*foto dari sini
Perempuan diciptakan oleh Tuhan dengan kemampuan multitasking yang luarbiasa – itu yang saya rasakan. Contohnya, ya diri saya sendiri. Status saya sebagai ibu bekerja, membuat saya tak jarang memeriksa PR anak sambil mengecek kembali list to do yang harus saya selesaikan besok di kantor. Belum lagi menjawab pertanyaan ART mengenai menu apa yang akan dimasak dan ehm...memastikan penampilan tetap cantik di mata suami, hehehe. Diserbu rasa bersalah karena sesekali harus meninggalkan si kecil yang kurang sehat karena ada meeting dengan klien juga pernah saya alami. Untungnya, hal ini tidak berlangsung lama. Dan, semua terjadi karena saya memiliki support system yang sangat hebat.
Saya percaya, support system yang baik dan dapat diajak bekerjasama bisa menjadi solusi bagi ibu bekerja seperti saya. Dan saya beryukur karena saya memiliki mereka semua.
My husband, my partner
Yup, suami adalah orang pertama yang harus saya ajak kerjasama agar semua berjalan dengan baik. Sebaga pasangan hidup dan juga ayah dari anak-anak, saya yakin dia juga pasti ingin yang terbaik untuk anak-anak, isteri dan keluarganya. Makanya, pembagian waktu di antara kami harus jelas. Saat saya tidak bisa menemani anak-anak, suamilah yang akan mengambil alih. Saya juga selalu terbuka bercerita mengenai keadaan di kantor, jadi, kalau dia tahu bahwa mood saya tidak enak karena urusan kantor, dia akan membiarkan saya segera beristirahat setibanya saya di rumah. Saya dan suami juga berbagi jadwal me time. Kapan waktu saya asik luluran di spa dan kapan waktunya dia berkutat dengan koleksi VW kecintaannya. Adil kan? Dan, untuk anak-anak juga lebih nyaman, karena saat bersama mereka, kedua orangtuanya berada dalam kondisi yang baik dan tidak lelah.
Eyang adalah ‘malaikat’ penolong
Mungkin terdengar lebay judul yang saya berikan di atas, tapi faktanya memang benar. Saat saya dan suami sama-sama tidak bisa fleksibel mengenai waktu, maka eyang akan menjadi jalan keluar bagi kami berdua. Tapi, satu hal yang menjadi panduan bagi kami berdua adalah, jangan pasrahkan anak-anak dengan eyang, nenek atau omanya dalam jangka waktu yang lama. Bagaimana pun di usia mereka yang sudah tak lagi muda, pasti akan terasa lelah menjaga si kecil yang sedang giat lari sana-sini. Jadi, 3 jam adalah waktu maksimal bagi kami ‘menitipkan’ si kecil ke dalam asuhan eyang atau nenek dan kakeknya.
Masih ada 2 support system lagi yang menjadi pahlawan bagi saya. Siapa saja mereka?
*Foto dari sini
Tenaga pengajar
Berhubung kedua anak saya sudah sekolah dan mengikuti berbagai macam les, maka memastikan bahwa mereka memiliki tenaga pengajar yang sesuai dengan kriteria saya adalah sebuah keharusan. Bayangkan saja, berapa jam anak-anak saya akan berada di bawah pengawasan para guru sekolah atau guru les? Apalagi, dengan semakin banyaknya tindak kejahatan terhadap anak, radar waspada saya pun semakin tinggi. Biasanya, sebelum tahun ajaran dimulai, saya akan berkenalan secara pribadi dengan guru anak-anak di sekolah. Dari pertemuan-pertemuan singkat ini, banyak hal yang bisa saya tangkap dari sosok ibu atau bapak guru. Saya selalu tegaskan bahwa saya menaruh kepercayaan terhadap mereka. Komunikasi pun selalu saya jaga dengan baik. Meskipun begitu, saya tak menjadi 100% percaya begitu saja. Tetap saja ketika pulang ke rumah dan ngobrol dengan anak-anak, saya selalu bertanya apa yang mereka pelajari, apa yang dilakukan oleh guru mereka, apakah ada yang membuat tidak nyaman, dsb. Intinya, saya tetap harus dong mengecek kondisi mereka. Hehehe...
Si mbak di rumah
Yes, ART atau babysitter atau ART yang kita angkat menjadi babysitter tak dipungkiri lagi menjadi support system yang juga penting bagi kita ibu bekerja. Nah, urusan ini juga jadi PR sendiri buat saya. Apalagi saat ini mencari ‘mbak’ sama susahnya seperti mencari jodoh (loh....kok jadi jodoh). Untungnya, saat ini, si mbak di rumah sangat andal dalam segala hal. Biasanya, saat mbak baru bekerja di rumah, saya sengaja meminta cuti sekitar 3-5 hari. Untuk apa? Agar setidaknya selama masa “pengawasan” itu saya bisa melihat bagaimana cara dia berinteraksi dengan anak-anak, bagaimana dia menjaga kebersihan di rumah, dsb. Walaupun belum tentu juga sih saat nggak ada saya dia akan bekerja sama rajinnya seperti saat ada saya di rumah.
Tapi, satu hal yang saya coba terapkan adalah, saya akan membuat si mbak merasa nyaman bekerja dengan saya, karena kalau dia nyaman maka dia juga akan senang bekerja dan menjaga anak-anak dengan baik. Hal sederhana yang saya lakukan adalah, saya memberikan satu hari libur untuk si mbak di weekend, bisa sabtu atau minggu, terserah dia. Sesederhana itu tapi mungkin sangat berarti buat dia. Dan, saya juga tetap menciptakan komunikasi dengan anak-anak supaya saya tahu kalau terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.
Well, intinya sih, bagi ibu bekerja seperti saya, menjalin komunikasi yang baik dengan support system, kerjasama dan menghargai mereka adalah kunci semuanya. Kalau support system mommies, ada siapa saja?