Banyak yang bilang, setelah punya anak kadar sabar seorang perempuan bisa jadi jauh berkurang. Tapi kok, setelah jadi ibu hampir 5 tahun ini, sumbu kesabaran saya masih saja nggak pernah panjang ya? Ya, walaupun saya selalu berusaha untuk membatasi diri supaya nggak cuap-cuap berlebihan dan main tangan, tapi tetap saja yang namanya emosi kadang suka nggak terbendung. Sesekali jadi suka ketelepasan *hiks*.
Tapi yang namanya Ibu, setelah marah ke anak, entah cuma sebatas membentak atau menyentilnya pasti perasaan rasanya langsung nelongso. Nyesel. Lagian kalau menurut saya pribadi, kalau marahnya ditahan-tahan, rasanya nggak enak ya? Biasanya sih, kondisi seperti ini bakal datang kalau saya ngerasa capek plus masuk dalam masa PMS yang bikin emosi kaya yoyo. Ujung-ujungnya saya pun jadi ngerasa, kok, gue begini amat sih jadi ibu? Jauhlah dari kriteria supermom. Makanya, saya sangat kagum dengan para perempuan yang serba bisa, terutama soal menaklukan rasa amarah setiap saat.
Beruntung, saya punya partner yang nggak pernah lelah mengingatkan saya untuk bisa lebih sabar. Siapa lagi kalau bukan suami. Setiap kali kalau melihat Bumi mulai berulah yang bisa menyulut kemarahan saya, dia selalu bilang, "Yang sabar ya, Ibu.... tarik nafas dulu..." Selain itu, suami saya ini pun nggak segan untuk mengambil alih dan memberikan saya waktu untuk 'menghilang' beberapa saat sehingga saya pun bisa tenang kembali. Biasanya sih, saya akan ngabur ke dapur untuk bikin kopi sambil nyemil. Lumayanlah sekalian bisa me time :D
Saya sendiri menyadari kalau marah berlebihan pada anak pasti akan membawa pengaruh yang buruk. Selain bisa membuat anak tumbuh jadi sosok pembangkang, memarahi anak juga bisa mempengaruhi pertumbuhan emosionalnya. Belum lagi kalau ingat dengan penelitiannya Lise Gliot yang menyimpulkan kalau dengan satu bentakan saja sudah mampu merusak milyaran sel-sel otak anak kita. Di mana anak yang masih dalam pertumbuhan otaknya yakni pada masa golden age, 2-3 tahun pertama kehidupan, suara keras dan membentak yang keluar dari kita, para orangtua bisa menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh.
Di samping itu, saya pernah membaca beberapa artikel yang menuliskan meskipun marah termasuk sebagai emosi negatif, tapi kemunculan marah ini nggak selalu menjadi tanda kalau terjadi ketidakstabilan emosi. Marah ini merupakan emosi alami yang bisa dirasakan oleh setiap orang tanpa memandang usia, bahkan bayi saya bisa marah yang ditandai ketika ia menangis saat haus ataupun lapar.
Bahkan, menurut litelatur yang pernah saya baca (Bhave & Shaini, 2009), rasa marah juga punya sisi positif karena bisa membantu seseorang mengatasi masalah dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan dalam berbagai macam situasi. Emosi marah yang diekspresikan dengan cara yang pantas bisa membantu kita mengekspresikan berbagai perasaan dengan cara yang dapat diterima lingkungan, membantu menyelesaikan masalah bahkan mampu memotivasi dalam mencapai tujuan. Garis besar yang perlu dingat, kita harus bisa melatih diri untuk bisa marah dengan cara yang baik.
Gimana caranya? Saya sendiri masih perlu belajar banyak soal yang satu ini. Di antara Mommies yang perlu ilmunya juga nggak? Kalau iya, kita bisa sama-sama mencari tau lewat acara MDLunch yang akan dilangsungkan Kamis, 29 Januari 2015. Acara ini akan dilangsungkan di De Lekker Cafe, Bekasi Square jam 11 siang.Sambil kopdar dan makan siang bersama kita bisa mencuri ilmu dari Maharani Ardi Putri Msi. Psi. Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Alumni & Humas Fakultas Psikologi Universitas Pancasila ini nanti memang akan datang sebagai narasumber. Bagaimana cara daftarnya? Silakan langsung ke thread ini ya!
Kok di Bekasi sih? Setelah menjalani #MDLunch roadshow bulan Desember lalu di Bali dan Surabaya, kami sering mendapatkan permintaan untuk mengadakan di berbagai kota. Sebagai permulaan, yang dekat-dekat dulu deh! Siapa tau kota Mommies akan dijadikan tujuan #MDLunch di bulan berikutnya.
Jadi, siapa yang mau ikutan? Yuk, kita janjian!