banner-detik
KINDERGARTEN

Anak Kompetitif, Bagus atau Jelek?

author

vanshe22 Jan 2015

Anak Kompetitif, Bagus atau Jelek?

trophy*Gambar dari sini

Anak saya, Bumy, kini sudah berusia 5 tahun. Saya perhatikan, kepribadiannya semakin terbentuk; satu hal yang sangat kentara, dia supel banget, kayaknya ke manapun kami mampir, dia selalu dapat teman baru. Tapi, juga ada satu hal yang harus distabilo adalah begitu kentara pada dirinya, yaitu tabiatnya yang kompetitif.

Memang sih, yang dikompetisikan oleh anak-anak usia TK ini hal-hal yang nggak penting - buat kita orang dewasa setidaknya, hehe - seperti meributkan pilihan mainan yang paling bagus. Menyebutkan kata-kata yang paling sulit. Siapa yang melempar bola paling jauh. Atau siapa yang bisa bernyanyi paling kencang. *pasang ear plugs*

Saya baca dari artikel di Parents.com, anak-anak usia prasekolah dan TK (5-6 tahun) memang sedang "hobi" membanding-bandingkan. Atau dengan kata lain, lagi kompetitif-kompetitifnya. Jiwa kompetitif anak-anak usia ini sebenarnya terkait dengan naluri yang meningkat akan kompetensi diri mereka, yang mereka ukur dengan cara membandingkan dirinya dengan teman-temannya.

Anak seusia ini juga mulai memahami konsep menang. Karenanya, jangan heran kalau mereka akan berkompetisi tentang apa saja: punyaku yang lebih besar, lebih bagus, lebih merah warnanya. Mereka nggak selalu paham kompleksitas menang dan kalah, tapi mereka mengerti kalau menang itu bagus, jadi mereka mau menang dalam segala hal.

Sebenarnya nggak ada yang salah, sih, dengan sikap kompetitif. We are, after all, living in a competitive world. Masyarakat kita saat ini menganggap penting sekali untuk berhasil ke sekolah yang terkenal bagus, atau dipilih sebagai anggota tim tertentu, atau menonjol pada bidang ekskul tertentu, misalnya. Orangtua tentunya ingin agar anak memiliki kualitas diri yang memungkinkan mereka jadi sukses, dan karenanya nggak ingin mematahkan semangat anak dalam berkompetisi.

Selanjutnya: Jadi, kompetitif baik atau buruk?

competitionMenurut Andrew Meyer, Ph.D., profesor psikologi di University of Memphis, kompetisi nggak sama sekali baik atau buruk, tapi bisa punya dampak positif dan negatif. Tugas orangtua adalah membantu anak-anaknya berkompetisi dalam cara yang sehat. Begitupun coaches atau pelatih, tugasnya menekankan sisi pembelajaran, usaha, dan keseruan dari berkompetisi.

Namun, penting untuk dicatat bahwa banyak ahli berpendapat bahwa yang terbaik adalah menghindarkan anak-anak usia ini dari situasi yang menambah parah ke-kompetitif-an mereka. Karena meskipun anak-anak suka bermain dengan aturan, tapi mereka belum cukup usia untuk menoleransi kekalahan. Mereka juga belum paham benar hubungan antara sikap mereka dan reaksi orang lain, jadi mungkin mereka bingung kalau ada temannya yang nggak mau main lagi sama mereka. Orangtua juga mungkin suka malu mendengar anaknya ngomong berlebih-lebihan dan khawatir anak dianggap arogan atau nggak sensitif.

Nah, saya jadi mau tunjuk tangan karena pengalaman saya sejalan dengan pernyataan tersebut. Ada celetukan anak saya yang bikin 'alarm' saya nyala. Di antara obrolannya dengan sahabatnya di sebelah rumah, terjadilah 'kompetisi' siapa yang berhasil mendorong mobil-mobilan paling jauh. Ketika temannya berseru, "Horee, aku menang!" anak saya spontan bilang, "Ah, kamu curang!"

Waktu itu, sih, saya tidak bereaksi apa-apa, sekadar nguping dari dalam rumah saja. Tapi, saya jadi lebih memerhatikan sikap anak saya terhadap "kompetisi," terutama kalau dia kalah. Kok dia suka menuduh lawannya curang, ya, kalau dia kalah?

Mungkin itu hanya caranya mengungkapkan kekecewaan akibat 'kalah,' sih. Tapi, saya mencari tahu lebih lanjut, dan menemukan insight bahwa belajar bagaimana cara menang atau kalah dengan baik dan sopan perlu latihan. Dari situ, saya jadi suka ngiklanin ke Bumy boleh-boleh saja beradu ini-itu, asal mau terima kalau kalah. Nggak ada yang salah, kok, dengan kalah.

Selanjutnya: Bagaimana membendung hal ini?

