14 Oktober 2014, siang hari
"Nama Alana bagus ya yah,.. itu kalo cewek."
"Nama belakangnya Sulistyo, ambil nama ayah.."
Sorenya...
"Dokter, dari kemarin kok bayinya agak anteng ya"
"Kalau agak anteng harus dikhawatirkan, coba kita liat dulu, semoga ga kenapa-kenapa"
Ternyata memang benar, feeling seorang ibu tidak bisa dibohongi, detak jantung bayi saya pelan sekali, bahkan hampir berhenti, dokter langsung menyarankan saya untuk opname untuk diberi oksigen dan diobservasi secara intensif.
Syok bukan main yang saya rasakan, hanya ingin menangis, tapi dokter selalu mengingatkan bahwa saya harus kuat. Karena kalau jika saya menangis, supply oksigen ke bayi semakin berkurang. Suami juga selalu menguatkan, menghibur bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dokter bilang cukup semalam observasinya, biasanya ini disebabkan karena ibunya kecapekan. Saya bingung, capek kenapa? Pekerjaan saya bukan yang menuntut saya banyak bergerak. Beberapa waktu memang ada saja acara setiap minggu, tapi saya berusaha tidak capek, karena mengingat kandungam saya yang sudah masuk 8 bulan.
Sebelum masuk ruang perawatan, saya masuk sebuah ruangan untuk NST/ rekam jantung janin, saat di NST, detak jantung bayi saya sampai 180 dengan batas normal 120-160. Setelah itu saya dipasang selang oksigen selama 1 jam.
Setelah 1 jam diberi oksigen, saya dipindahkan ke ruang observasi. Detak jantung bayi sudah mulai stabil sekitar 150-170. Setiap jam, Bidan selalu cek detak jantung bayi. Malamnya ketika bidan mengontrol, detak jantung bayi saya drop lagi, hanya sampai 60-80 saja. Suara detak jantungnya pun sangat lambat, bidan langsung memasang selang oksigen lagi supaya supply oksigen masuk lebih banyak ke bayi.
Setelah dua hari dirawat, saya kemudian diperbolehkan pulang.
"Dok, kejadian kemarin ada pengaruhnya ga ya ke bayi saya setelah lahir?"
"Kita berpikir positif saja ya Bu, semoga bayinya sehat terus sampai dilahirkan, dan setelah lahir juga sehat terus"
"Kemarin sebenarnmya panyebabnya apa dok, kenapa bisa kekurangan oksigen"
"Itu bisa karena ibunya terlalu capek, atau ada masalah pada tali plasentanya seperti tali plasenta mengikat ke leher atau talinya melintir juga bisa, buat memastikan lebih baik Ibu USG 4D aja, nanti semua bisa terlihat penyebabnya apa"
Setelah pulang ke rumah, dokter mengharuskan bedrest seminggu, selama bedrest saya mencari informasi Dokter dan rumah sakit mana yang menyediakan pelayanan USG 4D. Karena nggak semua rumah sakit menyediakan USG 4D. Akhirnya saya dapat referensi 2 dokter yang bisa USG 4D, dan keduanya harus melakukan janji dulu jika ingin USG 4D, karena waktu untuk USG lumayan lama sekitar 1 jam. Namun saat saya menemukan informasi tersebut sudah Jumat malam, jadi saya belum bisa membuat janji dengan dokternya.
Selanjutnya: Kecapekan saja, atau..?
18 Desember 2014, saya kembali kontrol ke dokter langganan saya, Alhamdulillah detak jantung bayi sudah stabil, kedipan di layar USG menandakan detak jantung bayiku sudah normal.
Alhamdulillah Ya Allah.... sudah mulai lega hati ini, karena semenjak pulang opname kemarin, si baby jadi lebih anteng dari biasanya, intensitas tendangannya berkurang daripada sebelum saya opname.
"Nah ini sudah bagus ini detak jantungnya, mungkin memang kecapekan aja ibunya"
"Jadi sudah sehat ya dok bayi saya"
"InsyaAllah sudah, kita lihat sampai minggu depan, Kalau sampai minggu depan masih seperti ini terus, InsyaAllah sudah sehat"
"Saya belum sempat USG 4D dok"
"Kalau seperti ini saya rasa ga perlu USG 4D, tapi kalau masih penasaran, silahkan USG"
Akhirnya setelah didiskusikan dengan suami dan keluarga, kami tidak melakukan USG 4D. Dilihat dari kondisi bayi yang sudah mulai sehat, jadi saya cukup istirahat saja.
Hanya puji syukur yang sanggup saya ucapkan kepada Allah, karena bayi saya sudah berangsur sehat kembali, selama bedrest seminggu di rumah, saya perbanyak stimulus ke bayi yang ada di perutku, hanya untuk merasakan tendangannya. Tapi tendangan bayi saya semakin lama semakin sedikit, hanya saja yang masih membuat lega adalah setiap malam menjelang tengah malam, si baby ada pergerakan sedikit, itupun setelah dipanggil-panggil oleh ayahnya.
