Seperti yang sudah Annisa paparkan dalam artikel ini, setelah film Fifty Shades of Grey di-release, di Barat sana penjualan ‘BDSM tools’ meningkat, termasuk paket hotel yang menyewakan ‘play room’ seperti milik Christian Grey. Dari sini, saya bisa menyimpulkan bahwa banyak masyarakat yang penasaran pada penggabungan praktik seksual yang melibatkan rasa sakit dan unsur-unsur kekerasan seperti di atas.
Padahal kalau dipikir-pikir, apa enaknya, sih, hubungan seksual dengan unsur kekerasan? Kok, rasanya nalar saya susah sekali menerimanya? Bayangan saya, suasana romantislah yang justru bisa mendorong hubungan suami istri berjalan dengan baik. Biar bagaimanapun, perempuan itu 'kan butuh butuh mood yang baik ketika melakukan hubungan seksual. Kalaupun aktivitas seksual butuh variasi, apakah memang harus lewat dengan cara kekerasan seperti seks bondage, salah satu kategori terminologi BDSM ini?
Ah, saya jadi penasaran. Apa iya, bentuk kekerasan seksual seperti itu benar-benar ada yang menikmati?
Untuk memenuhi keingintahuan tentang seks bondage, saya pun akhirnya bertanya pada dr. Oka Negara. Ternyata, jawaban dari Staf Pengajar bagian Andrologi dan Seksologi FK Universitas Udayana ini cukup mencengangkan: pelaku seks bondage memang bukan hanya terjadi di film-film erotis. Di dunia nyata, banyak yang menikmatinya dan menganggapnya bagian dari variasi seks.
Dokter yang masih menjabat sebagai Sekretaris Asosiasi Seksologi Indonesia ini menjelaskan kalau seks bondage saat ini memang semakin dikenal dan dilakukan oleh banyak orang. Makin banyak yang penasaran untuk mencari tahu dan mencobanya, serta menganggap seks bondage ini sekadar variasi seksual. Hal ini memang tidak terlepas dari peran media yang makin banyak menjualnya sebagai jualan bernilai komersil, baik demi kepentingan bisnis pornografi atau kepentingan seni semata. Contohnya, ya, seperti novel erotis tahun 2011 karangan penulis Inggris E. L. James ini.
“Seks bondage itu intinya aktivitas seksual dengan melakukan penjeratan menggunakan tali atau alat pengikat lainnya. Dan ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sejak lama, sudah dihubung-hubungkan antara praktik-praktik pencarian kepuasan seksual dari rasa nyeri jeratan. Itu berarti manusia zaman dulu pun sering mengolaborasikan pengalaman seksual dengan respon biologis manusia. Rasa sakit dan kesenangan seksual memang sudah sering dibicarakan, baik secara diam-diam hingga lebih terbuka. Tulisan-tulisan kuno dari para penyair Romawi, gambar suku-suku kuno dan bahkan kitab Kamasutra pun sudah menuliskannya. Banyak ritual seksual kuno pun berisikan penyerahan diri, menyakiti diri menggunakan api hingga jeratan tali, demi mendapatkan kenikmatan seksual yang maksimal,” jelasnya.
Lebih lanjut, dr. Oka menjelaskan kalau jika ada masyarakat yang memang menikmati dan merasakan kalau seks bondage ini mampu memberikan “sensasi,” hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk seksual dan ingin terus berusaha mencari kenikmatan seksual yang lebih baik tiap kali melakukan hubungan seksual, ingin selalu mencari, dan mengeksplorasi diri dengan cara-cara baru untuk menikmati hubungan seksual.
“Rasa deg-degan, takut, dan nyeri yang muncul saat melakukan seks bondage akan bisa meningkatkan adrenalin. Adrenalin yang meningkat drastis akan membawa kepada kenikmatan seksual yang lebih kuat dirasakan jika semuanya bisa dilalui dengan baik dan tanpa ada efek negatif. Ini yang akhirnya dinikmati dengan sensasi luar biasa, atau extra-ordinary pleasure. Rasa nyeri yang dinikmati, dan rasa lega luar biasa saat jeratan dilepaskan menjadi tambahan sensasi yang luar biasa bagi pelaku seks bondage.”
Selanjutnya, penyebab seks bondage bisa terjadi.
Dalam hal ini, dr. Oka Negara menjelaskan, cinta, seks dan aktivitas kekerasan fisik maupun psikis dapat merangsang pelepasan bahan kimia dan hormon yang sama dalam otak dan tubuh manusia. Endorfin yang menjadi biang rasa senang dan nikmat yang dirasakan tubuh, sesungguhnya dapat dilepaskan dalam pengalaman yang menyakitkan seperti jeratan tali salah satunya. Rasa nyeri juga dapat merangsang produksi serotonin serta melatonin di otak yang mengubah pengalaman menyakitkan menjadi rasa menyenangkan. Pelepasan epinefrin secara mendadak juga dapat menyebabkan kemunculan tiba-tiba rasa menyenangkan saat bersamaan merasakan sensasi nyeri.
Tetapi sekali lagi, konsep pribadi tentang seks, pengalaman tentang variasi seksual, pengalaman seksual sebelumnya dan komunikasi seksual dengan pasangan seksualnya akan menentukan semuanya. Faktor psikologis justru nanti yang akan menentukan pilihan berikutnya, apakah seks bondage hanya akan menjadi variasi seksual semata, atau malah jadi aktivitas seksual satu-satunya. Jika variasi semata, seks bondage hanya akan menjadi pilihan variasi karena sedang trend atau sekali dua kali,, nantinya akan dilakukan lagi saat hubungan seksual sudah mulai memperlihatkan kebosanan.
Tetapi, jika seseorang dan pasangannya menyukainya secara konsisten dan permanen - bahkan menjadikan “menu utama” aktivitas seksualnya, maka ini sudah termasuk parafilia tadi. Yang masih dianggap orang banyak bukan sesuatu yang biasa. Sesungguhnya, seks bondage bisa bertahan atau malah saat ini menjadi pilihan karena dikondisikan secara luas dan terbuka sebagai sebuah trend. Produk bisnis pornografi pun dengan banyaknya tampilan fotografi, tayangan video dan pertunjukan publik, memunculkan adegan seks bondage, di samping banyak juga kemunculan komunitas pelaku dan penikmat seks bondage, hingga dijadikan sebuah bentuk seni keindahan.
Jika seks bondage ini bisa dijadikan sebuah variasi dalam berhubungan seks, apa batasannya jika seks bondage ini bisa dikatakan wajar dalam hubungan seks?
Sebagian besar pelaku seks bondage adalah pelaku temporer atau sewaktu-waktu saja. Dan ini dilakukan oleh orang-orang yang normal-normal saja. Sedangkan, hanya sebagian kecil yang kemudian melakukannya secara terus-menerus bahkan berlanjut menjadi sadomasokis. Karenanya, seringkali bondage masuk satu kategori ke dalam terminologi BDSM (Bondage, Domination, Sadism, Masochism). Jadi, pada orang-orang normal, aktivitas seks bondage tentunya hanya menjadi variasi seksual, yang kapan saja bisa dilakukan atau malah dilupakan sesuai kebutuhan bersama mengatasi kebosanan aktivitas seksual bersama. Seks bondage, selama masih dijadikan variasi seksual dan tidak sampai mengundang bahaya seperti ancaman jiwa dan menimbulkan luka hingga infeksi, masih wajar dilakukan.
Apakah perilaku seks bondage ini termasuk dalam kategori kelainan seks?
Bisa ya, bisa tidak. Dalam ilmu seksologi terbaru, istilah kelainan seks sudah tidak digunakan lagi. Yang digunakan adalah istilah “parafilia” atau aktifitas seksual yang dilakukan berbeda dari orang kebanyakan lakukan dan tidak melibatkan hubungan seks melibatkan alat kelamin secara penetratif. Sadomasokisme masuk ke dalamnya, karena memang tidak melibatkan penetrasi kelamin dalam mencapai kepuasan seksual. Jadi, kalau seks bondage dilakukan hanya dengan melakukan penjeratan dan dinikmati untuk mendapatkan kepuasan seksual tanpa melibatkan hubungan seksual penetratif, maka seks bondage masuk ke dalam golongan parafilia. Tetapi kalau seks bondage hanya sebagai variasi seksual dan pasangan tetap menikmati hubungan seksual kelamin yang penetratif, maka seks bondage tetap hanya merupakan variasi seksual dan bukan parafilia.
-------
Mendengar penjelasan dr. Oka seperti di atas, semakin membuka mata saya kalau sebenarnya perilaku seks itu memang sangat beragam. Ya, apapun pilihannya memang kembali ke pribadi masing-masing. Seperti yang sudah dikatakan dr. Oka, bahwa konsep pribadi tentang seks, pengalaman tentang variasi seksual, pengalaman seksual sebelumnya dan komunikasi seksual dengan pasangan seksualnya akan menentukan semuanya.