Sorry, we couldn't find any article matching ''
Stay At Home Dad; Yay or Nay?
Tahukah Anda bahwa stay-at-home-dads—alias SAHD—sudah mulai menjadi hal umum? Biro Sensus Amerika Serikat menyatakan bahwa per tahun 2012, jumlah SAHD di Amerika Serikat adalah 2.2 juta, meningkat dua kali lipat sejak tahun 1989. Di Indonesia, SAHD mungkin masih dianggap spesies yang langka dan misterius, but they do exist, and they are awesome!
Beberapa waktu lalu, saya ngobrol dengan dua teman baik saya, Mekka dan Danny. Mekka (32) adalah seorang fotografer, suami dari Icha, dan ayah dari Kai Imara (2thn 3bln), sementara Danny (33) adalah seorang pengusaha swasta, suami dari Flora, dan ayah dari Quba (2thn 9bln). Persamaan Mekka dan Danny? Keduanya adalah SAHD.
Kami ngobrol banyak tentang putri-putri cantik mereka, suka-duka menjadi SAHD, dan saya sangat terinspirasi oleh perbincangan kami.
Ps. Husbands, you HAVE to read this.
***
Ceritain, dong, gimana awalnya terjadi pembagian lo yang menjadi pengasuh utama anak, sementara istri kerja di luar rumah?
Mekka:
Dari awal menikah, yang kerja kantoran dari pagi sampe sore ‘kan memang Icha, sementara gue lebih banyak kerja di akhir pekan. Kalo weekdays, gue lebih sering di rumah atau kerja dari rumah.
Setelah Kai lahir, kami nggak mengubah jadwal kerja. Alhasil, disepakati gue yang sehari-harinya bareng Kai, sementara Icha ngantor.
Danny:
Gue jadi SAHD karena keadaan aja, sih. Flora adalah seorang wanita karir yang harus pergi kantoran, sementara gue punya bisnis laundry—dan sekarang online shop baru yang nggak laku-laku, nih, hahaha!—yang schedule-nya bisa gue atur sendiri.
Kenapa nggak pake jasa babysitter alias nanny alias ncus?
Mekka:
Karena kami memutuskan bahwa kami harus deket sama anak. Kalo enggak, bisa jadi sumber masalah kedepannya. Gue berkaca dari keluarga gue sendiri, sih. Gue empat bersaudara, dan kami nggak ada yang bener-bener deket sama orangtua—khususnya bapak—dan setiap diskusi apapun sama orangtua, ujung-ujungnya pake emosi.
Selain itu, gue dan Icha juga mengkhawatirkan jaman, jadi gue berniat ngebekelin Kai secara total sejak dini, apalagi Kai anak perempuan. Jangan sampe ada penyesalan di kemudian hari, deh.
Kami nggak anti asisten rumah tangga, kok, tapi karena gue masih ada waktu dan kesempatan ngurus Kai sendiri, kenapa enggak?
Danny:
Karena kami nggak ada budget untuk nge-hire babysitter. Ada, sih, tapi kami ingin dananya dialokasikan ke hal lain yang menurut kami lebih penting.
Selain itu, gue orangnya juga nggak gampang percayaan, sih. Gue nggak bisa ninggalin Quba sama orang lain yang bukan keluarga, walaupun sebentar dan walaupun orang itu gue kenal dekat. Kalo Quba sepenuhnya berada dalam pengawasan orangtuanya sendiri, gue merasa lebih nyaman. Lagian, menurut gue, menjaga Quba ‘kan tanggungjawab gue sebagai orangtua.
Selanjutnya: Apakah kondisi tanpa pengasuh akan selamanya mereka jalani?
Kira-kira mau sampe kapan, nih, ngurus anak sendirian?
Sampe Kai lancar berkomunikasi. Kalo udah begitu, gue dan Icha baru pede untuk pake asisten. Jadi, kalo ada apa-apa, at least Kai bisa laporan lengkap.
Ceritain, dong, hari-hari awal jadi SAHD! Tanggepan keluarga gimana?
