Saat anak sering mengajukan pertanyaan atau bercerita tanpa henti, bagaimana reaksi mommies? Meladeni semua pertanyaan, mendiamkaan sampai dia berhenti sendiri atau meminta dia diam? Tahu nggak, ternyata reaksi yang kita berikan dapat berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya kelak.
Gambar dari sini
Sebenarnya, mempunyai anak yang ‘sukarela’ bercerita mengenai segala hal yang dia alami bisa disebut anugerah, lho, tanpa kita harus repot memintanya bercerita. Saya mengalami sendiri mempunyai dua orang anak berbeda karakter; satu introvert dan satunya lagi ekstrovert. Kali ini, saya mau ngomongin tentang anak saya yang super ekstrovert, selalu bercerita dan bertanya kapan saja dia mau, nggak peduli mamanya lagi secapek apapun.
Seperti yang sudah saya tulis di atas, jujur saja, mood bisa memengaruhi cara saya menanggapi anak saat dia lagi berbcerita atau bertanya. Padahal, harusnya, kewajiban kita sebagai orangtua, ya, menjadi pendengar yang baik bagi anak. Pendengar di sini berarti, nggak hanya mendengarkan, tapi juga memberi respon alias terdapat pembicaraan dua arah. Karena dari hal se-simple ini, bonding antara anak dan kita sebagai orangtua semakin erat.
Apa yang akan terjadi saat respon orangtua tidak sesuai harapan si anak ketika ia bercerita atau bertanya?
*Gambar dari sini
Menurut ibu Avin Yusro, S.Psi, M.Kes, Psikolog Anak Kementerian Sosial RI, cara kita merespon anak bercerita atau berkomunikasi waktu kecil akan berpengaruh terhadap minatnya bercerita pada kita ketika anak semakin besar. Anak yang sering tidak direspon, kurang didengar, dan diabaikan ceritanya akan mencari pendengar lain di luar orangtuanya.
Saat anak merasa tidak mendapat tanggapan dari orangtua, secara naluri dia akan mencari orang lain yang bisa menjawab semua rasa ingin tahunya. Menjadi masalah kalau pada akhirnya informasi dan jawaban yang dia peroleh salah kaprah dan dari orang yang salah. Kalau sampai kejadian seperti ini, bisa menjadi PR buat orangtua, karena butuh waktu lagi untuk membenarkan informasi yang salah itu. Contohnya teman anak saya. Teman saya ingat kalau si anak pernah bertanya tentang sunat, karena teman saya saat itu lagi capek abis pulang tugas luar kota, dia bilang ke anaknya untuk bertanya lain waktu karena ibu capek. Dan, you know what? Si anak langsung bertanya kepada kakak kelasnya. Singkat cerita, informasi yang didapat salah, si anak jadi takut sunat dan si ibu merasa bersalah.
Kisah ini bukan berarti kita harus paranoid pada semua orang karena takut orang lain akan memberikan jawaban yang ‘menyesatkan’ atau membatasi pergaulan anak. Tapi seandainya komunikasi berjalan baik antara orangtua dan anak, anak biasanya menjadi lebih terbuka dan bisa jadi justru akan lebih dulu bertanya tentang sesuatu yang pribadi pada orangtua.
Jadi, mulai sekarang nih, ini yang saya lakukan bersama dua anak saya, Darris (10 tahun) dan Dellynn (8 tahun), tentukan waktu khusus untuk ngobrol bersama anak,biar saat diskusi, kondisi kita juga lebih fokus untuk mendengarkan dan memberi taggapan. Obrolan ringan seperti ini juga menjadi kesempatan kita membangun pola pikir dan logika anak dalam memproses opini orang lain. Dari cerita sederhana si kecil, bisa tercipa diskusi panjang yang menarik yang menyimpan sejuta manfaat untuk hidup mereka kelak.
Sudah siap mendengarkan anak bercerita, mommies?