Sorry, we couldn't find any article matching ''
Drama Potong Rambut
Setiap kali waktunya potong rambut, Nara, 3 tahun, selalu berubah menjadi ‘Drama King’. Malas, marah sampai ngamuk semua dilakoninya. Mommies pernah mengalami problem serupa?
*Gambar dari sini
Anak laki-laki saya, Nara, 3 tahun, nggak suka kalau ditanya soal rambutnya yang gondrong. Tidak marah tapi akan pura-pura nggak dengar. Sama aja kan nyebelinnya. Kalau ada kalimat-kalimat seperti ini, sudah pasti hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri buat dia.
“Nar, itu rambutnya sudah nutupin kuping. Potong ya?”
“Poninya mulai masuk mata kayaknya.”
“Kamu nggak gerah kalo rambutnya panjang?”
Bahkan, ada yang suka salah mengira dia anak perempuan karena rambutnya jadi model bob manis. Terus apa kemudian dia mau potong rambut? Nggak juga. Kayaknya dia nggak peduli. Kalau udah terlalu panjang dan si poni mulai mengganggu kenyamanan matanya alias mata jadi gatal dan merah, solusi yang dia pilih ya jepit poni pakai jepitan buaya atau dikuncir. Anak yang aneh.
Kalau saya browsing di internet, ternyata penderitaan mengenai hal ini juga banyak dialami oleh mommies-mommies lain. Alasan batita malas potong rambut ternyata beragam, ada yang karena takut melihat gunting dan menganggap kalau gunting memotong rambutnya maka ia akan ngerasa sakit. Anak lain malas potong rambut karena nggak nyaman dengan tempat motongnya atau penyebab sederhana karena pas potong rambut dia merasa kelaparan. Sepupunya Nara yang TK juga begitu, bisa dipotong rambutnya hanya kalau dia tidur.
Kalau Nara, menurut pengakuannya, dia takut sama gunting. Nggak tau apa penyebabnya. Saat umur 2 tahun, kami pernah bawa dia potong rambut dan fine-fine aja tuh. Di tukang cukur yang tempat duduknya pake mobil-mobilan itu. Waktu itu, saya udah bahagia karena anaknya nggak takut dipotong rambutnya. Satu persoalan kelar dalam hidup. Tapi ketika tiba waktu untuk cukur lagi, di tukang cukur yang sama, di mobil yang sama, dia mogok. Maunya pulang aja. Titik. Di tempat baru pun ogah.
Sementara itu, rambut Nara makin aduhai panjangnya. Tentunya, mamanya nggak kalah keukeuh, setiap kali ada kesempatan, mari kita bujuk anaknya. Mulai dari membelikan dia gunting untuk anak-anak biar dia bisa ‘kenalan’ sama gunting, sampai kepikiran membuat buku cerita tentang anak yang takut potong rambut. Semuanya demi anaklah pokoknya. GAGAL TOTAL.
Suatu pagi, setelah gregetan ngeliat rambutnya yang udah panjang, iseng-iseng, saya tanya dia, “Nar, kamu mau potong rambut? Di tempat yang ada mobilnya.”Entah kesambet apa, pagi itu, dia jawab mau. Langsung, saya ajak dia pergi ke salon anak deket rumah. Ternyata, sampai di sana, dia mogok lagi. As, predicted. Tapi reaksi saya beda dong, hari itu, saya paksa dia potong rambut. Nangis? Pasti. Ngamuk? Jelas. Dan, sepanjang Nara ngamuk itu, saya cuma kepikiran satu hal, kenapa saya harus begini. Though love. Supaya rambutnya rapi. Supaya nggak gerah, supaya nggak dikira anak perempuan.
Selesai dipotong, Nara marah sama saya. Sebentar tapinya, karena abis itu dia minta dibeliin yogurt. Saat sampai rumah, dia cerita sama semua orang kalo dia tadi nangis di tempat potong rambut. Dan, kalo ditanya mau potong rambut lagi enggak? Jawabannya, “Tidak mau.” Makan tuh though love, Put. Persoalan hidup nggak akan kelar dengan pemaksaan. Masa iya tiap mau potong rambut saya harus maksa gini?
Kalau saya pikir-pikir, sebenernya pada akhirnya ketakutannya akan potong rambut akan hilang dengan sendirinya, kok. Jadi sambil nunggu kerelaan-nya datang, kami tetap mengenalkan dia pada manfaat gunting, menjelaskan sambil lalu bahwa menggunting rambut tidak akan membuatnya kesakitan dan memperlihatkan ke dia foto-foto tempat potong rambut yang lucu untuk anak-anak. Toh, buat anak seumuran dia, menurut kami, panjang rambut bukan soal hidup dan mati. Satu hal lagi, paling saya siap sedia aja dimarahin eyangnya karena cucu laki-lakinya kayak anak perempuan. Hahahahaha ...
Dan, akhirnyaaaaa, kesempatan mengakhiri drama potong rambut ini datang 8 bulan kemudian. Nara kena alergi. Leher dan bagian bawah matanya gatal dan merah. Saking ganggunya, dia nangis karena nggak tahan gatel dan perih. Kesempatan, nih. Eh, siapa tahu mau kan ya diajak potong rambut.
Besok siangnya, saya bilang,
“Ini musti dipotong, Nar. Nggak bisa cuma dikuncir. Ibu potong aja, ya?”
“Dipotong pake apa?”
“Gunting.”
“Guntingnya tidak mau yang besar.”
Oke.
“Mau potongnya di teras aja.”
Fine.
“Sambil dipeluk.”
Macam mana pula gunting rambut sambil dipeluk sama tukang cukurnya.
Akhirnya dia mau dipeluk eyangnya sambil potong rambut. Potongnya sambil merem dan setengah melungker karena takut. Tapi saya bangga banget sama dia siang itu. Jauh lebih bangga daripada ketika rambutnya rapi setelah kelar potong rambut pemaksaan. Siang itu, dia takut, tapi milih menghadapi takutnya. Tapi, sayangnya, keberanian anaknya nggak berbanding lurus sama keahlian saya memotong rambut. Poninya nggak rata. Sambil menahan ketawa dan megang kaca, saya bilang sama Nara,
“Maaf ya, poninya nggak rata. Yang motong ibu soalnya. Mau dirapiin di salon?”
“Mau. Di tempat yang ada mobil BMW-nya.”
Jeng jeng!
Bakal ada drama lagi nggak nih nantinya? Ah, tapi ini kesempatan, men. Let’s go aja, deh.
Akhirnya, sore, kami berangkat. Mungkin karena siangnya udah ‘latihan’ potong rambut sama saya, sore itu, meskipun awalnya dia melungker di dalam kursi mobil BMW, Nara mau anteng saat rambutnya mulai dipotong. Sadar kalo anaknya grogi, ayahnya ikut cukur rambut deh di sebelahnya. Nah, ini jadi kiat juga buat kami ke depannya. Cukur barengan sama ayahnya biar Nara merasa punya teman. Why didn’t I think of that earlier?
Malamnya saya tos sama suami karena kami berdua sukses sabar menanti (Suami sih yang sabar. Saya kan sempat kelepasan maksa).Sabar sampai anaknya mau dengan rela potong rambut, meskipun harus diintervensi pake alergi segala. I guess it really pays off to hear and respect (http://24hourparenting.com/2015/04/tips-orangtuabaru/) your child. Paling tidak, sekarang, saya paham kalau anak saya ini memang nggak mempan dipaksa. Kalo mau dia melakukan sesuatu ya harus dari kesadaran sendiri. Beda tipis sama bapak ibunya, sih. Hehehe.
Share Article
COMMENTS