Mekka:
Dari awal nikah sampai Icha hamil, kami tinggal di rumah orangtua gue tanpa ART, dan dari awal, orangtua gue memang berniat cuma jadi tim hore aja, nggak mau banyak ikut campur.
Jadi, deh, pas Kai lahir, gue bener-bener manfaatin waktu untuk belajar ngurus bayi sebelum Icha mulai ngantor. Mulai dari belajar gendong, mandiin, sampai ngasih ASIP pake cupfeeder. Alhamdulillah, semua bisa diurus sendiri.
Tapi ujian sebenernya dimulai saat Icha kembali ngantor. Apalagi cutinya Icha cuma 1,5 bulan setelah melahirkan, karena 1,5 bulan-nya dipakai sebelum melahirkan. Jadi waktu gue untuk belajar ngurus Kai lumayan singkat!
Awalnya gue nervous. Apalagi jaman Kai masih minum ASIP pake cupfeeder. Lumayan bikin stress, tuh!
Tapi lama-lama gue terbiasa, ditambah jarak dari rumah orangtua gue ke kantornya Icha, tuh, deket. Jadi sekitar jam 4 sore Icha udah bisa ada di rumah.
Kemudian kami pindah ke rumah sendiri, di Tangerang Selatan, tanpa ART. tanpa sopir. Awalnya, sih, gue dan Kai sering menghabiskan hari di rumah ortu selama Icha ngantor. Tapi lama-lama kami sadar, kalo begini terus, kami nggak akan mandiri di rumah sendiri.
Akhirnya gue dan Kai jadi jarang ngabisin hari di rumah ortu lagi. Berduaan aja seharian, entah di rumah aja, pergi-pergi untuk melakukan chores, atau antar-jemput Icha ke stasiun kereta.
Danny:
Karena keputusannya adalah gue yang jaga Quba full-time, sejak Quba bayi, mau nggak mau gue harus belajar banyak. Yang pasti, Flora berperan besar dalam membentuk gue menjadi SAHD. Gue, sih, awalnya juga bego, kalo nggak diajarin Flora tentang asah, asih, asuh anak. Tanpa dukungan bini, gue nggak bisa apa-apa. Flora banyak sekali riset dan baca-baca, baik dari Google ataupun sumber lain, dan langsung di-share ke gue.
Seiring dengan waktu, gue jadi ketempa dengan sendirinya, dan jadi cekatan ngurus anak. Orang-orang pun bisa lihat sendiri kemampuan gue dalam ngurus anak. Gue cuma nggak bisa netekin, lho! Hahaha, sombong sekaliii…
Ujung-ujungnya keluarga gue—terutama bokap nyokap—pada kaget. Kok gue bisa, ya? Hahaha!
Tapi gue nggak ngerjain semuanya sendiri, kok. Kami masih tinggal di rumah orangtua Flora, jadi gue masih dibantu sama ART mertua untuk masalah masak dan kadang-kadang nyuapin, kalo gue lagi ngantuk atau kalo bocah lagi rewel bener, hihihi.
Describe your typical weekday!
Mekka:
Pagi hari, ada dua skenario. Pertama, Kai bangun agak siang. Kalau begini, berarti kami nggak nganter Icha ke stasiun kereta. Kedua, Kai bangun sebelum Icha berangkat lantor. Kalau begini, kami pergi bareng nganter Icha ke stasiun. Jam enam pagi harus udah berangkat dari rumah.
Pulang dari stasiun, Kai rutin minta bubur ketan item, entah di Bintaro Sektor 9 atau nyegat yang lewat depan rumah. Kai paling sering sarapan bubur ketan item, sereal, atau roti pake nutella. Antara tiga itu, atau tiga-tiganya sekaligus, hahaha.
Trus, Kai paling suka sarapan sambil nonton acara TV Keluarga Pak Somat. Karakter favoritnya adalah si Dudung, hehehe. Setelah makan dan nonton, saatnya Kai mandi.
Siangnya, Kai main seharian, soalnya belakangan ini, dia udah nggak tidur siang. Pokoknya kalau nggak nyusu langsung dari ibunya, dia nggak tidur, deh.
Kalo gue lagi nggak sibuk, palingan kami gambar-gambar dan mewarnai bareng. Tapi kalo gue lagi ada kerjaan, Kai bisa anteng sendiri nonton Youtube di iPad.
Selain main di rumah, Kai juga lumayan sering main di komplek, bareng anak-anak tetangga. Kadang kami juga pergi ke mall dekat rumah, khususnya kalo harus groceries atau belanja bahan makanan dan perlengkapan rumah tangga.
Untuk makan siang, biasanya gue masak untuk kami berdua.
Kalo lagi males ribet, gue nyiapin Mac and Cheese atau telur, karena Kai paling gampang makan telur. Kalo lagi mau ribet, gue biasanya masak tumis-tumisan. Baru-baru ini gue sukses bikin beef yakiniku pake toge dan brokoli, sampe besok-besoknya Kai rekues lagi, “Aku pengen toge! Aku pengen brokoli!”
Menjelang sore, kami jemput Icha, dan kadang Kai ketiduran di mobil. Kalo dia nggak ketiduran di mobil, pas ketemu Icha biasanya Kai langsung nyusu, baru tidur. Kalo siangnya dia nggak tidur, jam tidur malem Kai cepet, sekitar jam 6.30 sore, deh. Kadang kebangun tengah malem atau subuh untuk nyusu lagi, tapi belakangan jarang, sih.
Tapiii… kalo Kai tidur siang, tidur malemnya bisa baru jam 11 malem!
Setelah jemput Icha, kalo Kai nggak ngantuk, kadang kami pergi cari makan atau nonton bioskop bertigaan dulu, dan Kai seringkali ketiduran di bioskop.
Danny:
Gue selalu bangun sebelum adzan subuh, trus langsung ngacir ke masjid untuk subuh berjamaah. Ini pencitraan banget nggak, sih? Jangan diedit, yak! Hahaha.
Trus, sekitar jam 7 pagi, kalo Quba udah bangun, dia langsung dimandiin Flora, karena Flo selalu pengen nyempetin mandiin Quba pagi-pagi. Tapi kalo Flo lagi buru-buru, gue yang mandiin Quba, sementara Flo siap-siap.
Jam 8 pagi, gue nganter Flo ke stasiun kereta naik motor, trus pulang dan nemenin bocah sarapan.
Tapi kalo Quba baru bangun jam 8 atau setengah 9 pagi, biasanya dia langsung sarapan baru mandi.
Trus, antara jam 9 sampai 12 adalah waktu ‘asoy’ gue dengan Quba untuk main, soalnya jam segitu biasanya Quba lagi seger-segernya. Biasanya kami main puzzle, nyusun balok, main Lego, main Playdoh, melukis, menggambar, mewarnai, dan lain sebagainya. Bebas main apa aja, yang penting Quba suka dan sesuai mood-nya.
Kadang mainnya diselingi dengan nonton TV. Dulu, sih, setiap jam 10 pagi Quba nonton Hi-5 sambil joget-joget bareng gue. Pernah kejadian, ART tetangga lewat, trus cekikikan ngeliat gue joget-joget. Tengsin gila! Tapi lama-lama bodo amat, cuekin aja, hehehe.
Gue, sih, bersyukur punya anak cewek yang mainnya nggak terlalu liar seperti anak cowok. Gue paling suka main dokter-dokteran. Gue tinggal tidur, trus bocah yang obat-obatin. Atau main kutek-kutekan atau pijet-pijetan, gue tinggal selonjor manis, hahaha!
Trus, jam 12 siang adalah waktunya makan. Nah, setelah makan siang, biasanya Quba cranky karena ngantuk. Langsung gue waslap-in, trus masuk kamar, ganti baju, siap-siap bobok siang. Ini adalah tantangan buat gue, karena biasanya susah bikin bocah tidur. Trik gue adalaaah… gadget time! Sumpah membantu banget. Biasanya gue ambil iPod, trus pasang video Youtube lagu-lagu lullaby, video dongeng Disney, Barney, atau apapun yang bocah suka. Kayak sekarang, Quba lagi suka nonton video mainan Playdoh dan surprise eggs.
Kalo nonton Youtube nggak ampuh juga, biasanya do’i minta dibacain buku, dan akhirnya tidur sendiri saat gue lagi ngedongengin.
Biasanya jam 4 sore Quba bangun, trus gue mandiin dan kasih makan sore, deh. Kalo belum gelap, gue suka bonceng Quba naik sepeda keliling komplek, dorongin sepedanya, atau main perosotan di playground komplek. Dulu, sebelum kami punya kucing sendiri, sekali seminggu gue suka ngajak Quba ke petshop liat anjing dimandiin atau kucing didandanin, soalnya anak gue suka binatang.
Kalo semua ‘ritual’ udah selesai, gue baru bisa tenang pergi nengokin kerjaan. Biasanya gue cabut jam setengah 6 sore, dan jam 7 malem Flo udah sampe rumah.
Selanjutnya: Apa yang mereka pelajari dengan menjadi Stay At Home Dad?
Mekka, gue kagum, nih, sama Kai yang udah anteng nonton bioskop dari bayi. Tapi lo dan Icha emang movie buff banget, sih. Nggak heran kalo Kai udah diajak nonton dari dulu. Ceritain, dong, soal pengalaman Kai nonton bioskop!
Sejauh ini, Kai udah 30 kali diajak nonton bioskop, tapi yang bener-bener dia tonton dari awal sampe habis, tuh, cuma sekitar lima film, lah.
Setiap nonton, Kai selalu anteng. Mungkin karena dari awal, dia udah merhatiin bahwa suasana di dalam bioskop tuh gelap, orang-orang pada sunyi dan fokus ke layar, sehingga terbentuk mindset bahwa di bioskop nggak boleh berisik.
Kai cuma bersuara kalo di layar ada figur anak kecil—yang selalu dia anggap sebagai figur “kakak”—dan kalo minta makan. Cemilan favorit Kai di XXI, tuh, roti gambang alias gingerbread, hihihi.
Meskipun tiap nonton Kai relatif anteng, gue dan Icha tetap komit, kalo di tengah film Kai rewel, kami harus langsung keluar.
Lo belajar hal-hal baru apa, setelah jadi SAHD?
Mekka:
Setelah jadi SAHD, gue baru sadar sepenuhnya bahwa mental perempuan, tuh, memang kuat banget. Menurut gue pribadi, sih, dibandingkan dengan bapak, ibu lebih sabar dan bisa meng-handle anak dengan lebih baik dalam keadaan apapun.
Jujur, kadang gue bangga karena merasa bisa—atau bahkan lebih bisa—ngurus Kai daripada Icha, tapi rasa bangga itu langsung hilang ketika gue ngebandingin diri gue dengan Icha sepenuhnya.
Contoh kecil aja, nih. Suatu hari, di rumah, gue ngambil barang di lantai. Nah, pas ngebungkuk, dada gue nempel di muka Kai, dan do’i spontan aja ngegigit pentil gue. Sakitnya, maaaak… di sini, di sana, di mana-mana! Padahal itu cuma sekali kejadian aja, lho, sedangkan para ibu mengalami itu berkali-kali saat menyusui.
Hal-hal seperti ini yang membuat gue semakin paham, kenapa agama gue, Islam, sangat mengutamakan ibu.
Danny:
Menjalani peran sebagai SAHD membuat gue lebih bersyukur dengan apa yang gue punya. Gue juga jadi bisa mengukur kemampuan gue, sekaligus belajar untuk jadi orang yang lebih sabar dan ikhlas. Pasti pada tau, ya, ngurus anak, tuh, perlu kesabaran yang sangat tinggi. Nggak ada kursus ‘Bersabar Jadi Orangtua’ maupun cara-cara paten yang ada bukunya di Gramedia.
Ibu gue pernah bilang, “Jangan pernah marah kalau anak kamu main sampai rumah berantakan seperti kapal pecah. Beresin aja dengan ikhlas. Dan kalo besoknya berantakan lagi, lakukan hal yang sama setiap hari. Karena jika anak nanti sudah besar, menikah dan keluar rumah, kamu akan benci melihat rumahmu bersih, rapih dan sepi.”
Menurut lo pribadi, apa keunggulan ayah dibandingkan ibu saat menjadi pengasuh utama anak?
Mekka:
Hmmmm, gue justru merasa, ibu lebih bisa mencintai anak tanpa syarat, sementara kalo bapak kayaknya masih ada harapan-harapan tertentu ke anak, seperti, “Lo musti begini-begitu, dong, ke gue.” Entah karena ibu punya naluri khusus, karena sembilan bulan mengandung, karena menyusui anak langsung, atau apa, ya?
Danny:
Hal ini kayaknya nggak bisa dibandingin, deh, soalnya cara asuh ibu umumnya lebih hebat, berhubung sudah kodratnya.
Tapi mungkin, ayah lebih unggul untuk kegiatan-kegiatan yang berbau fisik, seperti lari-lari di lapangan, main bola, main sepeda, dan sebagainya.
Trus, gue sendiri merasa lebih bisa gerak cepat dan ringkes dibandingkan istri. Seperti kalo mau ajak Quba ke mall, Flo pasti ribet bawa ini lah, itu lah. Sibuk ngurusin benda-benda yang situasional alias diperlukan just in case aja. Jadi untuk persiapan pergi aja, bisa abis waktu sejam. Cape, deeeh…
The best thing about being a SAHD?
Mekka:
Di saat gue merasakan manfaat ngurus Kai sendiri, tanpa bantuan ART. Kayaknya segala pengorbanan dan kerepotan gue, tuh, terbayarkan, deh!
Sekarang ini, kami mulai ngerasain manfaatnya, mulai dari hal-hal kecil.
Kami jadi makin yakin bahwa megang anak sendiri itu banyak sekali positifnya untuk perkembangan Kai dan keluarga kami nantinya.
Danny:
The best thing-nya adalah, gue jadi bisa menyaksikan masa-masa emas Quba sepenuhnya.
Kalo lo punya anak, lo pasti akan takjub melihat dan merasakan perkembangannya dari hari ke hari, mulai dari si bocah masih bayi, sampe dia bisa nyanyi, bawel, lelompatan dan lari-lari seperti Quba sekarang ini. Bener-bener, deh, God is a scientist!
Selanjutnya: The worst thing of being SAHD dan tantangannya..
The worst thing?
Mekka:
Di saat gue nggak bisa ngendaliin emosi, ketika Kai lagi cranky atau rewel.
Kalo lagi marah, gue bisa ngebentak atau bahkan ngebanting barang depan Kai, pernah sampe dia keliatan ketakutan, huhuhu. Tapi sekarang, tiap abis marah, gue selalu ajak ngomong Kai baik-baik sambil ngasitau alasan gue marah, dan harus ditutup dengan pernyataan, “Papa udah nggak marah.” Kalo udah begitu, mood Kai baru bisa enak lagi.
Danny:
Palingan masalah komitmen. Keputusan gue menjadi SAHD pastinya berimbas ke hal-hal lain juga. Mungkin produktivitas kerja gue jadi nggak maksimal, trus waktu main atau kumpul bareng temen-temen juga jadi berkurang.
Dilema, sih, karena gue perlu bersosialisasi langsung dengan temen-temen, apalagi untuk mengembangkan bisnis. Relation is important, tapi ya, harus gue korbankan.
Tantangan terbesar jadi SAHD?
Mekka:
Sejauh ini adalah… nggak punya ASI! Disaat Kai lagi mau bonding dengan cara netek, udah deh, gue mati kutu. Nggak bisa digantiin dengan apapun. Hal ini adalah momen tricky buat gue, karena gue harus mampu men-distract Kai tanpa jadi emosi.
Meski begitu, gue bersyukur Kai masih nyusu langsung sama ibunya, karena dengan begitu, dia jadi masih menomorsatukan ibunya, meskipun sehari-hari bareng gue.
Gue memang kepengen Kai selalu menomorsatukan ibunya—sesuai dengan ajaran Islam—dan guenya pun selalu membentuk mindset Kai agar menjadi begitu.
Danny:
Dalam kasus gue, sih, gue cuma nggak bisa masak. Bisa, siiih, tapi makanan buat gue sendiri. Kalo buat anak, takutnya nggak enak, hehehe. Dulu, pas awal-awal Quba MPASI, gue, sih, bisa masakkin, soalnya masih gampang. Kalo sekarang ‘kan selera makanan anaknya variatif. Mana Quba doyannya ceker sama lele goreng, kali deh gue bisa masaknya! Hahaha!
Trus, untuk sekarang ini, yang anak gue butuhkan adalah bersosialisasi dengan teman seumurannya. Masalahnya, yang bawa bocah main ke blok belakang rumah ’kan gue. Kadang-kadang anak-anak lain suka serem sama gue. Mungkin mereka takjub dengan penampilan gue yang metal bingits, hahaha.
Trus, anak-anak lain ‘kan biasanya ditemenin mbak-mbaknya. Nah, gue suka mati gaya kalo ngobrol sama para mbak. Trus ntar bisa-bisa warga nyangkain gue goda-godain pembantu pula. Bah!
Ada saran, tips, atau kata-kata mutiara untuk calon SAHD di luar sana?
Mekka:
Saran gue, kalo emang cuma berduaan aja sama anak di rumah, usahakan spend time bareng total, jangan asik sendiri-sendiri. Apalagi kalo anak attached dengan gadget, kita harus pantau penggunaanya.
Trus, sebagai orangtua, biasanya kita selalu sok tahu dan berusaha ngajarin anak melulu, padahal dalam jangka panjangnya, anak akan JAUH lebih banyak ngajarin kita. Be prepared!
Terakhir, ini saran untuk semua bapak, sih, bukan cuma SAHD: selagi bisa dan ada waktu, lo harus ikut ngurusin anak bareng istri. Meskipun misalnya istri lo nggak minta, dia sebenernya sangat menghargai sekecil apapun usaha lo. Contohnya, nggak usah gantiin popok, deh. Buang popok aja, istri pasti akan appreciate.
Contoh lain, nih. Umumnya suami pada bingung, kenapa para istri pengen mereka ikut bangun saat nyusuin bayi tengah malem, khususnya saat bayi masih newborn dan masih sering bangun malam.
Kalo dari sudut pandang suami, emang nggak masuk akal, ya. ‘Kan yang nyusuin ibunya? Tapi kalo dari sudut pandang istri, gestur ikut bangun malem akan sangat dihargai sebagai moral support, dan bisa bikin istri jadi lebih percaya sama suami. Lagian yang lagi disusuin ‘kan anak lo juga? Istri lo udah memberikan jiwa dan raganya untuk ngurus anak kalian, the least you can do adalah memberikan dukungan batin untuk istri. Begitu, deh, kira-kira.
Danny:
Kita harus sadar akan hakikat kita sebagai orangtua. Kita nggak bisa menyerahkan seluruh tanggungjawab ngurus anak kepada babysitter, ART atau kakek-neneknya. Secara harfiah, asisten berarti ‘pembantu’, jadi peran mereka hanyalah nolong kita ngerjain hal printilan, demi memudahkan kita mengurus anak.
Ngurus anak bukan kerjaan utama para babysitter atau ART. Tapi jaman sekarang, yang kebanyakan gue lihat, tuh, justru seperti itu. Orangtua pada salah kaprah. Jadi jangan salahin orang kalo anak tiba-tiba ngomongnya ‘ngapak’, atau jadi apal lagu, “Sakitnya tuh disiniii… Didalam hatikuu…” gara-gara mbaknya.
Intinya, you can’t point your finger to someone else for your own fault.
***
Seru dan inspiratif banget nggak, sih? Rasanya seperti mendapat angin segar di tengah budaya Indonesia yang masih ‘menganggap’ ayah tidak bisa mengurus anak sebaik ibu. Siapa tau, lama-lama anggapan tersebut bisa bergeser, ya?
PAGES:
Share Article
COMMENTS