinya untuk Cotton Ink. Mimpinya sebagai Brand & Marketing Director serta mimpi sahabatnya, Carline yang bertugas sebagai Creative Director ingin menjadikan Cotton Ink sebagai salah satu brand ready-to-wear terdepan di Indonesia.

Cerita, dong, ide awal kenapa akhirnya Cotton Ink mau membuka store sendiri?

Sebenarnya kami selalu mendengarkan masukan dari customer kami. Dari Instagram banyak permintaan agar kami membuka toko offline. Dulu, kami sempat buka di eX, tapi itu bukan official store dan saat itu bisa dibilang kami masih trial and error. Karena kalau dibandingkan dengan penjualan online, toko offline memang kurang efisien, baik dari segi biaya, waktu, SDM dan segala macamnya. Kami memang ada whole seller, tapi kami mulai merasa sepertinya brand kami kurang bisa 'tampil' dengan baik kalau hanya mengandalkan penjualan semacam  ini. Dengan memiliki toko offline, pembeli tentu lebih bisa merasakan apa yang ingin kami berikan ke mereka. Lebih personallah, mungkin. So, we were here, dengan Cotton Ink store dan di atas juga ada creative space, di samping buat customer juga untuk  tim kami, kami ingin memberikan tempat untuk bekerja yang lebih kreatif. Creative bussiness needs creative people and needs creative space.

Setelah membuka store, penjualan online juga tetap dikembangkan, dong?

Iya pasti tetap jalan, karena pada dasarnya kami ini memang online store. Jadi segala macam offline activities, offline events, semua dilakukan untuk mendukung aktivitas online. Kami nggak bisalah menutup mata  karena our generation, our customer sekarang ini memang toko mereka ya ada di handphone. Jadi, kami menawarkan content yang bagus untuk dipasarkan dan bagaimana caranya ada space yang bisa menunjang itu semua. Memang kalau dari penjualan, antara online dan offline pasti jauh beda. Tapi content yang kami punya tentu jadi jauh lebih berkualitas karena sekarang sudah ada store-nya. Jadi the way kam nge-treat customer dengan cara seperti ini. Kalau ada orang yang datang dari luar daerah, kan bisa datang, dia bisa pegang, bisa nyobain bajunya. Jadi feel-nya akan beda.

Cotton Ink kan sudah berdiri selama 7 tahun, bagaimana caranya me-maintenance pangsa pasar?

Itu soal timing saja, sih, ya. We are started earlier. Kam mulai 7 tahun lalu ketika online shop belum banyak, Indonesian local produk juga belum banyak, terutama pakaian ready to wear. Mungkin juga karena waktu kami memulai sudah cukup lama. Kalau ditanya bagaimana kita memaintain, ya, itu jawabannya. Because we started earlier dibanding yang lainnya.

Membangun usaha bisa dibilang lebih mudah dibanding mempertahankannya. Bagaimana cara Cotton Ink tetap bisa bertahan selama 7 tahun ini?

Menurut saya, visi dan misi brand dari awal harus jelas. Saat kami mulai kami juga tidak ada manual book sama sekali. Kami berdua sama-sama belajar. Kami juga tidak ada basic di dunia bisnis, bukan business graduates. Kami entrepreneur, karena Carline memang fashion desainer, jadi memang sudah nature-nya mendesain baju. Kalau saya graphic designer, tapi setelah selesai kuliah saya tidak berminat bekerja di tempat orang. Jadi, kami sebenarnya berbekal semangat saja, sih. Saya ingat ada yang bilang, setinggi-tingginya jabatan Anda di kantor, Anda tetaplah karyawan. Tapi sekecil-kecilnya bisnis yang dibangun, Anda adalah boss.

Selanjutnya, Ria bercerita suka duka membangun bisnis bersama sahabatnya, Carline Darjanto.

Ria

Banyak yang bilang kalau membangun usaha bersama teman itu tidak mudah, banyak konfliknya. Mengalami hal ini?

Wah, kami banyak berantemnya. Berantem sampai diem-dieman juga pernah. Tapi, Carline mengajarkan saya kalau bisnis ya bisnis, berteman ya berteman. Harus benar-benar make it clear.  Hitung-hitungan harus jelas, kami berdua harus digaji. Tidak bisa dipungkiri money is matters.

Biasanya, masalah apa sih yang sering bikin kalian salah paham?

Kalau dulu saat, berantemnya karena capek. Apa-apa kan hanyak dikerjakan oleh kami berdua. Akhirnya kami saling mengingatkan saja, sih. Kalau lagi berantem kami sama-sama harus ingat, we have a big dream about this brand. Ya, mungkin di tengah pekerjaan yang begitu banyak, vision membesarkan brand kan agak susah. Buyar karena kami sudah capek, tapi juga harus mikirin bagaimana brand bisa long lasting , tapi ini yang jadi penyemangat kami, sih. Keluarga, teman-teman dekat yang ngedukung kami dari awal juga selalu kasih semangat.

Biasanya inspirasi desain baju Cotton Ink dari mana saja?

Awalnya dari saya dan Carline. Carline itu suka tanya, “Ri, loe mau pakai baju apa?" Gaya saya dan Carline berbeda, Carline lebih feminin sementara saya lebih casual dan boyish. Dari situ timbul ide. Tapi kami punya persamaan, suka pakai baju biasa yang bisa kami pakai setiap hari, nyaman dipakainya. Nggak perlu bingung, ini mau dipadu dengan aksesoris apa, ya? Kalau punya baju Cotton Ink di dalam lemari, the first thing in the morning yang mau dipakai, ya, Cotton Ink. It’s happen to me and Carline.  Pernah suatu waktu, Carline bilang ke saya, “Ri, kok baju yang loe pakai itu itu aja, sih?”. Ya, habis gimana, bajunya ini ada di bagian paling atas lemari, hahaha." Tapi dari sana, kami sadar kalau kami butuh membuat koleksi baru lagi.

Setelah membuka toko di Kemang, ada target akan buka toko berapa banyak?

Belum ada, sih, ya. Mungkin karena basic-nya kami ini online store jadi kami sama sekali tidak memasang target.

Kasih alasan, dong, kenapa para perempuan harus memiliki produk Cotton Ink?

Cotton Ink ini  every day wear, yang perempuan bisa pakai setiap hari tanpa harus berpikir  panjang, mau pakai aksesoris apa, ya? Dipadu dengan apa, ya? Coba kalau punya satu baju Cotton Ink pasti hari-harinya akan sering pakai baju Cotton Ink.

Biasanya berapa jumlah produksi untuk satu koleksi baju Cotton Ink?

Kami ada beberapa model yang selalu kami bikin, misalnya signature items kami. Kalau pertama kali produksi, biasanya sih 80-100 baju. Tapi lihat di pasar juga, kalau ternyata demand-nya ok, biasanya akan  kami repeat.

Produk apa yang paling dimininati dan sering diproduksi ulang?

So far, sih, ada kemeja, namanya Devon shirt, kmi sudah bikin sampai 10 hingga 12 warna. Model ini sebernarnya sudah dari ada dari dua tahun lalu, tapi selalu kami repeat karena hingga saat ini masih banyak yang suka.  Kalau untuk produk baru, setiap minggu pasti akan bikin model baru. Jadi memang produksi terus menerus.

Kedepannnya Cotton Ink ini mau di bawa ke mana? Apa impian terbesar untuk Cotton Ink?

Cita-cita kami itu  masih jauh ke depan tapi kami sama-sama punya target dan angan-angan . Kalau Swedia punya H&M, Jepang punya Uniqlo, Indonesia itu punya Cotton Ink.

Kalau sudah ada target, biasanya ada step-step untuk mendapatknya. Untuk menuju global market sudah jelas, sekarang sudah sampai mana?

Kami sudah ada whole seller dan mulai ekspor ke Malaysia dan Singapura. Tapi memang masih dalam jumlah yang kecil. Kami tidak mau dibilang Cotton Ink hanya ‘jago kandang.'  Tapi untuk saat ini, sih, kami memang masih fokus untuk menjadikan Cotton Ink juara dulu deh di Indonesia.

----

Wah, mendengar impian terbesar  Ria Sarwono dan Carline membuat saya merinding. Mudah-mudahan saja, lima hingga sepuluh tahun mendatang apa yang mereka cita-citakan bisa terwujud, ya.

PAGES:

Share Article

author

adiesty

Biasa disapa Adis. Ibu dari anak lelaki bernama Bumi ini sudah bekerja di dunia media sejak tahun 2004. "Jadi orangtua nggak ada sekolahnya, jadi harus banyak belajar dan melewati trial and error. Saya tentu bukan ibu dan istri yang ideal, tapi setiap hari selalu berusaha memberikan cinta pada anak dan suami, karena merekalah 'rumah' saya. So, i promise to keep it," komentarnya mengenai dunia parenting,


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan