Sorry, we couldn't find any article matching ''
Kelepasan Marah (Lagi)
*Gambar dari sini
Kemarin saya merasa bersalah sekali. Entah mengapa beberapa hari terakhir kesabaran saya kok tipis ya? Sedikit saja anak saya bertingkah di luar harapan saya, saya dengan mudahnya mengeluarkan nada tinggi.
Padahal biasanya saya masih bisa berpikir lho, walaupun setelah beberapa kali menahan diri akhirnya kelepasan juga. Mau menahan diri beberapa kali pun, tetap saja kalau kelepasan marah, bahkan sampai membentak, rasa bersalahnya itu tidak kunjung hilang.
Seperti kemarin, Aksa membawa pel karet ke atas kasur, dilanjutkan menumpahkan sebotol air ke atas majalah, yang ujung-ujungnya membuat saya “melegalkan” amarah saya. Dan…Aksa hanya menatap saya bingung. Tidak menangis, tidak takut..
Saya jadi makin merasa khawatir. Bagaimana jika dalam kebingungannya itu otaknya sedang menyerap apa yang barusan dilihatnya? Bagaimana jika kemudian memorinya mengumpulkan rangkaian amarah dan emosi saya? Bagaimana jika kelak dia jadi mudah marah karena meniru saya?
Mungkin ketakutan saya terdengar berlebihan, tetapi saya punya alasan. Keluarga saya termasuk keluarga ekspresif: kalau senang bisa sampe ngakak, kalau kesel pasti diungkapin, dan kalau marah bisa seperti perang dunia, haha.. Positifnya sih, biasanya masalah tidak berlarut-larut karena langsung diselesaikan, walau kadang prosesnya seperti sinetron. Negatifnya, kami jadi kurang mampu mengendalikan emosi, baik positif maupun negatif. Inilah yang saya ingin ubah ketika saya berkeluarga.
Masalahnya, mengubah sesuatu yang sudah kita lakukan bertahun-tahun itu perjuangan sekali. Sudah tak terhitung rasanya saya mengalami marah-sesal-marah-sesal, walau saya yakin sebagai seorang ibu saya jauh lebih sabar daripada ketika masih lajang.
Kadang saya menghibur diri, bahwa “besok tidak akan saya ulangi lagi”, tetapi selalu saja ada waktu di mana saya gagal menahan diri. Belum lagi mengingat bahwa Aksa masih dalam masa emas pertumbuhannya, di mana otak anak menyerap berbagai macam informasi tanpa melihat baik dan buruk, makin stres pula saya!
Dalam kegalauan, saya cek timeline twitter (lho?). Kebetulan sekali @24hrparenting dan @RumahMain Cikal sedang #NGORBIT alias ngobrol bareng di twitter bersama psikolog @tarisandjojo dan membuka kesempatan untuk bertanya. Langsung deh saya curhat, haha..
Saya tanyakan saja, apakah anak usia 17 bulan sudah bisa mengingat atau bahkan meniru ibunya ketika sedang marah, karena saya khawatir kelak Aksa jadi anak pemarah pula. Jawabannya? Lihat di halaman selanjutnya ya!
*Gambar dari sini
Saya senang sekali ketika akhirnya pertanyaan saya terpilih untuk dibahas, walau saya baru tahu keesokan harinya.
Jadi, menurut psikolog Tari Sandjojo, emosi itu wajar. Hanya saja, kita perlu mengenali dan mengendalikannya. Misalnya, ketika kita mulai merasakan tanda-tanda seperti tangan mulai mengepal, nafas lebih cepat, dan mulut sudah bersiap meluncurkan kata-kata dengan cepat, berarti kita tahu kita marah. Setelah kita mengenalinya, maka kita diharapkan bisa mengekspresikan emosi tersebut dengan lebih baik. Ibaratnya, amarah tadi “diproses” agar less harmful bagi kita ataupun anak kita.
Hmm, kalau saya sedang marah kok kayaknya tahap pemrosesan emosi tadi hilang ya? Tahu-tahu sudah meluncur saja kata-kata atau bahkan teriakan. Lalu, bagaimana kalau sudah telanjur marah seperti ini?
Mintalah maaf. Tidak hanya maaf saja, namun sertakan alasan mengapa kita marah pada saat itu. Dari sini, anak pun belajar bahwa tidak ada kesalahan yang tidak bisa diperbaiki.
Satu lagi, meskipun kita bukan orangtua yang pemarah, anak tetap berpotensi untuk marah-marah atau agresif lho, Mommies. Ini karena anak pun mengalami fase di mana ia sedang belajar memahami emosinya, seperti senang, sedih, marah, kecewa, panik, dan sebagainya. Di sinilah peran kita sebagai orangtua untuk memberi contoh bagaimana cara memproses emosi tersebut, karena anak yang terbiasa mengenal dan mengendalikan emosinya tidak akan langsung “mengamuk”, namun menggunakan waktu untuk berpikir “Ini emosi apa ya? Aku kenapa ya?”
Fiuhh…sedikit lega sih membaca penjelasan Mbak Tari di atas. Setidaknya saya merasa masih ada kesempatan untuk mengenali emosi saya. Meskipun demikian, ia menambahkan bahwa anak menyerap semua stimulus dari lingkungannya. Belum tentu apa yang mereka serap akan langsung mereka tiru. Namun, ketika ada suatu masalah atau situasi tertentu maka anak akan menggunakan informasi atau pengalaman tadi untuk menyelesaikannya.
Ada sedikit kiat tambahan yang saya dapat dari Timothy Wibowo, seorang konsultan pendidikan di www.pendidikankarakter.com, yaitu cobalah untuk melihat dari sudut pandang anak. Misalnya, jika kita menjadi anak, mengapa asyik sekali bermain pasir yang kotor walau sudah mandi? Bisa jadi itu merupakan barang baru bagi anak dan anak sedang belajar sesuatu di sana, sehingga dengan melihat dari sudut pandang yang berbeda kita bisa lebih sabar.
Oke, tampaknya saya siap memulai lembaran baru dalam mengelola emosi saya. Hitung-hitung mewujudkan salah satu resolusi tahun baru saya, hehe..
PAGES:
Share Article
COMMENTS