Sorry, we couldn't find any article matching ''
Peran Ibu Cegah Alergi Sejak Dini
Alergi sebenarnya adalah sistem pertahanan tubuh yang berlebihan. Jadi yang harusnya hanya bereaksi terhadap kuman penyakit atau infeksi secara umum, misalnya, bereaksi juga terhadap situasi sehari-hari saat ada pemicu (yang kemudian diistilahkan sebagai alergen).
Karena hubungannya dengan sistem pertahanan tubuh, otomatis alergi sifatnya personal dan subyektif, lebih tepatnya lagi, genetis. Jika hanya salah satu orangtua yang alergi, akan menurunkan kemungkinan 50% anak alergi juga. Bila kedua orangtua alergi, maka kemungkinannya jadi 75%. Prosentase ini bisa naik atau turun bergantung pada paparan lingkungan seperti makanan, polusi, dan asap rokok.
Walau sama-sama berkontribusi 50%, ibu tetap punya tanggung jawab yang lebih terhadap tingkat alergi anak karena salah satu faktor yang memperbesar alergi adalah pola makan ibu ketika hamil dan menyusui. Ibu hamil dan menyusui yang lebih banyak mengonsumsi sayur dan buah, dan nyaris tidak terpapar asap rokok, kemungkinan alergi pada anak akan menurun atau munculnya alergi tidak sejak bayi dan tingkat alerginya tidak parah.
Sebaliknya, ibu menyusui yang mengonsumsi makanan yang sifatnya alergen untuk bayinya, bisa berakibat si bayi terpicu alerginya di usia dini. Tapi, ibu menyusui tidak diperbolehkan pantang makanan apapun sebelum si bayi terbukti alergi terhadap makanan tertentu. Karena bisa jadi alerginya tidak dipicu makanan melainkan faktor lain seperti cuaca, bahan deterjen/pewangi, debu, tanaman, dll. Variasi dan asupan gizi berimbang lebih penting untuk menjamin kualitas ASI. Pantangan makanan juga bisa membuat bayi justru intoleran terhadap makanan yang dipantang.
Kalaupun memang akhirnya terbukti anak alergi makanan, kebanyakan di usia 2-3 tahun, bahkan paling cepat setahun, alerginya bisa berkurang seiring makin matangnya daya tahan tubuh.
Selain pola makan ibu hamil, kondisi klinis/fisik juga berpengaruh. Bila saat hamil ibu mengalami obesitas, peradangan akibat kelebihan berat badan, dan banyak mengonsumsi makanan yang memicu overweight dan menginduksi peradangan (seperti karbohidrat dan lemak), kemungkinan alergi pada bayi yang dikandung juga meningkat. Kondisi emosi juga, lho.
Menurut Dokter Spesialis Anak Sub-Spesialis Alergi-Imunologi dari RSCM DR. dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K), pencegahan alergi paling dini adalah pemberian ASI selama minimal 6 bulan pertama, lebih bagus lagi kalau terus sampai 2 tahun karena ASI pasca 12 bulan justru mengandung lebih banyak antibodi, dan menghindari pemberian susu sapi pada bayi baru di bawah usia 5 hari.
Tata laksana penanganan alergi sendiri dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
Poin utama pengobatan alergi adalah menghindari, dan apabila mungkin, menghilangkan pemicunya. Bila pemicu berhasil dieliminasi, maka gejala alergi tidak akan muncul.
Bila pemicu tidak mungkin dihilangkan atau dihindari, maka penderita akan memerlukan obat untuk meringankan gejala alergi seperti gatal-gatal, ruam atau bengkak di kulit, pilek/batuk alergi, dll.
Obat alergi ada yang bersifat sementara, seperti CTM atau Cetirizine. Obat antihistamin seperti ini hanya membantu meringankan gejala alergi sesaat setelah terpapar alergen. Bengkak atau ruam menghilang, gatal berkurang, dsb. Tapi bila terpapar lagi, ya, gejala akan muncul lagi.
Untuk gejala yang berat dan menetap seperti asma, kadang memerlukan pengobatan yang lebih intensif seperti nebulasi/penguapan di rumah sakit. Oh ya, anak di bawah 3 tahun belum bisa divalidasi kepastian asmanya, ya, mom. Jadi masih suspect saja. Walau kalau memang kedua orangtuanya punya alergi, kemungkinan asmanya lebih pasti daripada sesak karena selesma biasa.
Tahap pengobatan paling akhir adalah Imunoterapi Sublingual, yaitu pemaparan alergen mulai dari dosis yang sangat kecil dan terkontrol. Terapi ini harus dilakukan secara medis untuk mengetahui kepastian dan catatan jumlah dosisnya. Biasanya ini tidak bisa dilakukan 1-2 kali saja tapi harus rutin beberapa kali dan biayanya juga tidak murah.
Alergi adalah penyakit yang akan selalu muncul sampai dewasa. Kadang bisa berkurang gejalanya seiring usia, tapi bisa juga yang tadinya nggak ada gejala tahu-tahu muncul alergi di usia dewasa. Seperti bapak saya yang mulai urtikaria/biduran saat usianya memasuki 50 tahun saat terpicu stres di kantor.
Semua ini bisa dikurangi kalau ibu bisa menerapkan poin-poin pencegah timbulnya alergi pada anak sejak dalam kandungan seperti yang sudah dibahas di atas. Mencegah lebih baik daripada mengobati, bukan?
Share Article
COMMENTS