Tiga hari bedrest di rumah, perasaan saya sudah semakin tidak nyaman, antara bosan, dan mulai stres memikirkan bayi saya yang semakin lama semakin anteng. Namun saya ber-positive thinking bahwa bayi saya akan baik-baik saja, karena setiap malam masih ada respon jika diberi stimulus. Akhirnya saya memutuskan untuk berangkat kerja lagi 1 hari, dan sorenya saya niatkan untuk kontrol ke dokter. Lebih cepat 2 hari dari jadwal yang diberikan oleh dokter.
Karena klinik dokter langganan saya ada di sebelah kantor, maka saya pun langsung menuju ke klinik sambil menunggu suami yang sedang dalam perjalanan. Saat nomor antrean saya dipanggil, suami masih dalam perjalanan, saya terpaksa masuk sendiri ke ruangan dokter
Dokter memeriksa seperti biasa, namun ketika dicari detak jantung bayi, detak jantung itu tidak ada. Kedipan di layar USG yang menandakan posisi jantung bayi juga tidak ada.
Di mana kedipan itu... Di mana detak jantung itu......?
Selanjutnya: Berita yang membuat dunia kami runtuh
"Ini yang saya takutkan waktu minggu lalu Ibu Tia saya minta opname di sini"
"Kenapa dok, ada apa Dok.."
"Kita sudah berusaha semaksimal mungkin Bu, Tapi mungkin ini yang terbaik buat bayinya Ibu Tia"
"Coba dicari lagi dok, pasti ada dok"
"Semoga saya yang salah mba, silahkan Ibu Tia diskusikan dengan suami, silahkan cari Second Opinion ke dokter lain untuk memastikan"
"Dok... tolong diperiksa lagi dok"
"Saya minta maaf mba, kita semua sudah berusaha sebaik mungkin,'
Yaa Allah... Dunia seakan terbalik... semua gelap... aku harus bagaimana Yaa Allah...
Di luar ruangan dokter, sambil menunggu suami saya datang, saya hanya bisa diam. Bahkan untuk menangispun tidak bisa. Saya syok bukan main. Saya bingung luar biasa dan saya sedih setengah mati.
Tak berapa lama kemudian, suami saya datang, pelan-pelan saya sampaikan hasil diagnosa dokter, dan tepat perkiraan saya, suami juga tak kalah syok.
Setelah berdiskusi, akhirnya kami sepakat langsung menuju ke rumah sakit langganan saya. Di sana kami langsung mendaftar ke dokter kandungan yang saat itu sedang praktik.
Saat masuk keruangan dokter, saya jelaskan ke dokter kondisi bayi saya yang sempat kekurangan oksigen minggu lalu, namun saya tidak berani bilang ke dokter kalau bayi saya sudah tidak ada detak jantungnya,
Sejujurnya saya masih berharap kalau dokter langganan saya yang salah.
Kemudian Dokter memeriksa kandungan saya melalui USG, setelah dicari ternyata benar, Dokter tidak menemukan detak jantung bayi dalam kandungan saya. Semua hampa, seperti melihat pada ruangan kosong... Bayi kami sudah tidak ada.
"Mohon maaf ibu, Bayinya memang sudah tidak ada. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah, bisa saja bayinya memang cacat, jadi seperti seleksi alam, jadi sekarang diambil lagi oleh Allah, dan besok diganti lagi yang lebih baik, yang lebih sehat"
"Bener-bener sudah tidak ada detak jantungnya ya dok" suami saya bertanya
"Iya Pak, diikhlaskan ya Pak, lagipula kalau misalnya masih ada dan dipaksakan diteruskan juga kasihan, kasihan bayinya, dan orangtuanya pasti juga kasihan, karena kemungkinan besar bayinya cacat"
"Jadi kami harus gimana dok, harus operasi?" suami saya bertanya
"Saya tidak menyarankan operasi, karena ini kan bayinya sudah ga ada, jadi saya ga mau ambil risiko dengan operasi. Jadi kita akan usahakan lahir normal dengan induksi. Kalau operasi nanti penyembuhannya lama. Kalau lahir normal nanti 3 bulan lagi sudah bisa program hamil lagi. Cuma memang harus sabar, karena tiap orang reaksinya beda-beda terhadap obat. Bisa sampai 3 hari, tapi semoga saja bisa lebih cepat. Jadi harus sabar, dan keluarga juga harus diberi pengertian kalau prosesnya lama"
"Kira-kira kenapa dok, apa penyebabnya"
"Kita masih belum tahu, karena di USG juga tidak kelihatan penyebabnya, nanti setelah lahir baru kita bisa tahu penyebabnya apa"
Kami minta waktu ke dokter untuk menenangkan diri, saya dan suami sama-sama menangis di lobi rumah sakit. Dunia seakan gelap semuanya, agak lama kami menangis. Kemudian kami menghubungi keluarga di rumah, memberi kabar tentang apa yang terjadi. Setelah itu kami ke ruang IGD untuk memulai menjalani prosedur kelahiran.
Keluarga satu per satu berdatangan, semua menangis, terutama saat orangtua kami datang.
Saya melihat kesedihan dan kekecewaan di mata mereka.
Yaa Allah ... aku telah mengecewakan mereka..
Selanjutnya: Proses melahirkan yang menyakitkan
Setelah proses administrasi dan persiapan masuk ruangan bersalin selesai, saya dipindah ke ruangan bersalin.
Mulai jam 10 malam satu persatu obat induksi dimasukkan ke dalam tubuh saya. Total ada 3 macam obat induksi.
Tak lama kemudian saya sudah mulai merasakan mulas-mulas di perut, dan rencananya besok pagi akan dipasang balon keteter di jalan lahir untuk menambah rangsangan agar pembukaan berjalan cepat.
Rasa sakit di perut terasa luar biasa, tapi tidak sesakit rasa sakit di dalam hati saya. Rasa sakit karena kehilangan dan rasa sakit karena membuat orang-orang yang saya sayangi kecewa.
Saat itu fokus utama saya adalah saya harus menghemat tenaga untuk proses melahirkan nanti, karena kami tidak tahu, seberapa lama proses induksi akan bereaksi pada tubuh saya. Jika saya sedih sekarang, jika saya menangis sekarang, saya tidak ada tenaga untuk nanti proses melahirkan, belum lagi ditambah mual luar biasa membuat saya tidak bisa menerima makanan dari luar.
Keesokan harinya, bidan masuk ke ruangan untuk memeriksa jumlah bukaan saya. Ternyata baru bukaan 1 kemudian bidan mempersilahkan saya untuk Salat Subuh dulu sebelum dipasang balon keteter.
Semua perlengkapan persalinan sudah dipersiapkan, karena diperkirakan sudah hampir melahirkan. Tapi sampai jam 12 siang, bukaan saya masih belum nambah. Perut sudah sakit luar biasa, tapi bukaan belum bertambah satupun.
Setelah suami selesai Salat Jumat, saat itu perut saya semakin mulas seperti ingin BAB. Suami langsung bilang ke bidan, dan bidan bilang kalau air ketubannya mau pecah. Tapi sakit yang saya rasakan semakin tidak tertahankan, bidan memeriksa kondisi saya dan langsung dipersiapkan segala keperluan persalinan.
Karena tidak kuat menahan sakit, saya akhirnya berteriak, padahal sebelumnya saya berjanji dalam hati saya bahwa saya tidak akan teriak kesakitan. Sempat saya melihat suami saya menangis karena tidak tega.
Akhirnya, tepat jam 3 sore, setelah adzan Ashar selesai berkumandang, bayi kami lahir, utuh tanpa pecah ketuban, masih terbungkus air ketubannya. Kemudian bidan yang membantu persalinan saya, merobek selaput ketuban yang membungkus bayi kami, dan barulah disitu kami tahu bahwa bayi kami adalah perempuan,
Sakit yang saya rasakan saat melahirkan Allana, tidak sebanding dengan sakit di hati saya. Bayi saya lahir, namun sama sekali tidak terdengar tangisannya,
Setelah Alana lahir, saat itu juga keluarga langsung mempersiapkan segala keperluan untuk pemakamannya.
Alana dimakamkan tepat di sebelah makam nenek buyutnya, digendong sendiri oleh ayahnya mengantarkan sampai ke peristirahatan terakhirnya.
Alana... karena tali pusar yang melintir tepat di pusarnya, sehingga menghambat masuknya sari-sari makanan dan oksigen yang sangat dibutuhkan olehnya.
Alana, terlahir sempurna tanggal 24 Oktober 2014 utuh terbungkus ketuban dengan panjang 40cm, dan berat 1 kg pada usia kandungan tepat 29 minggu.
Subbhanallah...
Alana Parahita Sulistyo, betapa indahnya dirimu nak..
dan sakit ini,
sakit saat melahirkanmu,
sakit saat Asi untukmu akan keluar
membuat bunda sadar,
bahwa kau memang ada,
bahwa bukan hanya sekedar mimpi
Walaupun berat kehilanganmu,
kami bangga pernah memilikimu nak,
Allah lebih menyayangimu
Allah memilihmu dengan sempurna
Namun kau tetap kami miliki
dengan sempurna......
Kami menyayangimu, nak....
Alana Parahita Sulistyo