Sejak kecil, saya diajarkan untuk bisa menerima perbedaan. Bagaimana tidak, di lingkaran keluarga kami, perbedaan baik secara fisik maupun kepercayaan ada. Jadi, kami terbiasa melihat perbedaan.
Saat punya anak, saya ingin anak saya terbiasa akan adanya perbedaan. Kebetulan, di lingkungan rumah kami, beberapa tetangga datang dari berbagai ras dan kepercayaan, sehingga lebih mudah mengenalkannya ke anak saya.
Lalu, waktu anak saya mau masuk SD, saya mulai mencari referensi sekolah yang bisa mengenalkan Langit pada perbedaan. Kebetulan, di sekolahnya saat ini menerima anak dengan kebutuhan khusus, termasuk kebutuhan khusus secara fisik. Saya sangat terharu saat pulang dari hari pertama sekolahnya mengatakan, “Bu, temanku di sekolah ada yang melihatnya pake suara.” Saya paham, bahwa ini maksudnya adalah teman sekolah anak saya yang tunanetra. “Iya bu, sesama teman harus saling menyayangi, khusus buat A (nama temannya), kita harus ngejagain dia.” Tambah terharu lagi karena anak saya yang saya tau sangat cuek dan masih suka dibantu di rumah, kalau tiba di sekolah barengan dengan A, dia selalu menggandeng, menunggunya melepaskan sepatu, membantu A meletakkan sepatu di tempatnya untuk kemudian bersama-sama menuju kelasnya.
Ah, sungguh, pemandangan ini bikin hati saya meleleh dan berkaca-kaca. Andai kita semua (dan anak-anak kita) bisa menghargai perbedaan yang ada, ya. Kalau membaca cerita saya di atas, Mommies pasti paham bahwa saya adalah salah satu orang yang sangat menghargai perbedaan. Mungkin kita beruntung bisa memiliki anak-anak yang sempurna secara fisik ataupun mental. Mungkin anak-anak kita beruntung, karena mereka masuk kategori ‘normal.’
*foto dari sini
Saya sangat salut dengan orangtua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus, karena saya nggak pernah tahu bagaimana perasaan saya kalau saya ada di posisi mereka. Saya ingat, ada seorang sahabat yang mengeluh sikap orangtua murid di sekolah anaknya yang ‘iri’ karena anaknya diperlakukan secara khusus. “Lah, namanya juga anak gue special needs, ya, Lit, emang sudah seharusnya diperlakukan secara khusus,” atau ada juga sahabat yang mengeluh, “Gue bingung, kok ada orang yang beranggapan gue denial sama anak gue yang berkebutuhan khusus, gara-gara gue mau masukin anak gue sekolah di sekolah umum?” Atau ada juga teman yang berkomentar saat saya cerita di sekolah anak saya menerima anak berkebutuhan khusus, “Lo nggak takut anak lo i sama mereka?”. Duh, mendengar cerita seperti ini, saya seringkali marah dan sedih. Kenapa, sih, kita nggak bisa berempati sedikit? Kenapa, sih, kita mempermasalahkan perbedaan?
Tahu 'kan, Mommies, kalau setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, kebahagiaan, dan perhatian yang setara tanpa peduli status, kondisi fisik, atau mental mereka?
Saat ini, Save the Children didukung oleh IKEA Foundation mengadakan program Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) atau Community-based Rehabilitation (CBR). Save the Children mengangkat kampanye 'Equal Rights, Equal Opportunities' sebagai pesan yang hendak disampaikan kepada masyarakat.
Melalui program ini, Save the Children memfasilitasi orang tua untuk bisa menjadi terapis terbaik bagi anak-anak disabilitas, dengan memberikan pelatihan, konsultasi dan juga ilmu pengetahuan yang diperlukan. Selain itu, para orang tua bisa saling berbagi pengalaman mereka dalam mengurus anak-anak mereka yang spesial dan unik. Dengan demikian, orang tua bisa termotivasi untuk terus memiliki harapan dan bersemangat dalam mengasuh anak mereka.
Dalam menjalanan RBM, Save the Children secara erat juga bekerjasama dengan pemerintahan baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten, hingga desa. Mereka juga bersinergi dengan kelompok masyarakat, forum keluarga, lembaga swadaya masyarakat, rumah sakit, dan lembaga lain yang fokus pada perlindungan anak, khususnya anak dengan disabilitas. Dengan demikian, orang tua bisa mendapatkan fasilitas dan dukungan lain yang lebih lengkap lagi.
Hingga saat ini, Save the Children telah mendirikan sebanyak 184 RBM dengan dukungan dari 312 kader/ volunteers, untuk memfasilitasi 2.853 anak disabilitas. Tidak berhenti sampai di situ saja, Save the Children juga bekerjasama dengan Dinas Pendidikan tingkat propinsi dan setempat untuk memberikan pelayanan di 31 sekolah inklusif dan 14 Sekolah Luar Biasa. Sampai dengan saat ini, jumlah anak berkebutuhan khusus yang telah bersekolah telah mencapai 436 anak. Wilayah kerja Save the Children tersebar di 6 kabupaten/kota, antara lain Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut.
Tujuan yang hendak dicapai dari semua kegiatan ini adalah agar semua anak dengan disabilitas dan keluarganya di Indonesia, khsusunya di area project, mendapatkan haknya melalui akses rehabilitasi berbasis masyarakat, dan pendidikan yang berkualitas. Selain itu, lebih jauh orang tua dan anak disabilitas juga lebih percaya diri dan diterima oleh lingkungannya.
Jadi, yuk, Mommies, kita sama-sama mendukung kampanye ini. Karena kalau bukan kita, para orangtua, yang memperhatikan kehidupan anak-anak, siapa lagi?
“Children with disabilities are like butterflies with a broken wing. They are just as beautiful as all others, but they need help to spred their wings.”