Orangtua juga bisa mengarahkan anak untuk berkompetisi dengan diri sendiri, seperti mengajaknya memecahkan rekor yang dibuatnya sendiri. Hal yang disukai anak usia prasekolah adalah konsep waktu, maka orangtua bisa memberikan satu atau dua jenis tantangan seperti seberapa cepat dia bisa berlari dari sini ke sana, atau bisakah anak mengingat urutan alfabet lebih cepat dari kemarin. Ajarkan anak untuk berpikir bahwa kemenangan diukur dari usaha, bukan hasilnya. Berikan pujian terhadap cara mereka bermain bukannya menilai hasil akhirnya - sesuai dengan yang dipaparkan Lita di artikel ini, ternyata.

Kebetulan, beberapa saat kemudian ada kesempatan untuk mengajarkan Bumy cara berkompetisi dengan dirinya sendiri. Saya melihat iklan lomba lari Jakarta Kids Dash Run, dan spontan saja mendaftarkan Bumy (dan papanya). Niat awalnya, sih, hanya karena ingin tahu seperti apa lomba lari anak-anak didampingi para orangtua. Lagipula venue-nya juga seru, di pinggir pantai Ancol. Untuk anak seusia Bumy, panjang lintasan larinya hanya 800 meter. Tapi ternyata ketika menempuh lomba, suami saya cerita kalau jarak itu lumayan menantang untuk ditempuh anak-anak. Di tengah lintasan, Bumy mengeluh capek dan bilang mau nyerah aja. Tapi untungnya, suami saya berhasil menyemangati Bumy sampai bisa mencapai garis finish. Padahal saya belum tahu cerita di balik layar ini ketika 'menyambut' Bumy dan papanya di garis finish, tapi saya ingat jelas kesan lega, senang, dan bangga di wajah Bumy.

image(4)

Ketika lomba sudah berakhir dan Bumy sudah puas memandangi dan memegang medali finisher yang tersampir di dadanya, Bumy bertanya pada saya, "Ma, ini Bumy juara berapa, sih?"

image_7

Saya sempat diam sejenak sebelum menjawab. Agak khawatir juga, jangan-jangan kompetitifnya bakal kumat kalau saya bilang dia nggak jadi juara. Tapi, terus kenapa kalau dia kecewa nggak jadi juara? Jadi, saya jawab "Bumy nggak dapat juara 1, 2 atau 3. Bumy dapat medali karena bisa lari sampai ke garis finish."

Lalu dia tanya lagi, "Yang dapat juara siapa, ma?"

"Yang larinya paling cepat dan sampai ke finish duluan."

"Oh gitu, ya. Yang larinya paling kuat, ya, ma. Bumy mau latihan lari terus, ah, biar bisa menang kalo lomba lagi."

Setelah dia ngomong begitu, rasanya saya mau bersorak-sorai dalam hati. Karena dia nggak lantas teriak-teriak "Curaang! Yang menang pasti curang!" Phew! xD

Selanjutnya: Hikmahnya apa?

image1

Wah, mungkin ini hikmah yang tidak saya sadari sebelumnya, ya. Dengan mengikuti kompetisi yang bersifat fisik, Bumy jadi bisa merasakan sendiri beratnya perjuangan untuk sampai ke garis finish. Mungkin dari situ, dia jadi sadar bahwa untuk menang diperlukan usaha, dan belajar tentang sportivitas.

Tentunya, semakin anak besar, akan semakin banyak juga mereka mengalami kemenangan dan kekalahan. Selain mengajarkan tentang cara menang atau kalah dengan baik dan sopan, orangtua juga perlu mengajarkan kepada anak bahwa untuk bisa menang, ia perlu berusaha sebaik yang ia bisa, dan ingatkan bahwa akan selalu ada ruang untuk improvement.

Tak cuma itu, yang terpenting untuk dipupuk adalah kemampuan untuk kembali bangkit setelah kalah, terlebih setelah anak masuk usia SD. Hal ini erat kaitannya dengan resiliensi, atau dengan kata lain, keuletan dan ketahanan. Dengan mengajarkan tentang resiliensi, anak disiapkan untuk sukses, karena mereka belajar bahwa kekalahan itu bukan akhir dunia melainkan kesempatan untuk mencoba lagi.

Orangtua juga bisa mengajak anak ikut bermain games yang bergaya kooperatif, yang mementingkan kerjasama untuk mencapai sebuah tujuan. Hal ini akan mengajarkan bahwa dalam berkompetisi juga kadang diperlukan usaha kolektif.

Kesimpulannya, ternyata banyak hal yang bisa saya pelajari dari sikap kompetitif anak saya ini. Tentunya Mommies juga punya pengalaman dalam menghadapi sikap kompetitif anak, 'kan? Atau mungkin ingin bercerita sekocak apa "kompetisi" di dunia anak-anak yang pernah disaksikan sendiri? Silakan berbagi di sini.

PAGES:

Share Article

author

vanshe

Ibu satu anak. Was an SAHM for 2,5 years but decided that working outside home is one of many factors that keeps her sane. Grew up deciding not to be like her mother, but actually feels relieved she turns out to be more and more like her each day. She's on Twitter & IG at @rsktania.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan