banner-detik
MD POWERFUL PEOPLE

Motherhood Monday: Nilam Sari, "Mampu Mempertahankan Usaha Ibarat Melahirkan"

author

adiesty13 Apr 2015

Motherhood Monday: Nilam Sari, "Mampu Mempertahankan Usaha Ibarat Melahirkan"

Siapa sangka, usaha Kebab Turki Baba Rafi yang sudah dirintis 11 tahun sempat mengalami krisis dan berada di ujung tanduk. Mau tahu bagaimana cara Nilam Sari Setiono mempertahankan usahanya?

Siapa yang suka kebab? Saat mendengar makanan asal Timur Tengah ini,  rasanya banyak orang yang langsung teringat dengan Kebab Turki Baba Rafi. Ribuan outletnya, sudah menjamur disetiap sudut jalan. Lagi pula, bisa dibilang Baba Rafi merupakan pelopor sajian kebab di Indonesia.

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan bertemu dengan Nilam Sari Setiono, perempuan di balik suksesnya Kebab Turki BabaRafi. Di ruang kantornya yang nyaman di bilangan Fatmawati, ia banyak bercerita bagaimana dirinya bersama sang suami, Hendy Setiono, jatuh bangun membangun usaha yang mereka rintis selama 11 tahun.

Siapa sangka usaha yang mereka rintis semasa kuliah dengan bermodalkan satu gerobak akhirnya mampu berkembang hingga 1200 oultet, yang tersebar dari Sabang sampai Marauke bahkan sudah  membuka outlet di 8 negara. Pernah mengalami masa krisis di mana usahanya mereka sudah di ujung tanduk, akhirnya Nilam dan suaminya mampu mempertahankan usahanya hingga saat ini.

Penasaran dengan cerita serunya, berikut kutipan wawancara saya dengan Ibu dari Rafi Darmawa, Reva Audrey Zahifa dan Ready Enterprise.

Nilam

Dari kuliah buka usaha, jadi nggak pernah kerja kantoran, ya?

Nggak. Dulu kan kalau mau kerja kantoran harus punya ijazah. Sementara waktu itu saya menikah umur 19 tahun, dan ternyata sangat subur karena langsung punya anak.

Aku sempat jadi  guru les, Mas Hendy sempat kerja di Ray White. Tapi waktu itu  kita memang merasa nggak happy. Akhirnya berpikir, aduh, enaknya ngapain ya? Mikirnya mau bikin bisnis yang modalnya juga nggak terlalu besar. Waktu itu kita melihat bisnis teman yang punya warung,  jualan nasi bungkus, gorengan, dan kopi, tapi dia mampu beli mobil carry. Untuk ukuran 10 tahun yang lalu kan lumayan sekali bisa beli mobil carry. Oh, ya, teman aku ini juga  bisa beli tanah juga, lho, dari usahanya. Dari sana kita sempat terbengong-bengong. Usaha kecil seperti itu saja hasilnya sudah begitu.  Berartikan kami bisa bikin usaha yang dimulai dari gerobakan, dan kalau jalan bisa menghasilkan uang juga.

Awalnya sudah kebab?

Belum. Pertama kali kita bikin usaha burger, Yummy Burger, karena waktu itu di Surabaya ada Bernardi yang menjual bahan semuanya.  Soalnya kalau bisnis makanan yang aku harus masak lebih dulu, Mas Hendy bisa pucat. Aku nggak bisa masak, hahaha. Kalau burger kan gampang, aku nggak perlu masak yang macam-macam.

Waktu itu, butuh modal berapa, sih?

Modal awalnya itu 4 juta, dan itupun hasil dari uang angpau saat nikahan. Dari uang itu, akhirnya bisa beli gerobak, bahan baku, sewa tempat, dan cadangan bayar gaji karyawan. Waktu itu lokasinya benar-benar di pinggir jalan. Hasilnya lumayan, sehari bisa 200 sampai 300 ribu. Untuk zaman dulu, sehari bisa dapat 200 ribu kan sudah cukup besar.  Dalam setahun akhirnya kita bisa bikin sampai 6 gerobak.

Tapi akhirnya setelah ada Edam Burger, yang menjual dengan harga yang lebih murah, akhirnya usaha kami drop. Zaman itu akhirnya semua orang seperti berlomba-lomba bikin usaha burger. Akhirnya omset sehari dari 200 sampai 300 ribu, turun drastis. Sehari hanya dapat 20 ribu. Malah bisa sama sekali nggak laku. Sukseslah dalam 2 bulan kita tutup.

Selanjutnya : Transformasi usaha burger menjadi kebab.

 IMG_9795

Lalu, langsung beralih jualan kebab?

Dari sana, stress, deh, tuh melihat 6 gerobak yang berjejer rapi di depan rumah. Waktu itu orang tunya Mas Hendy juga kerja di Qatar dan punya jatah setahun sekali pulang ke Indonesia. Dari pada mereka yang balik,  akhirnya kita yang liburan dan Lebaranan di sana.

Pas di sana, kebab itu kan bisa ditemui di semua sudut, kalau di sini mungkin seperti pecel ayam. Konsep makannya juga grab and go, akhirnya dari sana kita dapat ide. Singkat kata, kita minta tolong maid yang orang India untuk bikin. Tapi setelah resepnya kita bawa ke Indonesia, ternyata rasanya kurang cocok, harga bumbu dan bahannya juga mahal karena harus import.

Dari sana kemudian kita modifikasi dengan rasa Indonesia. Awalnya saat kita berikan ke tetangga, mereka bilang kalau yang lebih enak justru kebab yang sudah kita modifikasi. Padahal, bumbu-bumbunya bisa dibilang lebih murah karena ngak perlu import, daging juga sudah kita campur dengan tepung. Kalau daging asli seperti steak harganya kan juga mahal. Dari sana, mulailah kita jualan dengan satu gerobak.

Bagaimana reaksi pertama orang yang beli? Apalagi kalau ingat kebab belum begitu dikenal?

Di hari pertama sudah banyak  yang tanya, ini apa? Martabak, ya? Lumpia? Jadi sebulan pertama tugas kita itu lebih banyak menjelaskan sama orang-orang.  Dari awal kita memang sudah menggunakan nama Baba Rafi, karena menurut kita harus ada nama Timur Tengah.  Baba itu artinya bapak, kalau Rafi nama anak kami yang pertama.

Awalnya kan di Surabaya, lalu kapan merambah ke Jakarta?

Usaha ini memang sudah 11 tahun, tapi masuk ke Jakarta 4 tahun yang lalu.

Kok nggak dari awal masuk ke Jakarta?

Banyak yang bilang kalau sudah masuk Jakarta, tandanya sudah bisa menguasai seluruh Indonesia. Tapi kami mikirnya terbalik, kami sadar kalau masuk di Jakarta itu masyarakatnya demanding dibandingkan daerah, kalau kita nanggung, malah bisa jadi mati. Makanya kita baru buka terakhir di Jakarta, bikin  kantor di sini, dan syukurnya growrth-nya juga baik.

Waktu pertama masuk ke Jakarta sempat kaget juga, sih. Mulai dari jarak satu lokasi ke lokasi lain jauh, dari kultur juga pasti berbeda dengan orang Surabaya. Aku juga awalnya kurang nyaman dengan karyawan orang Jakarta, tapi ternyata nggak bisa, lama-lama aku harus mix antara pegawai Surabaya dan Jakarta.

Kapan sih, Baba Rafi  ini mulai dibuat franchise?

Sudah 8 tahunan. Saat itu pun nggak pure franchise. Waktu itu kebab juga mulai growing,  banyak juga yang minta bikin kebab tapi dengan nama yang  berbeda. Awalnya aku pikir nggak kenapa-kenapa, toh, aku sudah dapat keuntungan dari gerobak dan bahan baku. Tapi  ternyata efeknya jelek, mereka jadi nggak menjaga kualitas dan benar-benar cuma ngejar profit. Sementara waktu itu orang-orang tahunya yang jual kebab itu Nilam dan Hendy. Dari sana saya mulai sadar kalau hal itu bahaya.

Setelah itu semua orang yang beli di aku, aku kumpulin dan bilang kalau mulai sekarang pakai nama Kebab Baba Rafi saja, semua sistem juga tinggal mengikuti. Mereka setuju dan akhirnya aku trainning ulang. Dari sana akhirnya jualan frenchise.

Sebenarnya belajar bisnis dari mana?

Belajar secara otodidak saja. Dulu aku sempat kuliah di bidang komunikasi, Mas Hendy ambil IT, sama sekali nggak nyambung kan? Tapi kita memang senang bisnis. Jadi belajar sendiri, lewat mentor-mentor. Benar-benar learning by doing saja. Tapi alhamdulillah aku punya kesempatan untuk kuliah S2.

Loh, bagaimana ceritanya?

Karena waktu itu aku ikut lomba dan menang. Hadiahnya itu beasiswa di IPMI. Aku bilang, kalau aku nggak punya izasah S1, tapi mereka bilang nggak apa-apa. Jadi jatuhnya, sih, seperti kursus bukan kuliah formal. Aku dapat sertifikat per-course yag aku ikuti.

Menjalankan bisnis kan biasanya mengalami up and down, sempet mengalami masa krisis juga nggak?

Aku pindah ke Jakarta tahun 2009, ketika perekonomiannya lagi nggak bagus. Kantor benar-benar merasa kesulitan. Cash flow sudah susah, ditambah kami baru pindahan. Kantor di Surabaya juga goyang karena aku dan Mas Hendy nggak ada di sana lagi. Sementara Jakarta juga belum stabil. Karena waktu itu perekonomian sedang resesi, kami mau collapse. Kacaunya nggak karu-karuan. Bahkan kami sudah hampir menjual perusahaan ini.

Selanjutnya, Nilam bercerita bagaimana usahanya untuk mempertahankan usaha Kebab Turki Baba Rafi.

IMG_9793 (1)

Oh, ya, sudah sampai titik itu? Lalu bagaimana cara Mbak Nilam dan suami untuk bangkit lagi?

Waktu itu memang sudah hampir menjual,  tapi nggak jadi karena nggak ditemukan hasil yang oke. Balik kantor dengan kondisi yang lemas.  Tapi semua kan harus dihadapi. Hal pertama yang aku lakukan akhirnya merekrut 3 Manager yang profesional. Wich is mereka lulusan luar negeri dan punya pengalaman yang oke. Sebenarnya iseng aja, seperti mengadu keberuntungan.

Ternyata memang membawa perubahan?

Waktu itu mereka ditempatkan untuk posisi keuangan, logistik dan operasional. Dan ternyata dengan mereka ini kondisinya jadi jauh membaik. 3 bulan pertama kami baru tek tok buat nemuin chemistry, lama-lama mereka menjalankan sistem dan bisa membawa hasil. Satu setengah tahun, kondisinya bisa ketaraf normal lagi. Bisa mempertankan usaha ini ibarat melahirkan. Aku benar-benar lega. Keputusan merekrut mereka juga sebenarnya nggak terlepas setelah aku ambil S2.

Apa yang mereka lakukan untuk membenahi kondisi perusahaan?

Pertama kita membereskan data lebih dulu, karena saya sangat sadar kalau data kantor kita dulunya kacau banget. Kedua, memperbaiki culture, kemudian strategi dan kemudian KPI, mereka juag bisa nge-lead sehingga result-nya juga ada. Wah, kalau ingat ini masih trauma dan merasa gimana gitu, deh.

Perlajaran apa, sih, yang bisa dipetik setelah merasakan kondisi itu?

Banyak sekali, di antaranya kita jadi punya program CSR. Ada Baba Rafi mentoring dan Baba Rafi Academy. Kalau Babarafi academy ini dikarenakan kalau jualan di gerobak itu cepat banget turn off rate-nya cepat sekali, beda dengan di restoran. Nah, karena kita juga menyediakan karyawan, akhirnya saya bilang cari tenaga kerjanya dari daerah saja. Ya, kalau dari kota besar seperti Jakarta kan susah.

Setelah kita cari dari daerah, mereka sama sekali belum tersentuh bagaimana cara berhadapan dengan orang, termasuk perlakuan terhadap makanan. Dari sana kita buat sekolah yang bekerja sama dengan Magistra Utama, Lembaga Pelatihan Kerja di 12 kota. Mereka kita beri kursus selama 3 bulan, for free. Banyak dari mereka yang ikut cuma bawa baju yang mereka pakai aja. Mereka memang bisa bisa dibilang dari kelas bawah. Kalau sudah lulus mereka bisa dapat sertifikat. Dari sana mereka jadi sudah punya ‘modal’ untuk berkerja. Boleh kerja di Baba Rafi ataupun di perusahan luar.

Kalau mentoring kita sudah melakukan 12 batch. Diadakan sebulan sekali dan ditujukan untuk mereka yang sudah punya usaha. Tapi paling tidak usahanya sudah berjalan setahun karena kita juga butuh track record usaha mereka seperti apa. Kenapa aku bikin CSR ini karena aku sadar dulu ketika aku memulai bisnis aku nggak punya mentor padahal sangat butuh. Kita kan butuh belajar bagaimana menghitung cost, menghitung gaji, SOP, membuat kontrak kerja karyawan seperti apa, sih. Semua hal yang bersifat teknis dipelajari di sini. Pelatihannya selama 5 hari dan dilakukan seharian. Kita juga mengajak mentor dari luar

Untuk  mentoring ini, free juga?

Tadinya kita kasih free, tapi kok kalau free seperti ini kita melihatnya mereka yang ikut jadi nggak serius, ya. Pagi datang, siang setelah makan mereka pulang. Besok datang, besoknya juga nggak datang.  Akhirnya kita putuskan bayar sebesar 300 ribu, toh, sebenarnya kalau mau dihitung-hitung biaya itu hanya sebagai pengganti makan saja. Sebenarnya aku ingin ‘ngiket’ mereka untuk terus ikut. Tapi buat mereka yang nggak mampu bayar, yang nggak apa-apa. Kelasnya juga nggak terlalu banyak, hanya untuk 12 sampai 14 orang saja.

Setelah berkembang seperti saat ini, apa sih rencana ke depan Mbak Nilam untuk usaha ini?

PR kita ke depannya ingin merubah struktur kepemilikan 50% kita, 50% frenchise. Kita juga lagi banyak buka depo di daerah-daerah, kantor distribusi tapi kita mengelola outlet sendiri. Satu depo bisanya ada 20 outlet.

-----

Waktu mendengar ceritanya, mulut saya nggak berhenti berdecak kagum. Bayangkan saja, di usia yang relatif  muda, 19 tahun, ia mampu mengambil langkah besar untuk memulai usaha dan berhenti kuliah di Unair. Walapun begitu, berkat ketekunan dan jerih payah yang besar, ia pun mampu membukikan pilihannya tidak salah. Selain berbincang soal bisnisnya, perempuan kelahiran 25 November 1981 ini juga bercerita suka duka berkerja bersama suami. Ceritanya akan saya share di artikel berikutnya, ya. Yang jelas, setelah berbincang dengannya banyak insight menarik yang saya dapatkan.

PAGES:

Share Article

author

adiesty

Biasa disapa Adis. Ibu dari anak lelaki bernama Bumi ini sudah bekerja di dunia media sejak tahun 2004. "Jadi orangtua nggak ada sekolahnya, jadi harus banyak belajar dan melewati trial and error. Saya tentu bukan ibu dan istri yang ideal, tapi setiap hari selalu berusaha memberikan cinta pada anak dan suami, karena merekalah 'rumah' saya. So, i promise to keep it," komentarnya mengenai dunia parenting,


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan