Sebulan belakangan ini, saya cukup kebingungan dengan prilaku Menik (3 tahun 4 bulan) yang berubah. Anak yang sangat jarang tantrum ini, tiba-tiba bisa teriak histeris ketika marah. Semua barang yang di depan matanya akan dibuang, lanjut dengan teriakan super kencang yang pasti sangat menarik perhatian orang.
Pertama kali mengamuk dan berteriak kencang sekali adalah ketika Menik minta foto di sebuah studio. Kenapa anak 3 tahun bisa minta foto studio? Karena melihat sederetan kostum putri-putri Disney yang disewakan. Setelah dijelaskan bahwa baju tersebut tidak dijual dan hanya boleh dipakai kalau mau foto. Tentunya saya beritahu juga, kalau setelah foto, baju harus dikembalikan. Ternyata Menik bilang "Mau, bu! Menik mau foto pake baju Snow White, ya!" Ini hasil fotonya:
Bagus ya? Nah, harus tahu dulu drama setelah pemotretan selesai.
"Menik, yuk ganti baju dulu!"
"Ndak, Menik mau pakai baju ini terus!"
"Yah, nggak bisa, Nik! Kan ini bajunya Jonas. Harus dikembalikan. Nanti kalau ada yang mau foto pakai baju ini gimana?"
*kepala Menik menoleh dan mengintip ke tempat penyewaan kostum*
"Ndak ada, tuh!"
"Iya bukan sekarang.. nanti.."
"Kalau kakaknya mau pakai baju ini, suruh beli aja, bu. Yang ini dipake Menik, gitu.."
"Ya nggak bisa, ini bukan punya Menik. Yuk, ganti dulu!"
"NDAAAKKKK!!!"
Ini teriak, ya, dengan volume naik 200% kali. KENCANG SEKALI! Sampai suasananya Jonas yang ramai, hening sebentar, dan semua mata menuju ke Menik. Selanjutnya karena merasa salah tingkah diperhatikan oleh banyak sekali orang, Menik mulai nangis, teriak, dan tidak bisa dikendalikan.
Cepat-cepat saya gendong, dan bawa masuk ke ruang ganti. Sambil memeluk Menik berusaha menenangkan, namun hasilnya nihil, pemirsa. Ngamuk jalan terus, nangis semakin keras, dan tentunya bisik-bisik ibu-ibu lainnya mulai terdengar. Terpaksa saya buka baju Menik, menggantinya (untung waktu itu pakai dress, jadi bisa langsung masukin tanpa drama harus makein celana dan kaos) dan menggendong Menik ke mobil. On the way ke mobil, kerudung saya ditarik, muka saya hampir dicakar. Duhh! Sampai di mobil, saya persilahkan Menik marah dan menangis, tapi saya juga kasih tau, perilaku ini tidak akan membuatnya dapat baju Snow White. Karena baju itu tidak dijual dan memang tidak boleh dibawa pulang. Dalam perjalanan pulang, Menik tertidur.
Saat itu saya hanya menyimpulkan "Oh, anaknya ngantuk, makanya ngamuk sampai kayak gitu!" Eh, nggak tahunya, salah analisa, dong! Karena rupanya setelah kejadian ini, emosi Menik jadi mudah sekali tersulut. Sedikit-sedikit marah, terutama jika ada keinginannya yang tidak terpenuhi. Duh, ya Allah, mohon petunjuk-Mu! Ini anak dididik untuk tidak memaksa kehendak dan dirasa berhasil, kok, sekarang begini? *nangis*
Apa yang saya lakukan? Lihat di halaman selanjutnya!
Sejak itu, saya berusaha menjaga mood Menik. Pokoknya saya tidak mau membiarkan dirinya cranky, karena bisa berujung ngamuk nggak jelas. Kalau mau pergi, saya mengingatkan ke mana dan apa tujuannya. Kalau tidak ada acara beli-beli, ya, Menik nggak boleh minta. Tapi ngomong memang sangat mudah dibanding praktiknya, ya. Karena saya seperti kembali ke titik awal. Harus diulang, harus sabar, dan jujur saja, seringnya menghindari tempat yang menarik perhatiannya untuk minta sesuatu.
Ketika suasana hati Menik mulai kondusif, saya tidak terlalu berusaha untuk meredam emosinya. Sesekali anaknya memang masih masih marah, tapi tidak sering. Saya pikir, manusiawi saja. Namun tiba-tiba kejadian buruk berlangsung selama 4 hari berturut-turut. Menik marah setiap hari. Ada saja hal yang salah yang menyulut emosinya dan ujungnya mengamuk serta berteriak. Puncaknya adalah ketika terbangun dari tidurnya dan melihat saya sedang mengetik di sebelahnya.
Sambil berteriak, Menik bilang "Ibu nggak boleh ngetik!" lalu sepersekian detik kemudian laptop saya sudah dibanting. I was like "WHAT?" Mau nangis, mau marah jadi satu! Karena kejadiannya sudah hampir pukul 1 pagi, saya benar-benar tidak siap dengan rentetan kejadian berikutnya: Menik keluar dari kamar, membanting pintu, ngumpet di bawah mejanya, teriak-teriak histeris, masuk lagi ke kamar, semua bantal dibuang, lalu tiba-tiba ambil laptop saya dan bilang "Ibu mau ngetik, ya? Silahkannn!!" dengan nada penuh amarah. Duh, cepat-cepat saya memeluk Menik dari belakang. Saya istighfar di telinganya sambil bilang "I love you, Menik!" Ini adalah satu-satunya hal yang paling waras yang bisa saya lakukan. Karena kalau mau mengikuti emosi hati, rasanya sih saya mau marah balik. Lebih menyedihkannya, karena saat kejadian ini, suami saya tidak ada di rumah.
Keesokan paginya, saya langsung membawa Menik ke klinik tumbuh kembang di RSIA langganan Menik. Saya bertemu psikolog anak, dan menceritakan semua kejadiannya. Sambil diobservasi, akhirnya ada tiga hal yang salah satunya bisa jadi ada di diri Menik:
Lalu saya bengong. Apa ini? Oke, saya tahu temper tantrum. Tapi ADD, ADHD, dan ADHD -NOS ini baru saya dengar. I am such a clueless mom :(
Gambar dari sini
Lihat di halaman selanjutnya, ya!
Untuk menjawab kurangnya pengetahuan saya ini, dijelaskanlah oleh Wulan Ramadhani, Psikolog, yang juga share buku When Your Child has ADD/ADHD by Rebecca Rutledge, Ph.D.
ADD/ADHD ini adalah penyimpangan prilaku yang untuk menentukannya dibutuhkan diagnosa serius. ADD/ADHD biasanya terdeteksi pada anak-anak di bawah usia 7 tahun. Biasanya orangtua sulit mendeteksinya karena memang balita identik dengan aktif, impulsif, dan kurang atensi. So plese keep in mind, children with ADHD display extreme in these behaviour and often appear to have no self control over them.
Ciri-ciri ADD adalah:
Ciri Hyperactivity adalah:
Perlu diingat, semua ini harus terpenuhi baru anak bisa didiagnosa ADD/ADHD dan semua harus dalam penyimpangan prilaku yang ekstrem. Misalnya di kelas tidak bisa diam, tidak mau mengikuti petunjuk guru, asyik sendiri, sering gelisah, menggigiti kuku sambil menunggu waktu selesai, dan kadang histeris jika sudah frustasi karena tidak bisa mengikuti apapun dan tidak ada yang sesuai dengan kemauannya. Jika hanya memenuhi sebagian (tidak 9 hal diatas) namun dengan prilaku yang ekstrem, anak bisa dikategorikan sebagai ADHD-NOS.
TAPI sekali lagi perlu diingat, anak balita biasanya memang suka berprilaku seperti 9 ciri di atas, jika masih dalam tahap wajar, tidak ekstrem, dan tidak mengganggu tumbuh kembangnya, maka anak tidak bisa dikategorikan sebagai anak ADD/ADHD.
I am not capable to tell more about this, karena ini merupakan masalah perilaku anak yang serius. Tapi saya boleh bersyukur, setelah diobservasi, Menik tidak termasuk ADD, ADHD, atau ADHD-NOS.
Gambar dari sini
Lalu apa? Lihat di halaman selanjutnya.
*Gambar dari sini
Temper tantrum, because feels abandon that lead to outburst anger & hysterical. Walah, bukannya ibunya Menik ini kerja di rumah? Kok bisa merasa diabaikan? Sedih, ternyata ini justru karena saya bekerja di rumah, karena anaknya bisa merasakan vibe kerjaan ibunya, karena anaknya semakin besar dan semakin tahu tentang ibunya. Saya akui, jika masuk waktu saya bekerja, maka saya tidak bisa diganggu. Jika Menik memanggil padahal saya sedang kerja biasanya saya akan langsung jawab "Sebentar, Nik, ibu lagi kerja".
Ternyata memasuki usia 3 tahun, anak balita ini semakin pintar, semakin ingin tahu banyak hal, dan kadang merasa frustrasi dengan dunia yang tidak bisa dipahami. Jika tidak bisa mengolah emosinya, maka ujungnya anak akan marah, dan bisa memicu tantrum.
Several basic causes of tantrums are familiar to parents everywhere: The child is seeking attention or is tired, hungry, or uncomfortable. In addition, tantrums are often the result of kids' frustration with the world — they can't get something (for example, an object or a parent) to do what they want. Frustration is an unavoidable part of their lives as they learn how people, objects, and their own bodies work. (www.kidshealth.org)
Untuk kasus Menik, frustrasi karena ibunya mengabaikan dirinya setiap bekerja, berakhir pada teriakan histeris yang sebetulnya hanya untuk mengungkapkan perasaan marah dan tidak enak. Psikolognya menyarankan untuk terapi bersama, jadi kami diajarkan cara untuk mengelola emosi. Sulit memang, namun harus dicoba. Karena Menik tidak boleh merasa diabaikan tapi harus bisa menghargai pekerjaan ibunya.
Jadi bagaimana caranya?
Apa lagi? Klik di sini untuk tahu kelanjutannya ya.
Sudah, terapinya hanya itu. Terdengar mudah, tapi sejujurnya sangat sulit. Beruntung saat satu sesi, Menik sempat mengamuk betulan, jadi saya bisa melihat bagaimana penanganan langsung. Mungkin ini juga yang memudahkan saya untuk praktik langsung di rumah. Dan Alhamdulillah, setelah melewati hari demi hari, Menik mulai kembali menjadi 'my happy baby'. Pemicu kemarahannya memang harus dihindari tapi bukan berarti memanjakan. Usia 3 tahun bisa menjadi hal yang sangat membingungkan bagi si balita. They feel over whelmed!
Oh ya, sedikit soal tantrum, menurut Michael Potegal, Ph.D., a pediatric neuropsychologist dari University of Minnesota, tantrum dari sisi syaraf memang menjadi hal yang 'biasa' pada hidup anak-anak.
"That their outbursts are as normal a biological response to anger and frustration as a yawn is to fatigue. So normal, in fact, that you can make a science out of the progression of a tantrum and predict one down to the second. Kids from about 18 months to 4 years are simply hardwired to misbehave, he says. And that means “nurture” (i.e., you) isn't always to blame."
Nah, ini adalah pola ketika anak tantrum:
Mudah-mudahan tulisan ini mencerahkan hidup orangtua yang punya balita, ya. Bahwa tantrum merupakan hal yang lazim (walau tetap harus diperhatikan) dan sebisa mungkin kita terus sabar dan bisa mengajarkan anak mengendalikan emosinya.
Eh btw, ayahnya Menik ke mana? Ada, datang juga ke terapi. Nilainya bagus, hahaha, karena suami saya memang selalu bisa merendahkan nada suara dan tersenyum saat Menik mengamuk. Kalau saya? Tergantung kondisi, makanya sesi terapi bersama ibu lebih banyak dibanding bersama kedua orangtua :p
Selamat (belajar) sabar (lagi dan lagi), Mommies!