Sedari SMP dulu, saya kepingin sekali nonton konser besar. Dulu, Bon Jovi yang memulai cita-cita itu, karena saya sekolah di daerah, dan pasti tidak mungkin rasanya bisa nonton konser itu, maka keinginan itu pun terpendam. Sampai akhirnya Java Jazz Festival 2014 menjadi konser pertama yang saya datangi di umur 34 tahun (kasian banget...), itu pun dapat tiket gratisan dari adik saya yang baik. Walaupun saya tidak fanatik tentang seluk beluk musik, tapi saya menikmati musik. Pergi ke konser musik seperti itu memberikan euphoria tersendiri, apalagi suami tercinta yang ilmu musiknya lebih mumpuni bisa memberikan semacam panduan untuk bisa mendapat info lebih banyak tentang apa yang didengar. Pergi berdua, nonton konser, tanpa anak, benar-benar 'quality time' buat berdua.
Lalu, sejak hiruk pikuk tentang konfirmasi kedatangan Michael Buble akhir tahun lalu, saya sudah info ke suami dan berharap-harap cemas supaya kami bisa nonton konser itu. Tapi apa mau dikata, ketika hitung-hitung dan segala prioritas rumah tangga didahulukan, rasanya pendanaan lumayan sesak untuk membeli tiket yang harganya lumayan wow. Lalu, direlakanlah keinginan tersebut dengan ikhlas seikhlas ikhlasnya.
Dan pagi tanggal 29 Januari 2015 – hari H konser, suami tidak siap-siap ke kantor seperti biasa. “Aku lagi cari dan tanya-tanya tiket buat nanti malam, tapi masih belum pasti ya...kalau emang jodoh, ya jadi. Kalau nggak, ya berarti nggak jadi. Kemarin ada yang nawarin cicilan 0%, lumayan...”, katanya. Saya yang sudah ikhlas pun jadi kembali sedikit berharap sambil senyum-senyum dalam hati. Dan mulailah cerita hari itu, setelah segala macam usaha dan doa, serta kenekatan, kami pegang 2 tiket di jam 5 sore untuk pertunjukan jam 8 malam. Senyum-senyum berdua sambil bersyukur plus deg-degan, kami akhirnya pergi ke konsernya Michael Buble di ICE BSD hari Kamis yang lalu.
Walaupun si Abang Michael cuma terlihat bentuk tubuhnya serta wajahnya yang tidak terlihat jelas, karena kursi kami terbilang jauh, walaupun masih banyak juga yang lebih jauh dari kami, tapi bumil 6 bulan ini girang bukan kepalang bisa ada di tengah hingar bingar konser musik semegah ini. Kami benar-benar menikmati waktu berdua. Saling peluk ketika lagu Home berkumandang, ikut menjerit bersama seisi gedung ketika Save the Last Dance dimainkan intronya, dan benar-benar 'enjoying the moment' bersama suami. Dan ketika di mobil menunggu antre keluar gedung, kami masih terperanjat dengan betapa indahnya momen itu buat kami berdua. Kami saling mengucap terima kasih atas hari yang luar biasa, momen yang sangat amat indah buat saya.
Yang saya mau bagikan adalah pengalaman berdua kami, menyisihkan waktu untuk benar-benar hanya berdua, anak dititipkan pada kerabat, menjadi waktu recharge untuk hubungan pernikahan kami. Kami sering juga bicara tentang tetap menjaga kemesraan yang berkualitas hanya untuk berdua, karena kami percaya, kalau kami memiliki hubungan yang baik dan harmonis, tentu aura dan efeknya akan juga positif untuk anak kami. Sejak umur 3 tahun, kami sengaja menyiapkan kamar untuk Abby, dan di umur ke-4 nya, ia berhasil tidur di kamarnya. Walaupun dalam praktik, ia masih suka ditemani dan saya masih bolak-balik ke kamarnya, tapi ia mengerti konsep kepemilikan serta privacy. Kamarnya sendiri, dan juga kamar kami.
Kami sedang menantikan anak kedua. Penyesuaian atas rutinitas yang selama ini sudah berjalan normal, dengan hadirnya anak kedua nanti pasti akan dibutuhkan. Tapi kami berdua menyadari bahwa kami perlu 'our time' berdua. Mungkin ada yang berpikir, “Kok tega sih ninggalin anaknya?”, tapi kami yakin keharmonisan dan kebersamaan yang dilakukan di 'our time' itu, bisa berdampak sangat banyak dalam proses kami berperan sebagai orangtua. Kalau kami berdua saja tidak harmonis, bagaimana kami bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kami. So, how about you, fellow parents?