banner-detik
HEALTH & NUTRITION

DBD:Lebih Berbahaya Pada Anak Dibanding Pada Orang Dewasa?

author

adiesty04 May 2015

DBD:Lebih Berbahaya Pada Anak Dibanding Pada Orang Dewasa?

Banyak yang mengatakan bahwa virus dengue yang menyerang anak-anak lebih berbahaya ketimbang orang dewasa. Benarkah?

nyamuk-db

*Gambar dari sini

Beberapa waktu lalu, saya terhenyak mendapat kabar duka dari salah satu teman semasa SMP. Bagaimana tidak, kabar tersebut menyatakan kalau anak pertamanya yang berusia lima tahun meninggal dunia disebabkan penyakit DBD. Sebagai Ibu, nggak kebayang rasanya kalau ditinggal oleh buah hati.

Sebenarnya, saya sendiri sudah cukup sering mendengar kasus kematian pada anak yang disebabkan DBD. Dalam sebuah berita saya pernah membaca kalau angka kematian akibat dengue di Indonesia masih terbilang tinggi. Lebih menyedihkan, angka kematian terbanyak terjadi di kelompok anak-anak. Data dari World Health Organization (WHO) pada 2010 mencatat, insiden demam dengue meningkat selama 50 tahun terakhir.

Mengetahui kondisi dan fakta seperti ini jelas membuat semua kaum Ibu seperti saya khawatir. Iya kan? Apalagi kalau ingat DBD ini bisa menyerang siapa pun, dan kapan pun. Termasuk bagi mereka yang sudah pernah terkena DBD. Singkat kata, sudah pernah terserang demam berdarah bukan berarti kebal virus dengue.

Hal ini semakin membuat saya lebih waspada dengan melakukan beberapa tindakan pencegahan agar nyamuk aedes aegypti tidak berkembang biak. Saya nggak mau jika pengalaman beberapa tahun lalu ketika Bumi terkena DBD terulang kembali. Apalagi banyak yang mengatakan bahwa virus dengue yang menyerang anak lebih berbahaya ketimbang orang dewasa. Tapi benarkah? Apakah gejala antara anak dan orang dewasa berbeda?

 

ilustrasi dbd

*Gambar dari sini

Untuk mendapat jawaban, saya pun sempat berbincang dengan dr. Nita Ratna Dewanti, SpA dan dr.T.Bahdar Johan, SpPd dari RS. Premier Bintaro. Menurut mereka, pada dasarnya perbedaan antara DBD pada anak dan dewasa tidak ada. “Patogenesis infeksi virus dengue pada orang dewasa sama dengan anak, walaupun tampaknya pada kasus orang dewasa lebih ringan dibandingkan pada anak-anak,” ungkap  dr.T.Bahdar Johan, SpPd.

Dokter Nita  juga menjelasakan, “Gejala DBD ini sebenarnya gejala awalnya hampir sama seperti jenis penyakit yang dikibatkan virus yang lain. Ada gejala awal yang biasa disebut dengan prodromal, ditandai dengan adanya demam tinggi, panasnya naik turun, mual, anaknya lemas, tulang terasa sakit. Kadang ada juga yang batuk pilek, meskipun batuk pilek ini bukan ciri khas DBD.  Kemudian, setelah 3 hari biasanya keluar bintik merah, tapi sekarang bintik merah ini juga tidak pasti ada. Namun untuk bintik merah DBD ini bisa kita lihat kalau kita pencet atau renggangkan kulit kita, bintik merah ini tidak akan hilang.”

Walaupun perbedaaan antara DBD pada anak dan dewasa tidak signifikan, namun dr.T.Bahdar Johan, SpPd menjelaskan bahwa manifestasi dan gambaran klinik dari berbagai umur bisa mengalami perbedaan. “Sebenarnya perbedaannya tidak ada, patogenisnya sama saja. Masuknya virus dari nyamuk juga sama, virus deguenya juga ada 4 tipe. Masa inkubasi pada anak dan dewasa juga sama. Tapi gelaja klinis memang tidak sama,” paparnya.

Dalam hal ini dr.T.Bahdar Johan, SpPd mengakui bahwa angka kematian pada anak-anak memang tinggi dibandingkan dewasa, “Kalau dilihat memang penyebab beratnya gejala DBD ini karena reaksi imonologi, ikatan antara antigen dan anti antibodi yang bermasalah. Kenapa anak lebih banyak meninggal, karena pada orang dewasa jika terjadi kebocoran sel endotel,  kita (dokter-red) bisa memberi terapi cairan pengganti berupa cairan keloid. Sementara pada anak-anak masih belum bisa diberikan.”

Ia menerangkan bahwa sampai saat ini pemberian cairan keloid pada anak-anak masih kontroversi  dikarenakan cairan keloid ini molekulnya besar, sementara pada anak glomerulus ginjalnya masih kecil sehinga takut terjadinya gagal ginjal akut akibat pemberian cairan tersebut. “Sementara kalau pada orang dewasa tidak terjadi gangguan ginjal akut, pemberian cairan keloid ini memang sangat membantu. Biasanya hari-hari kita akan ketahui jika darah mengental karena darahnya bocor sehingga cairan tersebut dibutuhkan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, kedua dokter ini mengungkapkan bahwa tingkat keparahan DBD tergantung pada beberapa hal, yaitu imun sistem tubuh, frekwensi serangan, dan jenis virus yang menyerang tubuh, di mana virus yang paling ganas adalah tipe 4. Tipe virus itu sendiri dipengaruhi daya tubuh yang kita miliki. Mereka juga mengakui kalau DBD ini termasuk penyakit yang  memang unik. Hal ini disebabkan, virus yang menyerang tubuh akan lebih berbahaya  jika tubuh memiliki imun yang baik.

“Anehnya buat yang hiper imun, gejalanya lebih berat. Jika imunnya jelek, seperti pasien yang terkena gagal ginjal, pasien diabetes dengan komplikasi macam-macam, pasien HIV, jika kena DB gejalanya justru ringan. Uniknya, kadang anak yang gizinya lebih baik, jutsru akan lebih drop. Hal ini dikarenakan perang antara antibodi dan virus lebih hebat,” ungkap para dokter ini. Sayangnya, kondisi ini memang tidak bisa dicegah. Imun dalam tubuh tidak bisa diatur. Oleh karena itulah hal yang paling penting adalah melakukan pencegahan sedini mungkin.

Obat DBD sebenarnya tidak ada karena pada dasarnya yang dibutuhkan adalah cairan. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan, khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan, karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular.

“Jadi DBD ini nggak perlu antibiotik, bahkan transfusi  baru dilakukan jika memang diperlukan saja. Kecuali jika terjadi pendarahan yang berat, atau trombositnya sangat rendah di bawah 20 ribu baru dilakukan transfusi darah. Ketika anak demam, jangan berikan aspirin jika masih diduga demam berdarah karena hal itu dapat mengganggu fungsi trombosit yang dapat menyebabkan pendarahan,” pungkas dr. Nita Ratna Dewanti, SpA.

PAGES:

Share Article

author

adiesty

Biasa disapa Adis. Ibu dari anak lelaki bernama Bumi ini sudah bekerja di dunia media sejak tahun 2004. "Jadi orangtua nggak ada sekolahnya, jadi harus banyak belajar dan melewati trial and error. Saya tentu bukan ibu dan istri yang ideal, tapi setiap hari selalu berusaha memberikan cinta pada anak dan suami, karena merekalah 'rumah' saya. So, i promise to keep it," komentarnya mengenai dunia parenting,


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan